Friday, May 18, 2012

PAGI YANG SEMPAT MENCEMASKAN

Pagi ini aku berniat untuk merampungkan theoretical framework yang sudah kugeber sejak 2 minggu terakhir. Ini kajian teori versi kedua, berfokus pada literacy concept. Tema ini akhirnya mantap kutekuni setelah 3 bulan tarik ulur dengan supervisor keduaku, yang menyarankan aku untuk mempertimbangkan tema yang lain. Dengan supervisor pertama, temaku tentang female subjectivity  sebenarnya sudah cukup matang tertuang di proposal.  Karena hari ini hari terakhir sebelum weekend, aku berencana untuk ngendon di kampus sedikit lebih lama. Adzra akan kujemput  lebih sore. Maka sejak pagi aku sudah menyiapkan sarapan dan masakan untuk sore dan malam. Sambil menyiapkan nasi goreng untuk sarapan, aku beritahu Ganta. “Le, nanti sore ibu pulang agak lambat. Kalau pulang sekolah nanti, rawon sudah tersedia. Nasi yang baru juga sudah matang di rice cooker. Dipanasi sendiri di microwave ya,” ujarku sambil menunjuk ke panci di atas kompor yang masih mengepul.

Pukul 9.30, Adzra sudah aku tinggal di Bindi child care, dan aku melenggang menuju tram stop. Udara semakin menusuk bisa teratasi dengan berjalan, sehingga badan terasa lebih hangat.Karena aku berniat kerja di Bailleu library, aku mengambil tram 19 dari stop 28. Apartemen kami sendiri lebih dekat dengan stop 26, dan kampus Unimelb berada diantara stop 12-10. Jarak antara rumah dan kampus kira-kira 20 menit naik tram. Saat tram bergerak, sontak aku ingat rawon yang baru kumasak. Kompornya sudah kumatikan apa belum ya? Ah, rasanya katup tabung gas sudah kututup sebelum memandikan Adzra tadi. Aku menengok ke jendela. Tram baru saja meninggalkan stop 25. Kalaupun aku turun, aku harus berjalan agak jauh untuk kembali ke apartemen. Aku berusaha menenangkan hati. “Sudah mati kok kompornya, kan waktu mau berangkat, tidak ada bau masakan?” ucapku dalam hati.  Sebentar kemudian ingatanku melayang pada cerita mbak Diana, tetangga 2 blok.  Dapurnya sempat kebakaran kecil karena api kompor yang terlalu besar. Aku mulai khawatir lagi. Kutengok jam di IPhoneku. Sudah pukul 10.00. Kalau aku turun di stop 20, dan kembali pulang, aku akan kehilangan waktu 1 jam untuk bolak-balik. Tapi aku membayangkan diriku sendiri duduk menghadap komputer di library dengan wajah tidak tenang dan pikiran tertuju di dapur. Mana bisa aku bekerja dengan kecemasan menggumpal di benakku.

Saat tram berhenti di depan stop 19, aku tidak lagi bepikir panjang. Aku langsung meloncat turun, dan menyeberang, menunggu tram dari arah yang berlawanan. Hujan rintik-rintik, dan angin dingin menembus ke dalam jaket tebalku. Tidak sampai 5 menit, tram datang, dan aku bergegas naik. Dalam hati, aku berharap, bila kompor lupa kumatikan, mudah-mudahan tidak sampai membuat kuahnya habis, sehingga memicu bau gosong di panci. 10 menit serasa lama, namun akhirnya tram sampai juga di stop 26. Setengah berlari aku pulang, seraya mencari-cari kunci rumah di saku jaket. Saat kuputar kunci dan membuka pintu, aku membaui rawon di seluruh ruang tamu. Jangan jangan ….. Kutengok kompor. Mati. Kubuka tutup panci. Kuah masih panas dan penuh. Kuperiksa katup tabung gas. Menutup rapat. Ahh, Alhamdulillah, lega rasanya. 

Jam meja di ruang tamu mengarah ke pukul 10.15. Agar aku merasa tidak rugi pulang, aku sempatkan menyeruput susu coklat panas. Kuganti scarf dengan pashmina yang lebih tebal untuk melilit leherku. Kukenakan kaos kaki dobel membungkus sepanjang betis. Sebelum mengunci pintu, kuraih payung di belakang pintu. Aku berjalan kembali menuju stop 26. Kali ini dengan hati yang jauh lebih tenang, dan badan yang terasa lebih hangat.  Tidak sampai setengah jam, kakiku sudah melangkah masuk ke Bailleu Library. Hembusan udara hangat dari heater  ruangan menyambutku. Tiap lantai nampak penuh dengan wajah-wajah serius di depan komputer dan buku. Ini minggu-minggu terakhir kalender akademik. Untungnya computer lab masih menyisakan beberapa spot kosong. Suara mahasiswa yang sedang berdiskusi kelompok dalam mengerjakan assignmentnya terdengar jelas di sekitarku. Namun pikiranku  tidak lagi dicemaskan oleh rawon yang gosong dan bahkan dapur terbakar. Suara berisik anak-anak undergrad tidak akan terlalu mengganggu. Insya Allah hari ini target penyelesaian theoretical framework bisa tercapai.

Bailleu Library 11.43 am

Saturday, May 05, 2012

NO NEED TO FEEL LIKE DYING FOR A PEE

Pernahkah Anda merasa 'kebelet' saat berada di ruang terbuka seperti taman, atau anak Anda yang masih kecil tiba-tiba bilang, 'mau pipis.? Apakah Anda akan tolah-toleh mencari toilet umum terdekat? Bila tidak ketemu, mungkin pilihannya adalah menyuruh anak menahan pipisanya sampai ada toilet. Resikonya, celananya akan basah duluan. Atau mau 'sembunyi'  di dekat semak-semak? Pilihan kedua boleh dikata sering jadi pilihan banyak orang. Ini terbukti dari aroma amonia yang sering kita jumpai di pojok-pojok taman.

Bagaimana urusan 'panggilan alam' diatasi di Melbourne? Alkisah, ketika anak-anak dan suami baru saja datang ke Melbourne, saya ajak mereka menikmati matahari dan playground di taman di seputaran kampus the University of Melbourne. Enak-enak main, tiba-tiba Adzra pingin pipis, Maunya saya mau segera dia ke gedung terdekat. Ternyata kami berdiri tepat di depan public toilet

Fasilitas umum yang satu ini menarik perhatian Adzra. Ada lampu hijau berkedip-kedip. Tertulis 'vacant' di bawahnya. Sementara saya masih mencoba membaca instruksi penggunaan di dinding, Adzra sudah memencet tombol hitam dengan tulisan ' touch to open door', dan terbukalah pintu metal seperti pintu lift






Eh, ternyata bisa bicara juga. "Door opened." Begitu saya dan Adzra masuk, tombol di pintu dipencetnya lagi. Dan menutuplah pintu sambil terdengar, "door closed." Di dalam toilet yang bersih seluas kira-kira 2x2 meter persegi, mata saya dan Adzra mulai bereksplorasi. Sambil mendudukkan Adzra di toilet, muncullah suara, "you have ten minutes to use the toilet. Diikuti dengan musik instrumentalia. Nyaman banget membuang hajat sambil dihibur musik.

Mata Adzra sudah kemana-mana. Tangan kanannya memencet tombol di dinding kanan, dan keluarlah tissue. Di dinding sebelah kiri, menempel papan yang bisa dibuka untuk mengganti diaper bayi. 




Saya mencari-cari di mana wastafel. Di dinding kanan dekat pintu, ada built-in sink  tanpa kran. Namun ada tiga lubang di bagian atas. Ada tulisan soap, water, dan hand-dryer di sisi atas. Tapi bagaimana cara mengeluarkan airnya? Belum selesai saya mencari instruksi, Adzra sudah mengulurkan tangannya di bawah pancuran, dan meluncurlah air. Pada saat yang sama, flush toilet menyiramkan air secara otomatis. Adzra semakin girang. Dipikir dia sedang bermain-main. Dia pindah ke lubang sebelah kiri. Crut crut, dua tiga tetes sabun cair meluncur. Hanya butuh waktu beberapa detik buat Adzra untuk paham fungsi tombol. Dengan enaknya dia pindahkan tangannya di bawah lubang tengah untuk mencuci tangan dari sabun. Dia lihat ada lubang lain di sebelah kanan. Kali ini saya sudah paham instruksinya. "Ini buat keringkan tangan, sayang," ujar saya. Wush, udara panas menghembus dari hand-dryer.

 




 
Musik masih berdenting. Dalam 3 menit, kami sudah menunaikan panggilan alam. Tombol hitam dipencet Adzra, dan suara 'door opened' mengantarkan kami ke dunia luar. 

Pengalaman baru tentang penggunaan toilet di tempat umum ini begitu menyenangkan. Ganta dan mas Prapto jadi ikut bergantian mencobanya. Dari luar saya lihat lampu merah dengan tulisan 'occupied' di bawahnya berkedip-kedip ketika ada orang di dalam toilet. 

Sekarang, setiap kali pergi taman atau tempat umum terbuka, yang saya cari duluan adalah lokasi public toilet. Warr Park di dekat rumah, tempat favorit bermain anak-anak, juga memiliki fasilitas ini. Kami tidak perlu pulang ke  apartemen bila harus ke toilet. Kadang Adzra pingin ke toilet itu bukan karena pingin pipis, tapi lebih karena ingin bermain-main dengan tombol dan menikmati kerlip lampu.

Saya membayangkan betapa nyamannya hidup di kota yang pemerintahnya memperhatikan urusan fasilitas hajat hidup orang banyak, termasuk hajat kecil dan hajat besar. Tak seorangpun tidak butuh fasilitas penting seperti toilet. Nampaknya sepele, tapi krusial bila sudah sampai injury time. Kota Melbourne terbukti sebagai 'the most livable city in the world' dengan menyediakan toilet yang tidak hanya user-friendly bagi orang normal, namun juga bagi para difabled. Ada railing  untuk pegangan tangan dan instruksi dalam huruf Braille.  Andai saja taman-taman kota di Indonesia dilengkapi dengan toilet yang nyaman, maka bau pesing tidak harus menganggu kenikmatan bermain, atau tidak perlu ada tulisan 'dilarang kencing di sini selain anjing.' Dengan toilet nyaman dalam jangkauan, tidak perlu lagi merasa mau pingsan menahan 'panggilan alam.'   

Brunswick, 5 Mei 2012

Wednesday, May 02, 2012

BIARKAN ANAK-ANAK BERMAIN, AGAR MEREKA BISA MEMBACA DAN MENULIS


Hari ini saya menerima kabar gembira. Teman-teman saya sesama alumni Unesa meluncurkan kegiatan Jatim Menulis, tepat pada tanggal 2 Mei 2012. Pemilihan hari Pendidikan Nasional sebagai hari launching kegiatan Indonesia Menulis juga momentum yang pas. Saya bisa merasakan semangat dan gairah teman-teman dalam menumbuhkan kegiatan membaca dan menulis sebagai bagian yang amat penting dalam pendidikan anak-anak bangsa.

Dalam beberapa bulan terakhir ini, saya sendiri sedang menggeluti banyak referensi yang terkait dengan gerakan literasi untuk persiapan penelitian saya. Beberapa buku yang sedang saya baca antara lain adalah Creative Writing Handbook, Using Blogs to Enhance Literacy, dan Popular Culture and Representations of Literacy. Semua referensi ini sangat memperkaya pemahaman saya tentang bagaimana proses kreatif perlu dan bisa ditumbuh-kembangkan pada siapa saja, tanpa harus menunggu ada bakat. 

Satu pertanyaan yang menggelitik saya adalah bagaimana menumbuhkan cinta baca dan menulis sejak dini.  Kalau kita lihat di sekitar kita, kursus calistung (baca tulis hitung) semakin menjamur di kota-kota besar. Target pasarnya adalah anak-anak usia 3 tahun, atau tepatnya, orang-tua yang menginginkan anak-anaknya bisa segera membaca, menulis, dan berhitung sedini mungkin. Kalau bisa, saat masuk SD, anak-anak sudah mampu calistung. 

Bila mengikuti definisi kemampuan calistung di atas, Adzra, anak saya yang berumur 4 tahun, belum bisa membaca dan menulis. Sekarang ini Adzra menghabiskan hari-harinya di Bindi Child Care and Kindergarten di Brunswick, daerah pinggiran Melbourne. Di sini, selama selama 6-7 jam 4 hari dalam seminggu, kegiatannya praktis lebih banyak ‘main.’ Saya jadi penasaran bagaimana proses calistung dikenalkan kepada anak-anak. Suatu saat, ketika menunggu di reading corner di ruang bermain, saya menemukan jawabannya.

 

Yang dimaksud Reading Centre ini sebenarnya hanyalah salah satu ujung ruang bermain seluas 1 X 1 meter persegi. Ada rak buku kecil dan beberapa buku. Di atas rak yang lain ada beberapa kardus berisi buku. 4 kursi sofa untuk ukuran anak-anak ditata seperti ruang tamu. Tidak luas, namun nyaman.Poster pertama seperti foto di atas ini menyebutkan fungsi Reading Centre sebagai tempat anak-anak untuk bersantai, menikmati dan mengeksplorasi buku-buku dalam suasana yang tenang dan menyenangkan. Anak-anak bisa merasakan pengalaman memegang dan membaca buku, terlibat dalam komunikasi non-verbal, memaknai gambar dan teks, dan bercakap-cakap tentang apa yang mereka temukan dalam buku-buku tersebut. Pengalaman-pengalaman inilah yang akan membawa mereka ke ‘pengalaman membaca yang sebenarnya.’

Saat minggu-minggu pertama Adzra di Bindi, pastilah dia masih sering menangis karena tidak mau ditinggal. Wajar saja, berada di tempat yang asing, dengan bahasa yang tidak dia pahami, Adzra butuh waktu 3 minggu untuk lebih nyaman. Reading Centre inilah salah satu tempat ‘persembunyian’ dia. Setiap kali mau saya tinggal, dan dia mulai berkaca-kaca, saya tatap matanya dan saya katakan, “Adzra, kalau Adzra nanti ingat dan kangen Ibu, duduk di sini ya nak. Ambil buku, dan bayangkan Ibu sedang mendongeng untuk Adzra.” Setelah beberapa minggu, ketika Adzra sudah mulai kenal lingkungannya yang baru, dia malah bisa menenangkan saya. “Bu, nanti kalau Ibu belum jemput, terus aku pingin nangis, aku mau baca buku saja ya.”
Setelah 3 bulan Adzra di Bindi, kegiatan sehari-hari di sekolah masih tetap sama.  Bernyanyi, mendengarkan dongeng, menggambar, melukis. Pokoknya bermain dan bermain terus.  Dan poster kedua ini menyadarkan saya bahwa semua pengalaman bermain ini akan mengarah pada belajar membaca dan menulis.  


Lagu-lagu baru yang dikenal Adzra bertambah setiap minggu. Setiap lagu yang dikenalnya juga diikuti dengan gestures yang senada dengan lagu. Bersamaan dengan itu, perbendaharaan kata dan kalimatnya semakin kaya. Apalagi Adzra sendiri suka menyanyi sambil ‘perform,’ sehingga saya tahu bahwa Adzra cukup paham makna lagunya. Kegiatan menggambar, membuat bentuk dengan lilin (di sini disebut dengan Play Dough), dan juga bermain lego atau kitchen set juga akan menambah pemahaman anak tentang ukuran, bentuk, warna, garis, dan arah, selain juga melatih jari-jarinya dengan kemampuan motorik halus. Yang paling penting, guru-guru dan pengasuhnya bergantian menemani anak-anak bermain dan membacakan cerita. Mendongeng dan bermain adalah saat-saat di mana mereka duduk bersama. Ada pula jam-jam bebas di mana anak-anak bisa bermain di playground, saat cuaca bersahabat, atau tetap di dalam ruangan.  Banyaknya jenis mainan dan buku yang tersedia di ruang Kindergarten memang memberi kebebasan anak-anak untuk bermain sesuai keinginannya. 

Meskipun Adzra pergi ke sekolah hampir tiap hari, praktis tidak ada buku yang perlu dia bawa. Isi tasnya hanyalah cadangan baju dan pakaian dalam, topi, dan botol minum. Meskipun begitu, setiap pulang sekolah, saat saya jemput antara pukul 3-4 sore, Adzra selalu membawa hasil karyanya. Entah itu gambar, kardus bekas yang ditempeli, origami, kartu ucapan, dsb. Yang menyenangkan, selalu ada cerita di dalam hasil karyanya. Ada ‘lion’ di coretan warna orange dan hitam tanpa bentuk, ada ‘mommy’ di garis dan lingkaran berwujud orang, dan ucapan ‘I love you, Mommy’ menyertai keriangannya saat saya jemput kemarin. Dia tunjukkan guntingan hati yang ditempel di kartu ucapan. Kartu itu dia buat dalam rangka Mother’s Day. Kata Dong, gurunya yang berasal dari Cina, Adzra satu-satunya anak yang bisa menggunting dan menempel, serta menyiapkan dekorasi kartu ucapannya. 


Kegiatan yang simpel nyatanya memang amat bermakna dalam mempersiapkan anak-anak untuk membaca dan menulis. Anak perlu sebuah cerita untuk ditulis, dan cerita itu datang dari imajinasinya saat menggambar atau membuat satu karya. Coretan bentuk dan warna yang mungkin tak bermakna di mata orang dewasa sebenarnya menyimpan cerita seru di benak anak-anak. Bahkan kegiatan bermain di luar seperti memanjatpun ternyata penting untuk melatih otot-otot anak agar mampu duduk tegak saat menulis. Yang tidak kalah pentingnya adalah hadirnya seseorang untuk menunjukkan bahwa menulis itu penting. 

Ketiga poster sederhana di atas mengingatkan saya betapa setiap coretan dan celotehan Adzra perlu direspon positif. Dalam role play yang dia lakoni dengan boneka-bonekanya, meluncur semua kalimat berbahasa Inggris yang tidak beraturan di telinga saya, namun sarat cerita di benak Adzra. Dia sedang menapakkan langkahnya di anak tangga literasi, dan saya perlu senantiasa menggali cerita lebih seru dari coretan-coretannya.Terutama ketika saya tersadar bahwa kata pertama yang bisa dia tuliskan di kaca yang berembun adalah IBU.  

Brunswick yang dingin, 2 Mei 2012