Friday, May 30, 2008

BURUNG PUN INGIN TEMPAT HINGGAP

Nida Shoughry. Israel. Ehm. Kuperhatikan secarik edaran dari panitia seminar. Baru kali ini aku akan dapat kesempatan untuk bertatap muka dengan seorang warga Israel. Selama ini, kata Israel tak ubahnya adalah hantu, tak pernah diketahui wujudnya namun jadi bahan pembicaraan dimana-mana. Nama laki-laki atau perempuan, aku belum bisa menebak. Yang jelas, besok malam aku akan bersama-sama dengan dia, dan 2 orang teman baru lain. Martin dari Peru dan Tefin dari Madagaskar. Kami berempat mendapatkan kesempatan, atau tepatnya undian, untuk bertamu ke keluarga Amerika dalam satu host dinner.
Masih hari pertama aku berada ditengah-tengah peserta seminar di Chicago awal April 2003. Diantara sekitar 150 penerima beasiswa dari berbagai negara, pertemuan ini tak ubahnya menjadi salad bowl, bukan melting pot ala Amerika. Masing-masing individu bertingkah polah membawa kekhasan masing-masing budaya yang diwakilinya. Tapi dimana Nida?
Acara pertama dimulai. Wakil dari panitia menggulirkan agenda selama 3 hari seminar. Didepanku duduk seorang perempuan berwajah Arab, cantik, segar. Kuperkenalkan diriku, dan kutanya dari mana asalnya. “I’m from Palestine. My name is Nida.” Ya Allah! jadi ini yang namanya Nida. “Bukan dari Israel, toh? tanyaku. Dia tersenyum,”kamu orang kesekian yang menanyakan hal ini. Lihat name tag-ku.” Disana tertera tulisan Israel, ditumpuki coretan spidol tipis, dan dibawahnya ia tulis “Palestine.”
Siapa yang tidak akan bertanya melihat tanda nama menyolok seperti itu. Lalu mulailah serangkaian dialog seru dengan dan tentang Nida. Dimeja manapun dia duduk, disitulah ada perdebatan sengit tentang pendudukan Israel. Nida tak ubahnya menjadi duta besar yang berbicara di depan forum PBB, mencoba mengingatkan setiap duta negara lain betapa rakyatnya telah begitu lama menjadi korban di negeri sendiri.
Suatu waktu ditengah-tengah jeda kutanyakan apakah kesalahan panitia dalam menuliskan nama negara Nida, ataukah suatu kesengajaan Amerika yang tidak mengakui Palestina. Dari sinilah bergulir cerita.

***
Aku memang asli orang Palestina. Tapi sejak kecil kami sekeluarga tinggal di wilayah Israel. Bukan di wilayah yang selalu bising dengan mesiu dan tangisan ibu-ibu yang kehilangan anaknya. Aku hidup dengan cukup tenang, tak begitu tahu kenyataan perang didepan mata. Aku mengenyam pendidikan yang cukup layak, belajar Hebrew dalam sistem pendidikan di Israel, ber-KTP Israel, dan aku bisa belajar Journalism di Boston, ketemu kamu disini, karena embel-embel Israel juga.
Namun seperti kaulihat dan kaudengar, darahku adalah darah Palestina. Hidupku adalah untuk perjuangan pembebasan negaraku. Tapi apa yang aku bisa lakukan bila aku menjadi orang Palestina? “It’s stateless.” Aku tidak mungkin bisa berada disini secara legal dan mendapatkan beasiswa prestisius ini bila nama Palestina yang aku sandang.
Jangan dikira aku nyaman dengan semua ini. Dalam hati, aku merasa teriris, karena dilingkunganku, warga negara dibeda-bedakan berdasarkan asal muasalnya. Dan sebagai orang Palestina, jangankan jadi warga negara kelas tiga, tapi kami seolah-olah adalah seonggok daging yang tak perlu dihargai. Alhamdulillah Allah memberiku otak encer, sehingga aku masih bisa menang berkompetisi dengan anak-anak Israel. “And, here I am.”

***

Malam kedua, kami berempat bersiap-siap untuk dijemput tuan dan nyonya rumah yang akan menjamu kami. Di lobby hotel Westin River North yang nyaman dan hangat, melindungi kami dari kerasnya angin Chicago, yang meski sudah masuk musim semi, masih terasa ditengah musim dingin di San Marcos, Texas, tempat aku menimba ilmu. Kami melanjutkan obrolan, terutama tentang bagaimana kami akan bersikap didalam host dinner nanti. Nida agaknya sudah hapal dengan pola pembicaraan dimanapun dia berada. Dia dan siapapun didekatnya, tak ada yang bisa menghindarkan diri untuk tidak bicara tentang politik di Palestina-Israel. Iapun bercerita tentang pengalamannya yang tidak menyenangkan saat menjalani homestay pada masa orientasi awal semester musim gugur tahun lalu. Nama “Palestina” telah memberinya masa-masa sulit, mengubah sikap dan tindakan yang empunya rumah begitu tahu ia orang Palestina. Namun akhirnya kami bersepakat untuk nantinya menghindari topik politik selama makan malam. Bagaimanapun juga, ini adalah undangan ramah tamah, dan selayaknya dimanfaatkan untuk mengenal budaya satu sama lain.
Seorang ibu tua muncul menanyakan nama, dan ternyata dialah yang menjadi nyonya rumah. Ia ajak kami ke mobil, dan kemudian sambil menyetir sendiri ia menanyakan satu persatu siapa dan bagaimana kami masing-masing. Hebatnya, si ibu ini, yang kemudian kusebut Mrs. Shayne, sudah mencari informasi tentang negara kami masing-masing. Betul-betul seseorang yang menyenangkan, dan sirnalah kekhawatiran kami tentang kemungkinan munculnya perdebatan politik.
Sesampai diapartemennya yang apik, ia terus bertanya sambil sesekali bercerita tentang keluarganya. Baru kutahu kemudian, ia berasal dari Denmark, dan bertemu dengan suaminya saat sang suami bersekolah di negaranya. Beberapa menit kemudian, si Bapak datang, tersenyum sedikit, dan ikut bergabung dengan kami. Ehm..belum-belum aku sudah memberikan penilaian, Mr. Shayne ini agak kaku sedikit. Sedikit saja.
Entah siapa yang memulai, tiba-tiba saja perkenalan berubah menjadi debat kusir panjang antara Nida dan si Bapak. Dari masalah Israel-Palestina, sampai akhirnya berputar-putar tentang Perang Irak yang sedang panas-panasnya saat itu. Kami bertiga dan Mrs. Shayne berusaha sesekali nimbrung dengan maksud membelokkan pembicaraan. Namun kedua orang ini, yang satu berlatar-belakang jurnalisme, berwarga-negara yang bermasalah kalau boleh dikatakan begitu, sementara satunya lagi, hidup dan besar dimasa Perang Dunia II dan perang Vietnam, alumni penerima beasiswa yang sama juga puluhan tahun silam, melanglang buana kemana-mana, tak satupun berkehendak menghentikan perdebatan. Suka tidak suka, si Bapak mengumandangkan patriotisme, bahwa bagaimanapun para tentara perlu didukung warganya, meskipun perang itu sendiri tak bisa dibenarkan.
Makan malam berjalan biasa, dan kami berlima beramah-tamah di meja makan, menikmati makanan khas Amerika. Namun dilidahku, salad dipiringku menjadi terasa agak hambar. Bukan salah siapa-siapa. Nida hanyalah menyuarakan kepedihan hati negaranya, statusnya yang tak menentu, dan tak sulit bagi dia untuk bisa berempati terhadap tetangganya sendiri, Irak. Mr. Shayne hanyalah warga Amerika yang mencoba merasakan betapa cemasnya hati seorang ayah bila seandainya anaknya sendiri yang ada di bawah desingan peluru. Sisanya, kami bertiga dan si ibu yang baik hati, hanyalah berusaha menjadikan malam ini malam yang menyenangkan.

***
Malam ketiga, malam budaya, atau kalau boleh aku katakan, malam hura-hura. Bisa diduga, seperti juga pada pertemuan-pertemuan lain yang melibatkan banyak negara, masing-masing peserta menampilkan pertunjukan apiknya, atau dikemas biar apik, agar orang lain sedikit lebih tahu seperti apa budaya masing-masing. Dan puncaknya, banyak peserta, yang kebetulan juga sebagian besar dari Amerika Latin, turun ke lantai, berdansa, apapun namanya, Salsa, Lambada, sepertinya ingin melepas ketegangan. Aku terseyum sendiri, kami orang Indonesia, empat jumlahnya, diantaranya 2 perempuan berjilbab, menjadi bunga yang menempel di tembok. Tak hendak ikut merasakan hingar bingarnya musik Latin.
Dan ditengah goyangan Latino, tak dinyana, Nida naik ke panggung, meraih mic dan dengan terbata-bata:
“Teman-teman semua, saya berterima kasih atas segala perhatian dan pertemanan selama 3 hari di seminar ini. Di Chicago yang dingin ini, saya sangat menikmati kehangatan kalian. Selamat berpesta, menari, selamat melupakan sejenak urusan-urusan sekolah dan negara masing-masing. Namun saya minta maaf, saya belum bisa memaksakan kaki saya untuk menari, belum bisa merasakan haru birunya tepuk tangan. Jauh disana, saudara-saudara saya masih berjuang demi kebebasan kami, ibu-ibu kami masih belum berhenti meratapi kepergian kakak-kakak dan adik-adik kami. Semoga suatu saat, anak saya, atau cucu saya, atau cicit saya, entah kapan, akan bisa bergandengan tangan dengan cucu-cucu kalian semua. Sekali lagi, selamat bersenang-senang.”
Sejenak musik berhenti, dan semua orang bertepuk tangan. Satu menit kemudian, mereka tenggelam dalam keriangan. Sekilas kulihat setetes air bening jatuh dipipinya yang putih bersih.

***
Minggu pagi. Chicago nampak riang kali ini. Kami berbincang di lobby hotel menjelang kepulangan ke sekolah masing-masing. Sambil menjabat tanganku dan merangkulku, Nida mengatakan keinginannya untuk suatu saat bisa berkunjung ke Indonesia, “I heard it’s a beautiful country, dan negara dengan populasi Muslim terbesar. Kalian hebat, tetaplah berdoa untuk kami. Agar suatu saat aku bisa mengunjungi negara indahmu.” Tak ada yang betul-betul tahu bagaimana rasanya menjadi seorang Nida. Menjadi orang Palestina, ia bagaikan gelandangan tanpa identitas. Ada orang yang menganggapnya gila, ada pula yang mengasihaninya. Tetapi sesudah itu apa ? Menyandang warga negara Israel, entah kapan Indonesia bisa menjadi tempat yang bisa dia diinjak. Hanya satu yang aku kucoba rasakan, betapa hampanya menjadi burung yang tak tahu harus hinggap dimana.


Pratiwi Retnaningdyah. Juli 2003