Monday, May 29, 2023

BERBAGI PENGALAMAN SEBAGAI PENYINTAS KANKER PAYUDARA

Kemarin malam saya menerima pesan dari Mbak Icha, seorang teman sesama anggota grup WA CISC Her2+. Grup ini adalah support group yang beranggotakan para perempuan penyintas kanker payudara dan yang sedang menjalani pengobatan. Saya diminta untuk mengupdate data medis yang nantinya akan digunakan untuk saling memberikan support, terutama untuk pasien kanker payudara yang membutuhkan teman untuk menjaga kondisi psikologis. 

Satu hal yang sama di antara semua anggota grup ini adalah jenis kanker yang sedang atau pernah kami derita, yakni Her2+. Jenis kanker payudara ini mengacu pada kanker yang menunjukkan hasil positif atas adanya protein human epidermal growth factor receptor 2 (HER2). Protein ini memicu tumbuhnya sel-sel kanker. Berdasarkan statistik penderita kanker payudara di dunia, 1 di antara 5 kanker payudara menunjukkan adanya gen yang menghasilkan protein HER2. Kanker payudara jenis HER2+ cenderung lebih agresif daripada jenis kanker payudara yang lain. Kabar baiknya, pengobatan yang langsung ditargetkan kepada HER2 tercatat sangat efektif dan prognosisnya (perkiraan kesembuhan di masa datang) dinilai sangat bagus. 

Saya sendiri sudah menjalani semua pengobatan, mulai mastektomi, kemoterapi 6 siklus, dan targeted therapy dengan trastuzumab sebanyak 18 kali selama saya masih studi di Melbourne. Ketika saya pulang ke tanah air, saya rutin check up 6 bulan sekali di RS Onkologi. Menginjak tahun 2023 ini artinya sudah berselang 10 tahun sejak saya didiagnosa kanker payudara HER2+. Alhamdulillah pada bulan Januari 2023 yang lalu, dr. Bob, oncologist saya, menyatakan bahwa jadwal check up cukup 1 tahun sekali. Alhamdulillah. Tentu saja saya senang dan lega sekali. Ini berarti bahwa selama 10 tahun ini, kondisi saya terpantau normal dan tidak ada indikasi bangunnya sel kanker. 

Bicara tentang ihwal berbagi pengalaman sebagai penyintas kanker, saya termasuk orang yang terbuka dengan kondisi yang pernah saya alami. Saya juga menuliskan beberapa episode saat menjalani pengobatan di blog ini. Pernah juga diminta memberikan testimoni di sebuah acara peringatan hari kanker payudara sedunia yang kebetulan diadakan di kampus Unesa. Nah, obrolan di WA dengan Mbak Icha membuat saya ingat bahwa saya pernah diundang sebagai narasumber di sebuah kanal siniar (podcast) yang dikelola oleh klinik Parahita cabang Dharmawangsa Surabaya. 

Pada bulan Januari 2023 yang lalu, kebetulan saya memang tengah menjadwalkan untuk pengecekan tahunan. Pengecekan ini meliputi pemeriksaan darah CEA dan CA 15-3. Kedua tes ini dilakukan untuk mendeteksi adanya sel kanker payudara. Biasanya setelah cek darah ke klinik, saya ke RS Onkologi untuk melengkapi check up dengan melakukan mammografi, rontgen paru-paru, USG bagian perut, payudara, dan leher. Semuanya untuk mendeteksi kemungkinan penyebaran kanker di organ tubuh yang lain. Jadi karena mau diajak ngobrol, sekalian saja saya melakukan pemeriksaan CEA dan CA 15-3 di Parahita cabang Dharmawangsa. 

Setelah bersiniar itu, saya praktis lupa tentangnya. Bahkan saya tidak sempat bertanya kepada pihak pengundang apakah ada rekamannya. Maka saya cari-cari di Youtube. Barangkali ada rekamannya yang sudah diunggah. Akhirnya ketemu videonya. Baru ingat juga bahwa agendanya saat itu adalah untuk memeringati Hari Kanker Sedunia yang jatuh pada tanggal 4 Februari 2023. Di dalam video ini, saya menceritakan pengalaman saya sebagai penyintas, tantangan-tantangan yang dihadapi, pengobatan yang saya terima, dan sistem pendukung yang mendorong saya untuk terus berjuang sampai sembuh. Bersedia berbagi melalui PARAHTALK, nama kanal siniar Parahita, juga merupakan salah satu cara untuk menjadi bagian dari support system.  Tautan ke video ini saya bagikan ke Mbak Icha dengan harapan dapat memberikan manfaat bagi teman-teman penyintas kanker payudara yang tergabung dalam grup WA CISC HER2+. 

Anda juga ingin tahu lebih banyak tentang pengalaman saya sebagai penyintas kanker payudara?
Silakan menyimak video berikut ini. Semoga bermanfaat.




Kebraon, 29 Mei 2023

Sunday, August 22, 2021

CONNECTING DOTS WITH BUDI DARMA


Kepergian sosok sepenting Prof. Budi Darma adalah sebuah kehilangan yang tak tergambarkan. Waktu terasa berhenti dan hanya tangis yang mengisi. Tiba-tiba ingatan masa lalu seolah berjajar bak foto-foto yang membawa kenangan. Betapa tanpa saya sadari Pak Budi Darma telah menggoreskan warna kuat dalam perjalanan karir saya.

Saya termasuk yang percaya bahwa dalam kehidupan ini tidak ada yang kebetulan. Kejadian yang kita alami atau orang yang kita temui adalah bagian dari takdir. Termasuk di antara bagaimana sosok Budi Darma menjadi tanda dalam peta kehidupan saya. Serpihan kisah rendezvous saya dengan Pak Budi adalah titik-titik yang suatu saat terhubung. Connecting dots

1) Di sekitar tahun 1985-1990, ketika saya menjadi mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris IKIP     Surabaya, Pak Budi Darma adalah Rektor IKIP Surabaya mulai tahun 1984-1988. Karena beliau menjadi Rektor, maka saya belum pernah masuk ke kelas beliau sampai tahun 1989. Peran beliau sebagai Rektor saya rasakan kalau saya wira-wiri dari Sekretariat Himapala di Kampus Ketintang ke Rektorat yang waktu itu ada di Jalan Kayun. Maklum, sebagai anggota Himapala, saya ikut sok sibuk mengurus surat perijinan atau pengajuan dana kegiatan. Tapi saya lebih banyak masuk ke ruangan Pembantu Rektor III yang memang mengurusi bidang Kemahasiswaan. 

Pendek kata, saya hanya tahu bahwa dosen saya, yang sastrawan, adalah Rektor. Dan saya baru pada tahap berangan-angan ingin diajar beliau sebelum saya lulus. 

Sampai suatu saat saya diberi tugas menyerahkan pemukul gong kepada Rektor untuk membuka acara Pentas Seni Himapala di tahun 1986. Tidak tanggung-tanggung, saya harus turun dengan tali dari dinding Gedung Gema dengan ketinggian kurang lebih 10 meter.  Bersama dengan rekan saya, mas Agus Guo, kami turun saat lampu gedung yang dimatikan. Spotlight mengarah ke dua anak muda yang sedang rappling dari atap gedung dan kemudian beratraksi melompat ke kiri dan ke kanan sambil membalikkan badan. Entah dari mana saya mendapatkan kenekadan ini. Kenekadan yang direncanakan karena latihan hampir tiap hari. Saat itu adrenaline saya mungkin sedang puncak-puncaknya. Seandainya ini terjadi di masa kini, mungkin foto-fotonya sudah memenuhi akun medsos saya. 

Sesampai di bawah, saya berlari ke arah Rektor dan menyerahkan pemukul gong yang tergantung di carabiner di celana jeans saya. Lamat-lamat saya mendengar pembawa acara menyebut nama saya sebagai mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris. 

Hampir empat tahun kemudian, saya duduk di sofa Jurusan, di depan tiga dosen senior Jurusan. Pak Budi Darma, Pak Santiko Budi, dan Pak Djoko Soeloeh Marhaen. Saya tengah menghadapi ujian skripsi. Pak Budi Darma menjadi penguji saya. Beliau bertanya sambil tersenyum, “masih suka naik-naik atap gedung?” 

Saya terpana. Terpesona. Bagaimana mungkin ulah anak picisan ini diingat oleh sosok VIP seperti beliau. Saya lupa apa jawaban saya. Yang saya ingat hanyalah gelengan saya dengan wajah tersipu malu. 

2) Tapi itu bukan pertama kalinya saya merasa dekat dan dikenal oleh beliau. Ketika Pak Budi sudah tidak lagi menjabat sebagai Rektor, beliau kembali mengajar ke Jurusan. Di akhir semester saya di semester 8, beruntunglah saya dapat duduk di kelas Literary Appreciation. Sebagai mahasiswa Jurusan Pendidikan, kami tidak banyak mendapatkan mata kuliah murni. Hanya ada Introduction to Literature yang kurang sukses membuat saya mencintai sastra. Tapi saya sering meminjam novel-novel di ruang baca Jurusan dan memfotocopynya. Membaca untuk dinikmati. Bukan untuk dikritisi. 

Kelas kami membahas novel Ernest Hemingway, The Sun Also Rises. Semua mahasiswa memegang fotocopyan novel, mencoba mencari kalimat yang dibacakan Pak Budi. Tak kunjung ketemu. Saya perhatikan wajah beliau. Baru kemudian saya tersadar bahwa sebenarnya beliau sedang menganalisis dengan gaya berkisah. Ah, kalimat-kalimat yang tertata rapi dan runtut ini muncul terucap tanpa script. Menghipnotis. Meski pemahaman saya tidak sampai separuhnya. 

Merasa kuliah ini standar tinggi dan saya tidak mudeng, saya mencoba mencari cara agar paham isi novel ini. Bayangkan kuliah di tahun-tahun 80-90an, ketika referensi harus dicari di perpustakaan yang masih terbatas koleksinya. Saya belani mencari referensi ke perpustakaan di atas toko buku di jalan Tunjungan. Saya lupa apakah namanya Sari Agung atau sudah berganti menjadi Gramedia. Toko ini adalah jujugan saya sejak kecil. Tapi baru tahu belakangan saat kuliah bahwa di atasnya ada perpustakaan kecil. Di situ akhirnya saya menemukan buku-buku sastra yang tebal dan menyuguhkan kritik sastra karya-karya Hemingway. 

Eureka

Ketika masa UTS datang, kami diminta untuk menjawab beberapa pertanyaan yang bersifat analisis novel The Sun Also Rises. UTS yang open book. Kami tentunya dapat mengutip baris-baris dari novel sebagai bukti. Saya mengambil tempat duduk di belakang. Agar dapat fokus menulis analisis. Tidak pakai tengok kiri kanan. Karena teman-teman saya juga sedang sibuk berpikir. Mau nulis apa. Atau mungkin tidak tahu apa yang mau ditulis. Saya sendiri juga tidak yakin. Pokoknya nulis saja. 

Dua minggu kemudian, beliau memanggil nama kami satu-persatu. Memberikan hasil UTS. Sambil memberikan umpan balik. Rata-rata dikomentari karena kebanyakan menulis analisis seperti menulis daftar menu. Hanya point-point saja. Saya mendengar nama saya disebut. Deg-degan. Takut jawaban saya juga tidak memuaskan. “Pratiwi, would you please come here and read your answer?”

Dengan sangat groggy, karena tidak tahu mengapa saya diminta maju ke depan, saya berjalan ke depan kelas dan menerima kertas jawaban dari tangan beliau. Saya bacakan jawaban saya yang panjangnya kira-kira 2 halaman kertas folio bergaris. Setelah saya selesai membaca, barulah kemudian beliau menyampaikan bahwa analisis sastra seharusnyalah deskriptif seperti itu. Bukan seperti daftar menu atau belanjaan. 

Pengalaman ini sangat membekas di benak saya. Ternyata saya bisa menganalisis karya sastra yang masterpiece. Ternyata begitu caranya interpretasi sastra. Sejak itu saya merasa jatuh cinta pada sastra. Tepatnya, Pak Budi membuat saya mencintai sastra dan mensyukuri pentingnya menulis. Saya punya kebiasaan menulis di buku harian atau surat berpanjang-panjang halamannya. Mungkin saja tulisan saya ada emosinya. Buktinya beberapa coretan yang saya tulis menghasilkan patah hati. 

(bersambung)





Monday, January 25, 2021

KISAH COVID-KU (1): PROKES, POSITIF COVID-19, DAN TRACING

Akhirnya saya terpilih juga diampiri Covid-19. Sejak hari Sabtu, 16 Januari 2021, saya resmi positif Covid-19. Resmi karena sudah berdasarkan hasil swab antigen, dan diperkuat dengan hasil swab PCR. Dengan hasil CT 24/23, artinya sebenarnya virus ini sudah masuk ke tubuh saya beberapa hari sebelumnya.

Bagaimana ceritanya sampai saya bisa kena Covid-19?  Tanpa harus mencari kesalahan diri sendiri atau orang lain, pelacakan aktivitas diri di beberapa hari sebelumnya memang harus dilakukan. Itu juga pertanyaan yang umum ditanyakan beberapa teman baik yang mendengar bahwa saya positif Covid-19. ‘Habis pergi-pergi ta mbak?’, ‘Habis kumpul-kumpul atau ada tugas ke mana mbak?’. 

Sejak pandemi di pertengahan Maret 2020, saya hampir tidak pernah pergi kemana-mana. Kantor Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris Unesa jarang sekali saya tengok. Paling sebulan sekali. Itupun bila ada yang betul-betul penting. Selain itu, undangan workshop atau menjadi narasumber atau fasilitator di luar kota tidak lagi saya terima, kecuali bila dilaksanakan secara daring. Anteng di rumah bukan berarti saya jadi pengangguran dan makan gaji buta. Lha selama pandemi ini jam kerja menjadi 24/7. Tidak ada hari libur. Tugas dari kampus dan pertanyaan ini itu dari kolega dan (terutama) mahasiswa bisa datang kapan saja. Tidak peduli pas orang sudah siap-siap mancal kemul

Jadi balik lagi ke tracing. Sejak tanggal 27 Desember 2020 saya tidak pernah lagi ke kampus. Saya juga tidak ada agenda pergi-pergi dengan keluarga. Route saya bila harus keluar rumah hanya ke minimarket terdekat atau ke pasar Kebraon. Itupun tidak setiap hari. Itupun tidak di pagi hari ketika pasar sedang ramai. Itupun paling hanya 2 kali dalam seminggu. Kalau ke pasar, saya biasanya memilih agak siang sekitar pukul 9-10. Sekalian bersepeda cari keringat dan panas matahari. Dan acara ke pasar paling hanya 10 menit. Beli seperlunya. Dan masker tidak pernah lepas. Plus hand sanitizer di kantong celana. 

Hidup di masyarakat komunal seperti di Indonesia, rasanya tidak mungkin saya memutuskan untuk tidak ketemu orang sama sekali. Namanya manusia adalah makhluk sosial. Bisa saja ada virus berseliweran di dekat saya ketika menerima kembalian pas beli martabak sore-sore, atau pas kartu debit saya dikembalikan mas/mbak kasir saat belanja di minimarket. Atau ada virus nempel di bungkus plastik tempe gres yang nangkring di meja kios Mbak Atik langganan saya pasca boikot para pengrajin tempe. Atau bisa saja pas tiba-tiba hati saya bolong dan pingin cuci mobil di bawah sinar mentari pagi. Lalu pas masker saya sedikit melorot, pas ada tukang sayur tak bermasker lewat sambil teriak, ‘sayur sayur.’ 

Embuh lah. Pendeknya, virus Corona sudah merajalela. Selama ada anggota keluarga yang masih keluar masuk rumah, di situlah akan tetap ada potensi kena. Mosok ya saya mau bilang ke suami saya untuk mendekam di rumah saja. Lha wong Adzra juga sesekali pingin ke minimarket. Just to get the feeling of ‘going out.’ Ghanta juga menikmati kegiatannya berpodcast di Bajolball Studio (alias perpustakaan rumah). Itu artinya sesekali akan ada beberapa orang yang dia undang sebagai narasumber. Apalagi ART saya, Abay, datang pagi pulang siang/sore. Dengan dua anaknya setiap kali datang. Dia kos di salah satu kampung Kebraon. Cuma 5 menit dari rumah. Ya wis. Yang penting prokes ketat ditaati dengan baik di rumah. 

Memang seberapa ketat prokes kami di rumah? Siapapun yang baru saja keluar rumah wajib  cuci tangan pakai sabun sebelum melakukan hal-hal lain. Ganta termasuk orang yang paling cerewet mengingatkan hal ini. Dia juga yang menyiapkan tempat cuci tangan dan dilengkapi dengan sabun di depan rumah. Kalau habis ada tamu, Gantalah yang menyemprotkan disinfectant spray ke ruangan dan mengelap meja, kursi, dan gagang pintu. Adiknya pasti akan kebagian disuruh membantu. Nah, orang yang paling tinggi mobilitasnya di rumah kami adalah Mas Prapto. Gak ada cerita WFH, kecuali di 2 minggu awal pandemi dulu. Oleh sebab itu, rutinitas baru sejak pandemi adalah menyediakan handuk setiap kali suara mobilnya terdengar di depan pagar. Wajib mandi dulu. Tidak peduli jam berapapun dia pulang. Tidak ada acara cium tangan, rangkul anak wedok, atau saling njiwit sebelum dia keluar dari kamar mandi dengan bau segar. Pernah suatu kali sepulang kerja, mas Prapto langsung masuk ke ruang perpustakaan dan buka laptop. Lanjut nge-zoom. Maka saya dan anak-anak memilih menjauh dan pindah ke lantai atas. Nah, kalau sudah protokol kesehatan (prokes) ketat seperti masih juga kena, ya sudah mau apa lagi. Ikhlas saja dijalani. Alhamdulillah. Tetap harus bersyukur karena tidak ada gejala berarti. 

Apakah saya mengalami gejala-gejala Covid-19 sehingga harus swab? Sejak habis cuci mobil sambil cari Vit-D di bawah sinar matahari pada hari Sabtu, 9 Januari 2021 yang lalu, saya memang mulai merasa pilek. Ringan saja. Gak pakai demam. Saya pikir hanya karena kelelahan. Memang ini minggu UAS dan koreksi tugas-tugas mahasiswa. Cuaca juga sedang kurang bersahabat. Abay dan anak-anaknya gantian batuk di minggu sebelumnya.  Satu hari kemudian menyusul Ganta ikut pilek dan batuk. Tenggorokan terasa tidak nyaman. Dia bahkan kelihatan loyo. Sudah pindah tidur ke Bajolball Studio di bawah. Kebetulan sofanya bisa disetel menjadi tempat tidur. Mengisolasi diri meski tidak ketat banget.. Alhasil saya jadi cerewet menyuruh dia agar tidak telat makan. 

Repotnya, Ganta tidak pernah mau minum obat. Bahkan yang herbalpun dia sangat hati-hati. Mintanya hanya air hangat, teh panas, air jahe tanpa gula, atau air jeruk panas tanpa gula. Ganta memang punya kelainan bawaan. G6PD deficiency. Intinya dia kekurangan enzim yang berfungsi membuat sel darah merahnya bertahan. Karena pilek 3 hari tidak kunjung sembuh dan kelihatan lemes terus, saya minta mas Prapto untuk mengajaknya swab antigen. Jaga-jaga saja. Alhamdulillah hasilnya negatif. Dampaknya positif banget. Ganta jadi semangat dan mulai beraktivitas. 

Nah, saya sendiri mulai merasakan ada yang berbeda. Kok tidak bisa bau masakan apapun? Baik pas masak di pagi hari maupun pas makan. Saya berdalih. “Ah, memang hidung saya lagi buntu. Pilek belum pulih benar. Yang penting badan tetap segar.” Dua hari merasakan anosmia, akhirnya saya putuskan untuk swab antigen. Sabtu pagi, 16 Januari 2021, saya menyetir sendirian menuju ke klinik Pa*ah*ita di dekat kampus B Unair. Klinik ini langganan kantor mas Prapto. Jadi hasilnya akan dikirim ke suami. Usai swab, saya langsung pulang. Mungkin karena ada rasa cemas, sempat keliru ambil jalan. Sejujurnya saya sudah merasa kemungkinan akan positif. Jadi saya mampir ke apotek dekat rumah, membeli masker dan beberapa multivitamin yang direkomendasikan untuk penderita Covid-19. Sedia payung sebelum hujan. 

Sesampai di rumah saya langsung ikuti vERtual talk, webinar tentang Extensive Reading. Sengaja saya lakukan di kamar agar tidak lagi ada kontak dengan yang lain. Habis webinar langsung lanjut rapat kecil dengan teman-teman IERA dan Binus untuk mempersiapkan sesi berikutnya. Di tengah-tengah rapat itulah saya mendapatkan kiriman hasil swab. Mas Prapto yang mengirimkannya di grup keluarga kami. Saya mungkin kurang fokus karena sedang rapat, jadi sempat salah baca. Saya kira negatif. Sudah girang di grup, ‘Alhamdulillah ya Allah.’ Ganta yang kemudian mengetuk pintu kamar. Memberitahu ibunya bahwa hasilnya positif. Saya yang belum percaya langsung membandingkannya dengan hasil Ganta sebelumnya dari klinik yang sama. 

Meski agak cemas, saya berusaha tenang. Untunglah rapat pas mau usai. Mas Prapto yang sedang berada di luar kota meminta saya untuk kembali ke klinik untuk swab PCR. Akhirnya kami berinisiatif agar Adzra sekalian swab antigen. Ganta yang sdh sudah sehat mengambil alih semua urusan, dan dia mengantar kami ke klinik. Di mobil saya sudah mulai jaga protokol lebih ketat. Duduk di belakang. Tanpa ada sentuhan fisik dengan anak-anak. 

Swab PCR akan memberikan konfirmasi dengan CT value, jadi kami sudah menganggap bahwa saya memang positif. Meski hasilnya baru akan keluar esok harinya atau bahkan Senin, kami sudah mulai mengatur bagaimana mengelola isolasi mandiri. Diskusi tentang skenario yang perlu diterapkan. Alhamdulillah punya anak-anak yang terbiasa tenang dan tidak emosional. Tidak ada drama. Mungkin karena sudah banyak baca informasi tentang apa dan bagaimana isolasi mandiri. Mungkin juga karena mereka sudah ditempa pengalaman saat saya menjalani kemoterapi selama 5 bulan di Melbourne dulu. 

Sesampai di rumah, saya langsung ke kamar dan mengambil beberapa setel pakaian. Masukkan ke koper. Ganta menyiapkan Bajolball studio alias perpustakaan untuk ruang isolasi mandiri (isoman). Adzra membantu menyiapkan bantal, selimut, dan peralatan makan minum. Tak lupa mengusung laptop dan buku-bukunya sendiri ke atas. Setelah mandi, saya masuk ruang isoman. Memberikan instruksi ini itu. Termasuk memberitahu dan meminta ART saya, Abay, untuk tidak datang dulu selama 2 minggu ke depan. 

Pakaian sudah. Bantal dan selimut tersedia. Teko listrik siap. Persediaan air mineral cukup. Laptop, HP, dan charger aman. Resmilah saya isoman!
Bismillah semoga tetap sabar dan segera negatif. 


Ruang isoman 


Bajolball Studio, Kebraon, Surabaya

Isoman hari ke-9