Wednesday, February 22, 2012

Through Literature, Learning English is Fun


Terkait dengan literacy education, saya ingin share pengalaman saya selama tiga minggu mengamati proses belajar anak-anak. Ganta, anak saya yang pertama, sekarang sedang di Brunswick English Language Centre (BELC). Lembaga bahasa ini terpadu dengan SMAnya, Brunswick Secondary College. Kemungkinan Ganta akan di sini selama 20 minggu, untuk kemudian nyemplung ke SMA-nya, bila kemampuan bahasanya sudah siap.

Setelah 1 minggu di pre-intermediate level, Ganta dipindahkan ke intermediate pada minggu kedua. Saya beruntung menjadi ibu yang juga guru Bahasa Inggris, sehingga betul-betul tahu bagaimana materinya dan kira-kira bagaimana penyampaiannya. Pada pre-intermediate level saya sebenarnya cukup kaget dengan materi bacaan pendek yang sebenarnya hampir sama dengan level mahasiswa semester 1 di Jurusan Inggris. Tapi alhamdulillah Ganta bisa jalani dan bahkan langsung masuk ke level berikutnya dalam 1 minggu. Nah, di intermediate level ini tantangan membaca menjadi terasa benar. Pada minggu kedua, setelah masuk level ini, kelas Ganta ditugasi membaca novel pendek, semacam ringkasan dengan bahasa yang lebih mudah. Biasanya digunakan untuk latihan membaca sesuai level siswa. Di jurusan Inggris, metode ini kami terapkan di semester 1, sebagai bagian dari Independent Study. Buku yang dibaca berjudul Touching the Void. Tentang perjalanan seorang pendaki gunung, Joe Simpson, yang mengalami kecelakaan dan hampir mati. Pengalaman hidup ini membuatnya menjadi seorang penulis (dan tetap mendaki gunung). 

Jujur saja, Ganta sebenarnya tidak terlalu suka membaca. Dia lebih banyak nongkrong di depan komputer. Saya jadi bertanya-tanya, bagaimana proses pembelajaran yang disampaikan di sekolah, yang membuat Ganta jadi tekun membaca. Tak terlihat wajah mengeluh di wajahnya. Sebentar-sebentar dia bertanya tentang isi cerita. Tugasnya juga lumayan. Membuat ringkasan per chapter, dan menggunakan mapping untuk story events. Mengenali karakter dalam cerita. Semuanya adalah 'makanan saya sehari-hari.' Di sinilah saya merasa bersyukur bisa langsung turun mendampingi anak belajar. Saya ikut membaca novelnya, sebelum dia sendiri selesai baca. Pendeknya, terasa saya berada di kelas sastra saya sendiri. Nikmat rasanya.

Minggu ketiga ini, giliran nonton film yang menjadi bahan pelajarannya. Saat Ganta ndlosor di kasur saya sambil buka PR dan tanya-tanya, aku baru tahu bahwa kelasnya sedang membahas Bend it Like Beckham. Yang ini saya yakin Ganta juga akan suka. Dia hobi nonton dan main bola. Dengan sentuhan multikulturalisme, pasti ada nilai tambah yang akan dia peroleh. "Ibu sudah nonton." "Iya bu, masih belum selesai nontonnya. Baru separo, katanya." Tugasnya hampir sama. Membedah tokoh cerita dan plot cerita. Saya juga yakin Ganta akan bisa mengerjakannya. Dia sudah mulai terbiasa dengan pola belajar dan tugas yang diberikan.

Senin-Jum'at belajar bahasa Inggris mulai jam 9 pagi-3 sore memang beda dengan 4 X 45 menit pelajaran Bahasa Inggris di SMA di Indonesia. Meski begitu, 'lompatan besar' yang terjadi pada anak saya secara psikologis dalam hal belajar bisa jadi juga dipengaruhi oleh cara penyampaian pelajaran. Saya jadi berfikir tentang pembelajaran Bahasa Inggris di Indonesia. Kenapa anak saya selama ini seperti kena stigma 'mbeler dan kurang tanggung-jawab' oleh gurunya. Sementara di sini saya rasakan sendiri motivasi belajar keluar dari dirinya sendiri. Tiap hari saya chatting sama suami. Dia surprise dengan banyaknya perubahan positif yang dia tidak bisa ikut rasakan. Mas Prapto juga guru dan psikolog. Aku curhati, kenapa pendidikan di negara kita kurang memberi ruang terhadap kreativitas dan imajinasi anak. Ganta seperti jadi 'a newly-born young man' di sini. 

Saya bermimpi tentang mahasiswa saya di jurusan. Kalau dosen-dosennya lebih banyak mengajarkan teknik-teknik pembelajaran yang kreatif dan inovatif, dan tidak terlalu ribut dengan format RPP, harusnya mereka akan bisa menjadi agents of change bagi anak didiknya kelak. Sayangnya, sementara ini pembelajaran Bahasa Inggris di Indonesia masih terjebak pada format belaka. Workshop lebih banyak berkutat tentang pembuatan silabus, RPP, dan asesmen yang benar. Hal ini memang penting, tapi membuat siswa menikmati belajar jauh lebih penting. 

Saya tahu banyak guru yang sebenarnya sangat kreatif di di kelasnya. Seorang teman, Dina Hanif Mufidah, guru SMA di Gresik, memenangkan tiket mengikuti seminar internasional berkat kepiawaiannya menggunakan story-telling dalam pembelajaran Bahasa Inggris. Teman yang lain, Ida Tisrina, guru Bahasa Inggris sebuah SMA di Sidoarjo, membebaskan siswanya untuk memberikan opini bebas tentang pendidikan. Ini dia lakukan saat menyentuh materi Hortatory Exposition, yang memang intinya adalah belajar memberikan opini secara lisan dan tulisan. Antusiasme siswa terasa saat mereka mempresentasikan opini mereka, yang kadang juga mengkritik kebijakan sekolah. Bagi Ida, bila siswa diberi ruang lebih bebas, mereka akan lebih kreatif. Sekarang terserah pada guru, the agent of change, apa ingin mempertahankan cara-cara lama atau mengubah mindset mereka untuk memberikan pengajaran yang kreatif. Dua kalimat terakhir ini saya kutip langsung dari email Ida, di milis alumni Unesa, di mana kami sama-sama jadi anggotanya. 

Saya optimis bahwa ke depan akan semakin banyak guru yang kreatif. Sebagai dosen Bahasa Inggris, saya merasa ikut menyandang amanah ini, dengan lebih banyak membagikan pengetahuan dan pengalaman saya mengajarkan sastra. Bagi saya, melalui sastra, belajar bahasa Inggris bisa lebih menyenangkan.



Tuesday, February 21, 2012

TIDAK LAGI KE MALAYSIA


Aku baru saja mau menyalakan kompor dan menaruh wajan Teflon di atasnya ketika kulihat ada yang aneh di permukaan wajan.
“Marni, kenapa wajan Teflonnya jadi putih begini? Ibu kan baru beli 1 bulan yang lalu?” teriakku dari dapur.
Marni mematikan setrika, dan bergegas mendekatiku.
Ngapunten bu, itu tadi saya gosok. Saya pikir... ehm niku kok warnanya hitam. Jadi ya... saya bersihkan ... pakai sabut yang dari logam itu,” jawab Marni terbata-bata.
“Waduh, Marni, Marni. Teflon ya begini warnanya. Kalau sudah putih begini malah tidak bisa dipakai lagi. Bahaya. Bisa sebabkan kanker,” ujarku.
“Aduh, aduh, nggih to Bu?. Ngapunten ingkang sanget, bu,” jawab Marni. “Mboten ngertos. Nggih, maklum, tiyang ndusun.”
“Ya, sudah, Mar. Gak apa, wong ya sudah kadung. Maksudku itu lho, kamu mestinya tanya dulu kalau gak tahu. Kamu kan lagi PKL disini. Belajar nyambut gawe di luar negeri. Lha nanti kalau kamu buat kesalahan kayak gini, trus ... majikanmu gak begitu baik, lak bisa gawat nasibmu.”

Marni merupakan calon TKW yang kesekian kalinya bekerja di rumahku. Susah cari pembantu yang bisa bertahan lama sekarang. Sementara aku harus segera kembali masuk kerja. Sani, putri kecilku sudah menginjak 3 bulan usianya. Harus ada yang membantu menjaga bayiku bila kutinggal kerja. Kebetulan mas Bagas, suamiku, punya teman pengusaha PJTKI. Jadilah, tiap 3-6 bulan sekali, pembantuku berganti-ganti. Marni baru saja ikut aku 1 minggu yang lalu. Dia sudah selesai pasporan. Sekarang dia menjalani PKL di rumahku, sambil menunggu calling visa-nya turun. 
“Kamu mau diberangkatkan kemana, Mar?” tanyaku. Ini pertanyaan standar yang kuberikan setiap ada calon TKW baru di rumahku. Seperti sudah kuduga, jawabannya Malaysia. Kadang-kadang saja Singapura.
“Kenapa mau jadi TKW?” tanyaku lagi.
Setiap kali menanyakan hal yang satu ini, perutku selalu mules tanpa sebab. Kalau bukan karena suami yang suka main pukul, atau cerai, dan anak masih kecil-kecil, seringkali juga karena punya hutang di kampung.
“Lha nggih niku bu, suami saya kena tipu. Maunya usaha sama temannya, sampai jual sawah segala,” jawab Marni.  “Eh, ternyata temannya membawa lari duitnya. Sekarang suami saya jadi stress mikir utangnya,”
“Lha kok kamu yang jadi TKW? Kenapa bukan suamimu yang daftar jadi TKI. Kan banyak job di perkebunan atau konstruksi bangunan di Malaysia?” tanyaku setengah menyelidik.
Leres bu, ning suami saya jadi sakit-sakitan. Jadi unfit waktu tes kesehatan. Akhirnya saya yang disuruh berangkat.”

***********
Aku sedang mengoreksi tugas-tugas mahasiswaku ketika HP-ku berdering. Telpon dari Santi, teman suamiku yang pengusaha PJTKI.
“Assalamu’alaikum mbak, gimana kabarnya?” tanyanya merdu di seberang sana.
“Wa’alaikumsalam, baik dik. Tumben telpon?” aku balik bertanya.
“Iya nih mbak, cuma mau pesan. Tolong kalau Marni ijin pulang kampung, jangan diperbolehkan ya,” kata Santi.
“Kenapa dik?” Ada masalah ta?”
“Ya sedikit. Ini ada calon TKW dari NTT yang lari dari penampungan,” Santi menjelaskan. “Arek-arek lagi berusaha cari kemana kira-kira perginya.”
Oh gitu. Yah, jadi repot juga ngurus yang beginian ya?”
“Ya gitulah mbak. Yulia, anak NTT itu sebenarnya sudah mau berangkat. Calling visa-nya dah mau turun. Kantor dah keluar dana banyak kan kalau sudah sampai sejauh ini prosesnya. Agent-ku di Malaysia ngomel-ngomel nih.
“Ok deh dik, ntar aku info kok kalau ada apa-apa. Sejauh ini, Marni baik-baik saja kok.”
Kututup gagang telpon. Sedikit keheranan mampir di pikiranku. Tumben urusan TKW gini Santi langsung telpon sendiri ke aku. Biasanya dia selalu titip pesan lewat suamiku. Lalu aku jadi ingat kejadian yang hampir sama 9 bulan yang lalu. Yayuk, calon TKW yang kerja di rumahku, meminta ijin pulang kampung. Alasannya, ibunya kecelakaan, ditabrak sepeda motor. Sambil menangis-nangis, dia mohon untuk menengok barang sehari-dua hari ke Kediri. Tidak tega aku melihatnya. Apalagi aku sendiri yang menerima telpon dari keluarganya di Kediri. Akhirnya Yayuk pulang, kuberi sangu 100 ribu untuk perjalanan.
Sorenya, ketika suamiku pulang, kuberitahu dia bahwa Yayuk kuijinkan pulang 2 hari.
“Kamu itu lho, kok bisa ngasih ijin seenaknya, tanpa kasih tahu kantor Santi dulu.” tanya mas Bagas.
“Walah mas, wong cuma 2 hari aja. Toh Yayuk sudah ikut kita 3 bulan, dan dia baik-baik saja. Rajin dan sopan banget malahan. Apalagi dia sudah pernah kerja di Singapura. Kan dia sudah paham aturan PJTKI?” kucoba menjelaskan.
“Rasa empatimu yang berlebihan itu kadang-kadang dimanfaatkan orang.”
“Huh, sebel aku, sama orang kok gampang curiga,” grundelku dalam hati. Punya banyak teman di PJTKI nampaknya mulai melunturkan kepekaanya.
“Coba cek kamarnya, masih ada nggak baju-bajunya?” tanya mas Bagas lagi.
Tersentak aku lari ke kamar belakang. Kubuka lemari kecil di ujung kamar. Kosong. Tak satu helai bajupun tertinggal. Di atas sprei kasur, tergeletak salah satu novel koleksiku, Catatan Harian seorang Pramuwisma. Novel itu ditulis oleh mantan TKW di Hongkong. Lemas rasanya badanku.
Tidak, tidak mungkin Yayuk bohong padaku. Dia termasuk salah satu calon TKW yang banyak ngobrol tentang keinginan-keinginannya. Setelah pulang dari Malaysia nanti, dia ingin kawin, dan buka usaha. Makanya dia mau tabungkan gajinya setelah 7 bulan bekerja di sana.  
Dua hari kemudian, suamiku membawa kabar tentang Yayuk.
“Pegawai di kantor PJTKI-nya Santi sudah nelpon pak Ali, petugas lapangan di Kediri. Pak Ali cek ke rumah Yayuk di tetangga desa. Tahu nggak? Rumah Ibu Yayuk kosong. Yayuk dan Ibunya meninggalkan rumah 2 hari yang lalu. Tetangganya tidak ada yang tahu kemana mereka pergi,” cerita mas Bagas panjang lebar.
“Masalahnya, calling visa Yayuk dan rekom-nya sudah turun. Dia mestinya terbang 3 hari lagi. Tahu nggak berapa juta kerugian kantor PJTKI kalau ada TKW kabur kayak gini?” Belum lagi turunnya kepercayaan agent di Malaysia,” suara suamiku mulai sedikit naik.
                Aku terdiam, mencoba mencari jawaban. Mencari pembenaran atas keteledoranku. Mencoba memahami kemarahan suamiku. Mungkin dia sendiri habis didamprat temannya juga.
     Aku teringat novel-novel para TKW Hongkong yang ada di rak perpustakaan kecilku. Teringat wajah antusias Yayuk ketika kuceritakan tentang para TKW yang sukses menjadi penulis. Terbayang mata Yayuk yang cerdas saat menghabiskan waktu luangnya dengan membaca novel-novel TKW itu. Dia suka duduk selonjor di karpet, sambil menemani aku mengetik di depan laptop. Terbayang percakapan kami tentang Nirmala Bonat yang diberitakan di koran beberapa waktu yang lalu.
 
                                                                ***********

     Penantian Marni akhirnya terbayar sudah. Setelah 6 bulan ikut aku, lebih lama dibandingkan para calon TKW sebelumnya, akhirnya calling visa-nya turun. Dia pamit berangkat, minta doa restu agar semuanya lancar.
“Bu, matur nuwun sanget. Ibu sudah perlakukan saya dengan baik. Saya sudah dianggap keluarga sendiri. Mugi-mugi saya dapat majikan kados njenengan, bu.”
“Insha Allah, Mar.  Ati-ati ya. Ini kukasih mukena, buat shalat kamu selama di sana,” ujarku sambil memberikan bungkusan koran berisi mukena baru.
“Oh, nggih bu. Matur nuwun. Ning, ngapunten niki. Saya sudah dipeseni untuk tidak bawa mukena yang putih-putih gitu. Katanya, nanti bisa dimarahi majikan. Saya dah bawa sarung kok, bu.  Insha Allah saya tetap bisa cari cara untuk tetap shalat,” Marni menjelaskan.
Aku ternganga mendengar penjelasan Marni.
Geregetan dengan masalah ini, kucari nomor telpon kantor PJTKI. Santi sendiri yang mengangkat telpon.
“Edan, iki dik,” ujarku lewat telpon. Tolong dong dik Santi. Kan njenengan dan lama di PJTKI. Masak urusan shalat dipersulit. Apa gak bisa diomongkan dengan para agent di Malaysia.”
Iya, iya, aku ngerti. Ini masalah klasik, mbak. Aku sendiri juga resah. Tapi itu memang kalau majikannya non-Melayu, kok, mbak,” jawab Santi.
“Iya... kalau gitu ngirimnya TKW hanya ke majikan yang Melayu saja, dik. Kasihan kan. Masak njenengan tega nasib bangsane dewe dibiarkan sengsara. Kenapa juga nasib TKW non-formal di Malaysia tidak sebaik yang di Hongkong? Dik Santi pasti tahu kenapa bisa beda peraturannya,” tanyaku panjang lebar. Novel-novel TKW Hongkong nampaknya sudah mampu membuatkan sedikit lebih cerdas kali ini.
“Mbak, memangnya ini perusahaan sampeyan sendiri. Gak semudah itu urusannya. Banyak yang dikompromikan. Lha itu antrian TKW di penampungan itu kan ya cemas nunggu kapan berangkat. Masalah gini mestinya nggak usah terlalu dibesar-besarkan lah.” Suara Santi terdengar jengkel.  
Terdengar gagang telpon ditutup agak kasar di seberang sana. Gagang telpon masih kugenggam, kaget dengan jawaban Santi.

************
Lima bulan berselang. Aku tidak lagi mencari calon TKW untuk membantuku membereskan pekerjaan di rumah.  Sudah ada pembantu yang menetap dari Madura. Sejauh ini, semua pekerjaan momong si kecil dan membersihkan rumah berjalan dengan lancar.
Seusai Maghrib, aku dan suamiku ngobrol di teras depan. “Aku kemarin ketemu Santi. Dia cerita, kalau Marni lari dari majikannya. Sudah 2 bulan yang lalu. Sampai sekarang tak tahu dimana keberadaannya,” ujar mas Bagas membuka percakapan.
“Ooh,” cuma itu yang keluar dari mulutku. Membayangkan Marni berada di tengah hutan, menjauh dari kejaran polisi imigrasi Malaysia yang mencari para TKI ilegal. Atau bisa saja dia bersembunyi di perkampungan para TKI formal yang bekerja di perkebunan. Lari dari majikan sudah mengubah status Marni menjadi TKW ilegal. Paspornya pasti masih dipegang majikannya, atau barangkali agent-nya.
“Oh ya, dia juga titip salam ke kamu,” mas Bagas menambahkan. “Khusus titip info, kalau PJTKI-nya dia tidak lagi mengirim TKW non-formal ke Malaysia. Job-job dia tetap masih banyak. Dia bahkan kewalahan menangani permintaan TKI untuk perkebunan. Dia juga bilang kalau mau ajak aku ikut gabung ke PJTKI-nya. Boleh nggak?”
Kuraih koran hari ini yang belum selesai kubaca. Mataku tertumbuk pada satu baris berita. “Pemerintah Indonesia menghentikan pengiriman TKW non-formal sampai peraturan tentang hak-hak TKW non-formal disepakati.”
Aku menoleh ke suamiku. Dia masih menunggu jawabanku. Aku tersenyum lebar sambil menepuk bahunya. Hidup bersama selama delapan tahun lebih sudah cukup baginya untuk memaknai senyumku.

Surabaya, Mei 2011 

Cerpen ini dimuat di Antologi Cerpen Alumni Unesa, Ndoro, Saya Ingin Bicara (IKA Unesa Publishing, 2011)

Membangun Kemitraan Guru dan Dosen, Meningkatkan Inovasi Pembelajaran (2)

Ini bagian kedua dari artikel tentang Budaya Copas dalam RPP. Akhirnya ketemu juga di sini: http://www.surya.co.id/web/index.php/Pendidikan/MENYUSUN_RENCANA_PELAKSANAAN_PEMBELAJARAN_.html.

  =============================================================

Banyak dosen paham cara menyusun RPP yang baik dan model pembelajaran yang menarik. Namun mereka masih nangkring di menara gading. Memaksakan bentuk-bentuk pembelajaran yang ideal, tanpa mempertimbangkan kondisi sekolah atau kelas secara nyata. Apakah kesenjangan ini bisa dijembatani? Mengapa tidak? Sudah saatnya pihak sekolah (guru) dan LPTK (dosen) mempererat hubungan kemitraan melalui program peningkatan kualitas pembelajaran seperti penelitian tindakan kelas (PTK) dan/atau lesson study. Kemitraan di sini berarti dosen tidak mendudukkan diri sebagai 'yang maha tahu'. 

Guru dan dosen bisa saling berbagi informasi dan pengetahuan mengenai teori dan praktik pembelajaran. Para dosen yang barangkali lebih paham teori pembelajaran perlu mendapatkan kesempatan untuk melihat praktik nyatanya di kelas; sedangkan guru bisa mendapatkan pengetahuan teoritis untuk mendukung atau memperbaiki kualitas proses belajar mengajar yang dia lakukan.

Mengapa PTK dan atau lesson study? Kedua kegiatan ini sama-sama memiliki banyak kesamaan, antara lain bertujuan meningkatkan kualitas pembelajaran di kelas, bersifat kolaboratif, melibatkan langkah penyusunan RPP dengan benar sebagai panduan mengajar, dan diskusi umpan balik sebagai bagian dari refleksi untuk perbaikan langkah selanjutnya. Langkah plan, do, and see dalam lesson study jelas-jelas senada dengan siklus PTK yang melibatkan antara lain rencana tindakan, pelaksanaan tindakan, dan refleksi. 

Tulisan ini memang tidak berniat untuk membahas bagaimana melaksanakan PTK dan atau lesson study secara rinci, namun lebih menekankan pada pentingnya makna kemitraan. Guru bisa bertindak sebagaimana biasanya pada proses belajar mengajar, dan dosen atau teman sejawat sesama guru bidang studi bisa mengambil peran sebagai pengamat selama proses belajar mengajar berlangsung. 

Di dalam kedua kegiatan ini, langkah-langkah pembelajaran yang dilakukan haruslah berdasarkan RPP yang disusun atas dasar alternatif tindakan dan/atau refleksi yang diberikan. Dalam tahap refleksi, guru yang bersangkutan bisa mendapatkan umpan balik dari dosen mitra tentang kelebihan dan kekurangan yang terjadi selama proses belajar mengajar, untuk kemudian dijadikan landasan perbaikan langkah selanjutnya. Di pihak lain, dosen mitra juga akan bisa melihat bagaimana sebuah teori bisa/tidak bisa diterapkan di dalam kelas.

Tentu saja ada beberapa syarat yang perlu dipenuhi agar PTK dan lesson study berhasil. Hanya seorang guru yang berani terbuka dan mengakui kekurangan dalam PBM yang akan membuka pintu kelasnya lebar-lebar untuk diamati dan dikomentari oleh teman sejawat dan seorang dosen mitra. Sebaliknya, diperlukan seorang dosen yang jujur dan taat azas, dan bukan yang 'sok pinter', yang akan melaksanakan PTK berdasarkan masalah nyata yang dihadapi guru di kelasnya. PTK bukan lagi didasarkan pada masalah yang disodorkan dosen (yang belum tentu merupakan masalah guru), dan tak lagi semata-mata demi mendapatkan dana hibah penelitian. 

Barangkali sudah banyak guru dan dosen yang melakukan kolaborasi seperti di atas, namun penulis melihat perlunya kegiatan kemitraan yang bersifat akademis ini semakin digalakkan. Dengan demikian, RPP 'jiplakan' pada akhirnya akan bisa diminimalisasi. Sebaliknya, melalui PTK dan lesson study, guru terdorong untuk membuat dan menggunakan RPP yang nyata untuk panduan mengajar.. Selain itu, para dosen juga akan terus terpacu untuk menguji kebenaran teori-teori pembelajaran melalui pengamatan nyata di kelas. 

Di pihak lain, para guru akan semakin termotivasi untuk terus-menerus melakukan inovasi pembelajaran. Kegiatan akademik seperti PTK dan lesson study diyakini akan meningkatkan kualitas pembelajaran dan sekaligus profesionalisme guru. Dan bukankah makna profesionalisme yang sebenarnya adalah keinginan untuk selalu memperbaiki kinerja sebagai guru, dan bukan hanya sekedar memperoleh tambahan penghasilan karena lulus sertifikasi guru?/

Budaya Copas dalam Menyusun RPP (1)


Saat browsing tentang artikel pembelajaran, saya malah menemukan artikel saya sendiri yang pernah dimuat di harian Surya, sekitar 3 tahun yang lalu, tepatnya pada akhir Januari 2008. Artikelnya ada 2 bagian. dan dimuat dalam 2 edisi berbeda. Bagian pertama artikel ini diunggah di blog Dinas Pendidikan Sumatra Barat, dengan link ini: http://enewsletterdisdik.wordpress.com/2008/02/27/menyusun-rencana-pelakasanaan-pembelajaran-rpp-jiplakan-dan-budaya-potong-kompas/.  Ini dia artikelnya. Mudah-mudahan masih relevan dengan kondisi dunia pendidikan sekarang ini.

 ================================================================= 

Bila Anda seorang guru, Anda barangkali sudah terbiasa dengan rutinitas awal semester. Mengumpulkan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) dan mempersiapkan materi untuk satu semester ke depan.

Tapi bila ditanya, apakah tujuan dan langkah-langkah pembelajaran di dalam RPP yang Anda susun betul-betul direalisasikan dalam proses belajar mengajar, barangkali Anda akan tersenyum simpul. Bagaimana tidak? RPP seringkali hampir seragam dengan teman sejawat atau sesama guru bidang studi dari sekolah lain. Pendek kata, teknik copy and paste boleh dikata sudah biasa dilakukan oleh para guru.

Apakah ini salah? Barangkali tidak ada yang salah dengan RPP yang hampir sama, dengan sedikit modifikasi di sana-sini, sesuai dengan kondisi kelas. Namun bagaimana kalau seorang guru justru tidak paham dengan kalimat yang dia tulis sendiri di RPP? Lho, apa ada guru yang tidak mengerti apa yang dia tulis di RPP?

Mengapa tidak? Temuan ini penulis peroleh selama menjalankan tugas sebagai instruktur di Pendidikan Latihan Profesi Guru (PLPG). Mari kita ambil salah satu contoh ini. Seorang guru mata pelajaran bahasa Inggris misalnya. Dia mencantumkan kalimat sebagai berikut sebagai salah satu tujuan pembelajaran di RPPnya: Siswa mampu mengidentifikasi ciri-ciri kebahasaan dalam teks naratif. Namun ketika praktek mengajar, tujuan pembelajaran di atas tidak muncul. Ketika ditanya mengapa, justru guru yang bersangkutan malah bertanya balik, “Ciri kebahasaan itu apa sih, bu?”. Kasus sejenis terjadi dalam kaitan dengan pedoman penilaian yang digunakan.

Di dalam RPP, seorang guru yang lain menetapkan mechanics sebagai salah satu aspek penilaian kemampuan siswa dalam ketrampilan berbicara. Ini jelas logika yang tidak jalan, karena mechanics dalam bahasa Inggris mengacu antara lain pada cara penulisan yang benar, seperti penggunaan huruf besar, singkatan, angka, atau cetak miring dalam kalimat. Usut punya usut, ternyata guru yang bersangkutan (dan guru-guru yang lain dalam kelompok tersebut) belum tahu arti kata mechanics dalam konteks pengajaran bahasa Inggris.

RPP ‘jiplakan’ juga menjadi keprihatinan penulis. Sebagian besar guru peserta PLPG mengakui, mereka tak punya cukup waktu untuk betul-betul menulis RPP dengan benar, karena tuntutan tugas mengajar yang padat dan tugas-tugas lain sebagai guru. Para guru bahkan tak sempat menggunakan RPP ‘hasil kerja sama’ sebagai panduan mengajar. Banyak guru memilih mengajar dengan teknik potong kompas, seperti penerjemahan tiap kalimat untuk ketrampilan membaca (reading skill), atau tetap menggunakan bahasa Indonesia saat mengajar Bahasa Inggris.

Padahal skenario pembelajaran yang tercantum dalam RPP cukup bagus dan sesuai dengan tujuan komunikatif pembelajaran bahasa Inggris. Alasan klasiknya: tuntutan menyelesaikan materi dalam satu semester atau kualitas siswa yang rendah. Mana sempat menggunakan metode pembelajaran yang komunikatif kalau dikejar-kejar materi yang padat?

Di pihak lain, banyak dosen paham cara menyusun RPP yang baik dan model pembelajaran yang menarik. Namun mereka sepertinya masih nangkring di menara gading. Walaupun para dosen telah membagi ilmunya dengan para guru melalui diklat atau lokakarya, masih saja ada anggapan bahwa para dosen ‘terlalu memaksakan’ bentuk-bentuk pembelajaran yang ideal, tanpa mempertimbangkan kondisi sekolah atau kelas secara nyata. “Yang lebih tahu kondisi dan kualitas siswa kan kami, bukan dosen,” begitu kira-kira gerutu sebagian guru. 

Monday, February 20, 2012

Digitized Writing Class

     Pada bulan Januari-Maret tahun 2011 yang lalu, saya berkesempatan mengikuti Online Course yang diselenggarakan oleh The University of Oregon selama 10 minggu. Bersama saya, ada juga bu Esti, kolega dari Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris Unesa. Kami berdua merupakan angkatan kedua dari Unesa yang mendapatkan kesempatan ini dari RELO-US Embassy Jakarta. Angkatan pertama yang belajar di semester sebelumnya adalah bu Raras dan pak Sukmawan.
     Online Course yang saya ikuti berfokus pada Project-based Learning. Pesertanya dari berbagai negara. Saya lupa berapa jumlahnya. Kira-kira 35 orang, mengingat kami dibagi menjadi 7 kelompok, yang masing-masing beranggotakan antara 3-4 orang. Kelompok dibentuk berdasarkan topik yang ingin diangkat untuk tugas mid-term, yang memang bersifat kelompok. Saya sendiri akhirnya bekerja sama dengan Rizki Nur, dosen muda dari Universitas Negeri Makasar, dan Yusri Fajar, dosen sastra dari Poltek Universitas Brawijaya. Kami memutuskan bergabung dalam satu grup berdasarkan minat yang sama, yakni ingin mengangkat pemanfaatan IT untuk pembelajaran Writing. Rizki mahir sekali dalam hal penerapan teknologi pembelajaran, sementara Yusri dan saya sama-sama menekuni bidang sastra dan suka menulis.
     Online Course yang kami ikuti cukup menantang dan memerlukan komitmen tinggi. Setiap minggu, setiap peserta harus membaca materi yang telah ditentukan dan di-posting di Blackboard. Yang menarik adalah tuntutan untuk menjawab tugas mingguan sebanyak 2 kali dan mempostingkannya di forum yang telah dibentuk di mailing list. Selain itu, setiap peserta juga dianjurkan membaca jawaban peserta lain dan memberikan minimal 2 komentar tiap minggu. Ini menjadi lumayan 'berat' dalam hal manajemen waktu, di mana setiap peserta juga masih memiliki tanggung-jawab di institusi masing-masing. Beberapa kali saya dan bu Esti saling mengingatkan akan materi yang harus dibaca dan deadline pengiriman tugas, di antara kesibukan mengajar yang cukup padat. Kadangkala masalah jaringan internet juga menjadi kendala untuk menyerahkan tugas tepat waktu.  Hal ini terjadi terutama pada peserta dari negara yang jaringan internetnya kurang mendukung. Meskipun begitu, saya akui komitmen tiap peserta yang sangat tinggi. Mayoritas mengerjakan tugas tepat waktu, dan kadang malah sangat awal, dan melebih target minimal yang ditetapkan.
     Materi yang kami bahas cukup beragam, dan selalu bisa dikaitkan dengan bidang kami masing-masing. Yang menyatukan kami adalah bahwa semua peserta adalah pengajar dari berbagai tingkat pendidikan, mulai SD sampai perguruan tinggi, atau lembaga pelatihan di institusi pemerintah. Sebagian materi sudah cukup saya ketahui, seperti Multiple Intellegencies, namun banyak lagi yang baru saya kenal atau saya baca dengan perspektif yang baru, seperti isu authentic assesment.
     Pada akhirnya, semua materi akan mengerucut pada PBL (Project-based Learning). Dalam tugas mid, tiap kelompok diminta untuk mendesain sebuah lesson plan yang bisa diterapkan nantinya di institusi masing-masing. Semua kelompok harus bekerja secara virtual, karena memang domisilinya terpisah jarak dan waktu. Saya, Rizki, dan Yusri mengerjakan proyek kami melalui diskusi di Yahoo Messenger, setelah janjian  via SMS. Kalau di forum resmi di mailing list kami menggunakan Bahasa Inggris sebagai sarana komunikasi awal, pada akhirnya kami switch ke Bahasa Indonesia dalam tahap pengerjaan tugas. Rizki terbukti sangat handal dalam web design untuk pembelajaran. Dia betul-betul tahu apa yang kami inginkan. Saya hanya tahu penggunaan IT, tanpa 'ngeh' sama sekali dalam web design. Namun saya cukup bisa menggambarkan kira-kira website kami akan berwujud seperti apa, dengan features seperti apa. Saya menginginkan adanya website untuk pembelajaran Writing yang bisa dimanfaatkan guru, mahasiswa, atau dosen. Jadi tugas saya adalah merancang bentuk PBL dan menyediakan sebagian materinya. Rizki menuangkannya dalam web dan menambahkan materinya. Yusri saat itu sedang sibuk dengan tugas dari institusinya, namun dalam kesempitan waktunya, dia masih tetap membantu memperhalus konsep, menyediakan materi, sekaligus menghaluskan laporan. Yusri, lulusan sastra dari Jerman, ternyata juga seorang penulis, dan salah satu cerpennya dalam Bahasa Inggris menjadi bagian dalam materi (Beberapa waktu yang lalu Yusri men-tag cover antologi cerpennya, Surat dari Praha yang baru terbit).
     Proyek pembelajaran PBL kami selesai dengan memnuaskan, meski ada kekurangan di sana-sini. Bahkan PBL kami terpilih menjadi salah satu contoh produk online course yang mendapatkan apresiasi dari pihak penyelenggara. Project description kelompok kami juga ditayangkan di sini:
http://umbc.uoregon.edu/eteacher/projects/201002_E-Teacher_Digiclasswebsite_Indonesia.pdf.

Kalau ada kesempatan, saya ingin membuat web sejenis dan menyempurnakan isinya. Mengunjungi kembali situs ini setelah beberapa lama sempat terlupakan membuat saya berniat lebih sering menulis dan menularkan virus menulis kepada orang-orang yang saya kenal. Semoga situs ini ada manfaatnya bagi mereka yang membutuhkan sentuhan tutorial.
     Hasil PBL ini sendiri, yakni websitenya, bisa diintip di http://www.wix.com/groupc2011/digiclass. Link ini juga saya cantumkan di blog ini, di bagian My Favorites. Selamat menikmati tutorialnya.

Sunday, February 19, 2012

Meningkatkan Kesepahaman antara Pembimbing-Mahasiswa

Ada kebiasaan baru yang patut kutiru dari supervisor keduaku, Chris Healy. Setelah selesai sesi bimbingan, beliau memintaku untuk mengirim email yang mencantum hal-hal di bawah ini:
- point-point yang kita diskusikan
- apa yang akan aku lakukan dalam jangka waktu tertentu sebelum sesi konsultasi mendatang.
- isu-isu apa yang menjadi bahan renungan


Tujuan dari email ini bukanlah semacam tugas, namun bagi Chris, ini akan memberikan 'a sense of understanding and certainty' dari kedua belah pihak. Beliau lakukan ini dengan semua mahasiswa bimbingannya. Selama ini, saat masih bimbingan dengan Fran, sebenarnya aku selalu mencatat apa saja yang dibahas dalam sesi konsultasi. Namun adanya 'tagihan' yang diinginkan Chris membuatku semakin awas dengan materi diskusi dan target yang disepakati bersama. Saat konsultasi kedua Kamis lalu, Chris menanyakan apakah tagihan seperti itu membantuku. Aku bilang ya, karena memang bisa menjadi pengingat bahwa ada target tertulis yang harus dicapai. Selain itu, cara komunikasi ini akan meningkatkan kesepahaman antara pembimbing dan mahasiswa. Bahkan aku bilang ke Chris bahwa cara ini akan aku ikuti nanti bila sudah kembali mengajar dan membimbing skripsi.


Ini contoh 'tagihan' yang aku copy-paste dari emailku setelah konsultasi pertama.

Thank you very much for the insights you gave me last week. The following is some points that I noted regarding our discussion.

What we discussed:
We discussed my latest introductory draft that I revised on the basis of my last consultation meeting with Fran. You reckoned that the draft was fine as a starting point, and might be used for confirmation. However, you saw the possibility of a different version of introduction. You suggested a different angle, such as talking more on the history of writing competition for Indonesian foreign domestic workers (IFDWs). For sure, writings produced by IFDWs didn’t come out of nothing. I had actually considered discussing this as part of production stage. There would be a separate chapter on this issue. Nevertheless, I found your suggestion more challenging. Starting out on the history of writing competition will reveal the power behind the writing phenomenon among IFDWs. This is an equally interesting topic and deserves more attention. Also, you suggested that there be no need to focus on specific authors and works. Textual analysis may be put aside, giving more room to ethnographic research.

What we decided to do next:
We decided that I would start to sketch out the history of writing competitions/festivals for IFDWs. In my mind, I had already pictured the following points to be discussed:
-       some Indonesian literary figures who have helped providing mentoring and setting 

        out writing competitions/auditions for IFDWs.
-       several communities/associations/agencies that have regularly held such events in 
        the past 5 years.
-       when the events were held.
-       where/in what countries they were held.
-       what  the prizes were.
-       how the result was.

The above points will reveal the literary infrastructure of writings by IFDWs, and will be useful to determine the next step.

Some issues I need to consider:
The decision we have agreed upon seems to take me to a different topic. I assume that there will be a twist of focus. What I previously considered a core issue will likely become a minor one, and vice versa. However, I’m sure that what I had previously written can still be helpful later. In the last few days after the meeting, I’ve been
thinking about it over and over again. This time I began to see a clearer picture and will want to discuss the literacy movement that has empowered IFDWs to write. This was previously a minor issue, but now I’d like to see the possibility of bringing this up as my main theme. I see this as a more challenging topic, since I will talk about IFDWs who have turned to writing, senior writers who have empowered IFDWs to write, literary communities as well as FDWs’ communities that have shaped and been shaped by the writing phenomenon among IFDWs. This change of focus, if it works well, will mean that I may no longer do an in-depth textual analysis of the works by IFDWs, and will use ethnographic approach instead. I will see to it how things work out down the road.

I’m still working on the list of writing competitions/festivals and will send the result by 14 February 2012. 
Thank you very much for the enlightenment.


Saturday, February 18, 2012

Gambaran Ibu dalam Soal Bahasa Indonesia kelas 1 SD: Masyarakat Urban sudah Berubah


     Seorang teman mengirimkan sebuah posting di milis. Ada attachment yang isinya scan butir soal tes formatif untuk anak kelas 1 SD untuk pelajaran Bahasa Indonesia. Di situ ada gambar seorang anak didampingi perempuan berkebaya yang membantunya bersiap-siap untuk bersekolah. Gambar anak diberi label 'aku,' sedangkan perempuan berkebaya menjadi bagian dari pertanyaan. Siswa diminta mengidentifikasi sosok perempuan itu. Pilihan jawaban yang disediakan adalah: Ibu; Pembantu; Ayah; dan Guru. Yang mengejutkan, hasil scan jawaban menunjukkan bahwa si siswa yang bersangkutan memilih jawaban "Pembantu." Guru menyalahkan jawaban ini, karena kisi-kisi menentukan jawaban yang benar adalah "Ibu." 

Adakah yang salah dalam soal ini?

     Kasus ini menarik dikaji, karena sifatnya multi-interpretatif. Dari sisi kaidah asesmen pembelajaran, pembuatan soal dengan disertai gambar tersebut merepresentasikan pikiran pembuatnya yang masih tradisional dan konvensional. Ini terlihat dari pakaian 'si ibu' yang memakai kebaya. Bukankah secara tidak sadar, pikiran kita sudah terkonstruksi oleh image ibu ideal yang seperti ini. Si pembuat soal lupa bahwa dunia nyata tidaklah seperti itu. Secara kultural, pikiran pembuat soal bisa dikatakan mewakili sebagian masyarakat kita yang menggambarkan sosok ibu yang tradisional itu. Secara asesmen, butir soal tersebut kurang bagus. Kata 'ayah' sebagai pilihan bukanlah distractor jawaban yang baik, karena sosok yang ditanyakan jelas-jelas seorang perempuan. Soal ini mungkin dianggap bagus di masyarakat yang 'neutral gender.' Namun di dalam konteks masyarakat Indonesia, ini rasanya tidak mungkin.
     Bagaimana dengan pilihan yang diambil si siswa sebagai jawabannya? Ketika si siswa memilih jawaban 'pembantu,' ini juga sama sekali tidak salah. Pilihan yang diambil si siswa mengindikasikan persepsi anak tentang sosok pembantu, yang sering kita stereotipikan sebagai orang dari desa, dan ini ditunjukkan dari pakaian kebayanya. Di satu sisi, ini juga menunjukkan spatial setting lingkungan di mana anak tumbuh. Besar kemungkinan dia anak kota, punya pembantu yang tipikal seperti itu, atau setidak-tidaknya, melihat lingkungannya. Mamanya kemungkinan besar tidak pernah pakai kebaya juga.
     Kalau kita baca soal ini lebih dalam di deep structure-nya, pilihan siswa atas jawaban pembantu menunjukkan perubahan nilai tentang nurturing. Surrogate mothering, yang diwakili si pembantu, betul-betul refleksi transformasi sosial tentang peran perempuan sebagai ibu dan wanita karir. Semakin banyaknya ibu yang berkarir, sebagai dampak dari global demand, membuat banyak rumah tangga memerlukan sosok 'pengasuh.' Banyaknya waktu yang dihabiskan bersama oleh si anak dan 'mbok'nya,  dan kehangatan yang didapatkan dari si mbok juga refleksi dari berubahnya nilai tentang 'motherhood.' ketika ibu kurang memiliki waktu untuk fungsi ini.
     Nah, jujur ya, sebagian dari kita yang menjadi ibu, ketika kita kaget dengan kasus di dunia pendidikan kita ini, sebenarnya di alam bawah sadar, kita sedang mengalami pergolakan, adanya contestation antara ibu dan pembantu dalam 'mendapatkan' perhatian anak. Ini refleksi perasaan insecure bahwa kita takut kehilangan peran sebagai ibu. Itu makanya banyak ibu yang berupaya untuk menjadi supermom, tetap berkarir, tapi tidak mau 'kalah' dengan si 'mbok'. It's power hegemony of class, ethnicity, and gender, dalam bahasa Antonio Gramsci. Tapi tekanan dunia global seringkali akhirnya mengubah contestation tadi menjadi negotiation, sehingga terjadi kerjasama antara ibu dan si mbok dalam pengaturan tugas-tugasnya, yang secara tradisional, masih dianggap menjadi bagian dari domestic, immaterial labor.
     Masalah ini tidaklah kasuistis, tapi sudah menjadi fenomena global, tentang negotiation of public/private space and surrogate mothering. Berbagai studi sosiologis tentang TKW Filipina dan Indonesia di Hong Kong, Taiwan, dan Singapore mengindikasikan fenomena yang sama. 
     Sebuah butir soal ternyata bisa mengungkap fenomena transformasi budaya yang terjadi di masyarakat urban di Indonesia. Pisau Cultural Studies yang telah membuatku lebih melek terhadap praktek-praktek budaya yang nampaknya sepele di lingkungan kita. Aku harus berterima kasih kepada bu Dian Rivia, kolega yang telah memberikan pancingan akademik dan personal dalam postingannya.  

Dari Femininity Redefinition ke Literacy Movement

     Aku sudah menghasilkan sekitar 30 halaman proposal tesis selama bimbingan dengan Fran, supervisor pertamaku. Dalam waktu 3 bulan, aku mengira bahwa topikku, Redefinition of Femininity in Indonesian Migrant Literature, sudah cukup matang dan tinggal mempertajam. Tak dinyana, saat beralih ke supervisor kedua, Chris Healy, tuntutannya cukup berbeda. Fran saat ini sedang cuti sabbatical. Di mata Chris, proposal yang sudah kuhasilkan sebenarnya tidak masalah, namun sementara ini sebaiknya 'disimpan' saja dulu. Lebih baik aku memanfaatkan waktu 9 bulan pertama untuk mengeksplorasi berbagai kemungkinan dan isu yang terkait dengan ide besar, yakni Sastra Buruh Migran.
     Sempat bingung dan agak kecewa karena harus memulai lagi dari awal, aku akhirnya malah harus berterima-kasih atas pencerahan yang diberikan Chris. Memang benar, aku tidak perlu terburu-buru mengenakan kacamata kuda. Di titik sekarang ini, setelah dua kali bertemu dengan Chris, kami membahas tentang sejarah perkembangan festival/lomba sastra migran. Aku melihat satu kemungkinan ide yang menantang, yakni tentang Literacy Movement as a Cultural Project of Migrant Literature. Aku mulai membaca buku-buku dan artikel yang berbeda dengan saat bersama Fran. 3 bulan terakhir aku berkutat dengan isu transnational migration, global care chain, dan modernity, sekarang aku mulai memahami bagaimana dimensi literasi, dan kaitan antara literasi dengan kekuasaan. 
     Dalam 2 minggu ke depan, tugasku membuat sketsa tulisan tentang sejarah perkembangan festival sastra migran. Di mata Chris, peran para mentor seperti mas Bonari, Teh Pipiet Senja, Helvy Tiana Rosa dan Asma Nadia layak diperbincangkan. Ini artinya aku perlu segera mencari tahu sepak terjang mereka. Seperti biasanya, nampaknya aku harus 'nodong' mas Bonari lagi untuk menjadi 'narasumber virtual.'
     Proses masih sangat panjang, namun akan kubuka pikiranku terhadap segala kemungkinan. Mudah-mudahan titik-titik yang sedang mengarah ke berbagai arah akan bertemu juga di tempat yang sama.

Sunday, February 12, 2012

Unas, RSBI, dan Sekolah Luar Negeri


Sekolah RSBI dirancang dengan salah satu tujuan agar lulusan bisa mencapai standar internasional, atau setara dengan sekolah di luar negeri. Ironisnya, anak-anak yang bersekolah SMP dan/atau SMA di luar negeri tidak bisa dengan mudah diterima kembali bersekolah di tanah air, karena ijazahnya tidak diakui. Salah satu alasannya adalah karena tidak punya nilai Unas.

Salah seorang teman bercerita tentang anaknya yang tidak bisa masuk PT di Indonesia, sekembalinya sekolah SMA di Aussie, mengikuti ortu yang juga studi. Koneksi ortu 'terpaksa' bermain sehingga akhirnya si anak masuk melalui jalur non-regular (bukan SNMPTN). Seorang teman lain ingin mengirimkan anaknya bersekolah dia Singapore. Saat itu si anak masih di kelas 10 salah satu SMA RSBI terfavorit di Surabaya. Iseng-iseng sang ibu menanyakan kemungkinan apakah si anak bisa kembali ke SMA di Sby bila ternyata tidak kerasan di Singapore. Jawaban Kepala Sekolah, "tidak bisa bu, bahkan juga tidak bisa di kelas yang setingkat." "lho kok bisa pak, kan sekolah ini juga punya program pertukaran dengan sekolah di Singapore?" tanya si ibu. Kepala Sekolah menjelaskan,"memang bu, tapi rencana ibu kan tidak menjadi bagian dari program sekolah." 

Ketika saya mengurus kepindahan Ganta, anak sulung saya, dari SMA-nya di Surabaya, Wakasek juga mengingatkan akan kemungkinan nantinya Ganta akan sulit masuk ke PTN, sekembalinya dari Aussie. Meski beliau heran juga mengapa sistem pendidikan di Indonesia kok mbuletisasi seperti ini. Sekolah sempat menemui kesulitan saat akan menerima seorang calon siswa yang lulusan SMP di Amerika, dengan alasan yang sama, yakni Unas. Langkah yang sering disarankan adalah mengambil Kejar Paket C, agar punya nilai Unas. Memang isunya adalah nilai Unas. Ketika isu ini saya lemparkan ke milis keluarga Unesa, seorang teman, mas Satria Dharma, yang juga Ketua IGI, menyatakan ketidak-percayaannya atas aturan yang tidak memperbolehkan lulusan LN untuk sekolah di Indonesia tanpa nilai Unas. Gayanya yang selalu kritis menggerakkan saya untuk mulai mencari ada tidaknya dokumen tentang aturan ini. Menurut beliau, biasanya hal ini terjadi karena Kepala Sekolah tidak menemukan dokumen aturan yang memperbolehkan, sehingga kemudian diterjemahkan menjadi TIDAK BOLEH.

Dalam tataran lebih tinggi, sebenarnya yang sudah kuliah di luar negeripun harus menyetorkan ijazahnya di Dikti untuk diakreditasi. Tanpa ini, terutama yang PNS, ijazah tidak akan diakui (terutama utk urusan naik pangkat/golongan). Aneh kan. Pemerintah Indonesia yang mengirimkan SDM-nya untuk sekolah ke LN, begitu pulang ke Indonesia, ybs harus mendapatkan pernyataan dari Dikti bahwa ijazahnya bukan dari universitas/sekolah yang ecek-ecek. Itu yang harus saya lakukan tahun 2004 lalu, sepulang dari Amrik. Gak peduli sekolahnya atas beasiswa Fulbright yang prestigious, ijazah tetap harus diakreditasi dulu. Dan untuk urusan sertifikasi dosen 2 tahun lalu, saya harus ke Jakarta (hanya) untuk memperoleh 5 lembar legalisir salinan pengesahan ijazah LN. Itupun tidak bisa langsung jadi. Untung saya pas ada tugas ke Jakarta, sehingga bisa nebeng transport. Bisa dibayangkan ribetnya teman dari Papua, misalnya, untuk melakukan hal yang sama.

Di pihak lain, mendaftar ke sekolah LN malah tidak ribet sama sekali. Hanya butuh nilai rapot 3 semester terakhir, ijazah, dan terjemahannya. Ketika Ganta masih di Indonesia, proses pendaftaran tetap jalan, dan dalam waktu 2 minggu sudah keluar nomor induk siswa dari Dinas Pendidikan setempat. Surat penerimaan (dan bebas SPP bila ortu mahasiswa S2/S3 riset) bisa dipakai untuk mendaftar ke sekolah terdekat. Perkara masuk kelas berapa dan berapa lama program language upgrading akan menjadi urusan sekolah, sesuai dengan nilai rapot dan tes bahasanya. Yang ditanya sebenarnya malah nilai rapot yang cenderung angka dan tidak ada deskripsi kualitatifnya. Bagi mereka, rapot kita kurang menjelaskan kompetensi apa yang telah dicapai siswa. 

Melihat proses yang lancar ini, saya jadi berpikir, tanpa RSBI-pun sebenarnya tiap anak Indonesia bisa sekolah di luar negeri. Peraturan di sini mengharuskan anak berusia sekolah harus masuk ke sekolah sesuai dengan tingkat usianya. Penerimaan dari Dinas Pendidikan setempat menjadi salah satu syarat utama untuk memperoleh visa tinggal. Jadi sekali lagi, embel-embel RSBI tidak penting bila ingin sekolah ke luar negeri. Bila saya melihat ke sekitar, berapa banyak sudah lulusan yang berijazah dari alma mater saya tercinta, IKIP Surabaya/Universitas Negeri Surabaya, baik dari program S1 maupun S2 yang bisa menembus berbagai program beasiswa berkelas internasional atau bekerja di lingkungan global. Tak satupun dari mereka adalah lulusan sekolah RSBI. Tinggal manusianya sendiri, PD apa gak? Karena sebenarnya masih saja ada sebagian mahasiswa (bahkan dosen) Unesa yang kurang PD dengan embel-embel Unesa di ijazahnya. Inferiority complex gitu loh!

Bagi mas Satria Dharma, sistem pendidikan di Indonesia kita tercinta ini aneh sekali, kok tidak bisa compatible dengan sistem pendidikan di negara manapun. Saya jadi ingat judul film, “Alangkah Lucunya Negeri ini.”

Ganta di Brunswick Language Centre

Mengamati hari-hari pertama Ganta bersekolah di Melbourne merupakan pengalaman yang menyenangkan. Ganta sudah menyelesaikan semester 1 kelas 11 di SMA Negeri 14 Surabaya. Di sini, Ganta mengikuti program Bahasa Inggris dulu di Brunswick English Language Centre. BELC ini terpadu dengan Brunwick Secondary College, tempat Ganta nantinya akan meneruskan sekolahnya. Setelah mengikuti tes lisan dan tulis, Ganta disarankan mengikuti program language upgrading selama 20 minggu, dan nantinya akan masuk ke Year 10. Menurut Toula, koordinator ELC, bahasa Inggris Ganta 'not bad,' namun 'sense of grammar' nya yang perlu disempurnakan. Bagiku sama sekali tidak ada masalah, yang penting Ganta sendiri senang menjalaninya. Lalu bagaimana dengan keputusan kembali ke Year 10? Di Australia, tahun ajaran dimulai pada bulan Februari. 1 tahun dibagi menjadi 4 terms. Kalau dipikir-pikir masalah waktu, bisa saja dianggap rugi, namun dengan mengikuti Year 10 selama setengah tahun, Ganta malah bisa lebih utuh merasakan pendidikan SMAnya di sini. Awal tahun 2013 Ganta akan bisa masuk ke Year 11 secara penuh.Jadi kalau dihitung-hitung, insya Allah pendidikan SMAnya bisa selesai pada akhir tahun 2014. Pas dengan perkiraan studiku juga akan selesai pada akhir tahun 2014. Mudah-mudahan semua berjalan lancar.

Selama 1 minggu ini Ganta bersekolah, aku lihat dia sangat menikmatinya. Brunswick Secondary College tidak jauh dari apartemen tempat kami tinggal. Hanya berjarak 5 stop dengan menggunakan Tram route 19 di sepanjang Sydney Road. Tiap pagi sekitar pukul 8.15 Ganta sudah berangkat dengan naik tram dari stop 26. Tidak sampai 10 menit sudah akan sampai di stop 21, dan kemudian akan berjalan selama 5 menit di Dawson Street. Setiap hari Ganta juga membawa bekal makan siang. Kadang kubawakan nasi, lauk, dan buah, dan beberapa hari terakhir ini minta dibawakan burger sandwich. Lebih praktis katanya. Sekolah berlangsung sampai pukul 15.10, dan biasanya sekitar 15.30 Ganta sudah leyeh-leyeh di sofa sambil tanya, 'masak apa hari ini bu?'

Dari segi materi yang diperoleh, aku senang ternyata kemampuan Ganta ok juga. Dia masuk di room 2, untuk kelompok 'intermediate.' Aku lihat, bacaan dan latihan yang dibahas kira-kira setara dengan bahan yang biasanya dipakai untuk mahasiswa semester 1 di Unesa. Kadang cukup panjang juga, sekitar 3-5 halaman bacaan. Bahkan Ganta jadi punya motivasi sendiri untuk membaca bacaan pendek. Kusodori buku Stories for Reproduction yang berisi anekdot-anekdot lucu. Dalam 2 hari, ternyata Ganta bilang sudah menyelesaikan sekitar 30an cerita. Boleh juga anakku ini. Kali lain dia nongkrong di depan TV untuk mendengarkan TV news. Kalau begini, biasanya memang ada tugas membuat summary, untuk diceritakan kembali di depan kelas. Besok Senin, Ganta bilang, akan dilakukan regrouping. Dia belum tahu akan masuk kelompok mana. Tapi dia sudah bisa mengukur kemampuannya sendiri dibandingkan teman-temannya. Yang dari Cina agak susah dipahami kalau bicara, yang dari Korea dan Somalia cukup jelas, yang dari Iraq medok banget aksen Arabnya. Kalau yang dari Indonesia (maksudnya, dia sendiri) sangat jelas. "Very good reading," begitu apresiasi tutornya saat Ganta diminta membaca keras.

Masalah pertemanan tidak perlu dikhawatirkan. Meski Ganta kelihatannya pendiam, sebenarnya temannya banyak dan dari berbagai lapisan. Selama di SD-SMA di Surabaya dulu, ada yang disebut teman sekelas, teman sekolah, teman band ini, band itu. Bahkan teman mainnya malah jarang dari kelas yang sama. Di sini, sejak hari pertama, Ganta sudah menghabiskan sebagian waktu makan siangnya untuk bermain bola. Tidak hanya dengan anak ELC, namun juga dengan anak-anak Brunswick Secondary College. Memang saat makan siang,  mereka cenderung berbaur. Yang membedakan hanyalah pakaian. Anak ELC berpakaian bebas, sedangkan anak BSC pakai seragam. Namun anak yang supel tidak akan punya masalah dalam berteman. Ganta juga ternyata suka berinisiatif untuk mengajak ngobrol teman-teman barunya. Apalagi dengan hobi olahraga yang dimilikinya, sepakbola dan basket bisa menjadi ajang cari teman baru dari kelas lain.

Hari-hari Ganta masih terhitung 2 minggu, sejak kami datang pada tanggal 28 Januari 2012. Aku berdoa semoga hari-hari berikutnya, yang masih panjang, akan memberi warna lebih indah dalam kehidupan Ganta. Semoga pengalaman belajar di sini akan menjadi bekal bagi masa depan Ganta nantinya. Semoga Allah memberkati. Amin.


Saturday, February 04, 2012

Adzra, Fikri, dan Toni


Jumat sore kemarin pak Munir and the gang dolan ke apartemenku. Ngobrol-ngobrol santai lesehan di atas karpet yang sudah setengah lusuh sambil makan pizza yang dibawakan pak Munir. Dua keluarga berkumpul lengkap. Mas Prapto sudah seminggu di sini, ikut terbang bersamaku, Ganta dan Adzra, yang akan memulai hari-hari sekolah di Melbourne. Pak Munir, dik Lia, Fikri dan Toni malah sudah tinggal menghitung minggu untuk balik ke tanah air. Pak Munir memang sudah submit tesisnya. 

Apartemen 3/53 De Carle Street di Brunswick jadi hangat, diselingi celotehan dan teriakan anak-anak. Setelah berbulan-bulan apartemenku sepi karena hanya dihuni Silvi dan aku, sekarang terasa jadi rumah betulan, lengkap dengan mainan Adzra di seluruh pojok ruang tamu.

Mengagumkan melihat bagaimana anak-anak kecil begitu cepat berinteraksi. Padahal Fikri dan Fatoni ngomong bahasa Inggris terus. Maklum, sudah  tiga tahun lebih mereka di sini. Adzra tertawa ceria dan kagum lihat teman-teman barunya. Dengan cepat mereka rebutan main pinguin race. Kruntelan di sofa. Untungnya Adzra bukan anak perempuan yang anteng. Bahasa tubuh dan mimik wajah menjadi sarana pengikat komunikasi mereka. 

Esoknya, aku dan anak-anak mengantar mas Prapto ke Southern Cross Station, untuk kemudian langsung ke bandara. Sudah waktunya dia balik ke Surabaya. Sesampai di apartemen, Adzra sibuk main dengan Ganta, sementara aku membereskan urusan dapur dan cucian baju. Tiba-tiba aku dengar Adzra tertawa-tawa dan bilang 'this one, this one.' Kuhentikan pekerjaanku, dan kutanya pada Adzra, "darimana Adzra belajar itu?" Ternyata kumpul 2 jam bisa cepat mengajari Adzra makna 'this one,' 'sorry', dan 'don't do that.'

Adzra bilang bahwa dia ingin bisa bahasa Inggris seperti Fikri dan Toni. Aku katakan bahwa di sekolah nanti akan diajari, karena Fikri dan Toni juga belajar di sekolah. Ini menjadi suntikan motivasi bagi Adzra. Kalau hari-hari sebelumnya dia enggan sekolah, maka sekarang dia bertanya terus. Nanti diajari apa, main apa saja. Kamis kemarin da sudah sempat kuajak ke sekolahnya untuk lihat-lihat suasana, dan dia cuma mau main pasir di playground. Gak mau masuk ke kelas. Besok Senin insya Allah Adzra akan memulai hari pertamanya di kindergarten dan child care. Mudah-mudahan hari pertamanya bisa memberikan kesan yang menyenangkan.

Terima kasih pak Munir dan dik Lia, sudah mengenalkan Fikri dan Toni ke kehidupan Adzra.