Friday, December 21, 2012

HARI-HARI LITERASI


Hadiah yang paling saya sukai adalah buku. Baik untuk diberikan kepada orang lain maupun saat menerima hadiah dari sahabat dan saudara. Nah, kemarin saya dapat hadiah buku dari mas Satria Dharma. Beliau termasuk salah satu orang di milis Ganesa yang sukses merongrong saya untuk lebih banyak membaca dan menulis. Meski sebenarnya dua kegiatan ini sudah menjadi hobi saya sejak kecil. Bedanya, sekarang saya lebih berani dan percaya diri membagikan tulisan saya. Terutama yang bersifat kreatif. Selama ini saya cenderung berada di zona nyaman saya, menulis secara akademik. Kalaupun catatan pribadi, hanya saya simpan dalam tumpukan buku harian saya.

Penelitian yang saya tekuni sekarang ini, tentang literasi, ternyata malah menawarkan cara yang betul-betul saya nikmati. Menulis sesuatu yang sebenarnya akademik dalam kemasan kreatif.  Peluang ini saya dapatkan ketika riset saya mengawinkan antara analisis teks dengan etnografi. Jujur, metode ini membuat saya jadi lebih terlatih membuat fieldnote yang dengan rasa cerpen atau feature.

Sejak saya terima kemarin siang, buku berjudul Twenty Years of Joy and Happiness sudah langsung saya buka-buka dan pilih halamannya. Saat saya duduk di atas becak menuju Rolak Gunungsari, menunggu bemo lyn G, dan berlanjut ketika bemo mulai melaju.

Subjudul yang dibesut cukup menarik perhatian saya. Menuju Budaya Literasi. Subjudul ini juga muncul di setiap halaman di bagian bawah. Mengenal mas Satria selama ini, saya cukup paham gairah, kalau tidak bisa disebut obsesi, mas Satria untuk menyebarkan budaya literasi secara masif.

Kita selalu bertanya-tanya, apakah bangsa Indonesia memang belum berbudaya literasi? Apakah literasi itu sendiri adalah budaya? Bila ya, praktik literasi seperti apakah yang akrab dengan kita? Apakah kita termasuk dalam golongan a bad reader atau a good reader. Selain itu, bila literasi adalah praktik budaya, maka literasi bisa dikonstruksi. Untuk menjawab pertanyaan ini, ada baiknya kita tengok sejenak konsep literasi dari dimensi sosial budaya.

Untuk memahaminya, cara terbaik adalah melakukan refleksi pada kehidupan kita sehari-hari. Apa yang kita baca dan tulis dalam keseharian kita. Ayo kita sama-sama menggunakan diri kita sebagai objek pengamatan. Saya mulai dengan diri saya sendiri dulu, dengan menengok hari-hari saya saat di Melbourne.

Sebagai mahasiswa, tentunya waktu saya cukup banyak tersedot untuk urusan baca tulis. Saya menggunakan website perpustakaan untuk mengecek katalog dan mencari artikel di e-journal. Untuk memperpanjang peminjaman, saya lakukan secara online. Portal kampus juga menjadi jujugan saya paling tidak 3 kali sehari. Untuk mengecek akun email kampus dan banyak keperluan administratif lainnya.

Hampir semua artikel jurnal saya baca dari laptop atau komputer di kampus. Hanya buku perpustakaan saja yang saya baca dalam bentuk cetak. Semua kegiatan ini jelas punya tujuan akademik, sesuai dengan peran dan tuntutan sebagai mahasiswa.

Di luar itu, dengan peran saya sebagai ibu, saya juga melakukan kegiatan literasi. Mengecek resep secara online atau membaca buku resep yang saya punya. Jadi biasanya laptop saya usung ke dapur untuk panduan memasak.  Bila banana bread atau macaroni schotel yang saya bawa ke pengajian atau kirimkan ke tetangga dipuji, maka file resep atau websitenya berpindah ke FB group teman-teman pengajian. Media ini yang juga saya pakai untuk menengok resep maknyus yang pernah dibagikan teman lain.

Saya juga perlu membaca kandungan bahan makanan yang tercantum di kemasan ketika saya belanja. Maklum, harus hati-hati dengan bahan yang tidak halal. Informasi seperti ini juga menghiasi FB group yang sama. Alhasil kami jadi tahu supermarket mana yang perlu jadi jujugan bila ingin membeli bahan tertentu. Atau mengingat kode bahan kimia apa yang dianggap halal.

FB group pengajian Aisyah menjadi wadah komunikasi kegiatan utama kami, yakni pengajian dan TPA anak-anak kami. Untuk peran sosial ini, literasi dalam bentuk digital kental mewarnai kegiatan saya. Yang menarik, bahkan ketika pengajian, banyak di antara kami yang menggunakan IPhone atau IPadnya. Untuk bergantian membaca Al-Qur’an, mengecek surat dan ayat yang sedang menjadi pokok bahasan, dan juga mencatat point-point penting dalam tausiyah.

Sebagai bagian dari komunitas, hidup saya juga praktis diwarnai oleh teknologi komunikasi. Milis keluarga unesa, jurusan, dan indomelb misalnya, sering menggoda saya untuk sering-sering cek email dan melihat postingan baru atau mengirimkan postingan saya. Semua milis saya arahkan ke akun saya di yahoo, sedangkan urusan lain yang lebih pribadi mengumpul di gmail. Akun email kampus tentunya lebih banyak untuk urusan administrasi dan akademik.

Sementara itu, update status Facebook saya semakin jarang saya lakukan. FB praktis lebih banyak berfungsi untuk menjaga komunitas saya di pengajian, melakukan pengamatan virtual FB group teman-teman BMI, dan membagi postingan yang baru saya unggah di blog saya. Yah, baru tersadar bahwa saya juga masih sering sekali menggunakan FB. Perasaan saya tentang FB masih terbelah. Di satu sisi, saya butuh untuk penelitian saya, di sisi lain, seliweran status baru kadang menggoda saya untuk ikut berkomentar. Beberapa teman yang sudah masuk tahun kritis biasanya men-deaktivasi akun FBnya. Saya lihat beberapa teman buruh migran di Hong Kong juga melakukan hal sama bila sibuk dengan tugas-tugas domestiknya.

Bagaimana dengan interaksi saya dengan anak-anak? Dengan Adzra, saya lebih suka menggunakan cara yang lebih konvensional. Buku-buku cerita yang saya beli di secondhand stores banyak mengisi jam-jam menjelang tidur, atau saat menemani Adzra bermain. Cerita-cerita tentang Adzra juga menginspirasi saya untuk menulis catatan harian di blog saya. Adzra sendiri suka fanatik dengan buku-buku tertentu. Meski sudah dibaca bolak-balik, dia sering minta dibacakan cerita yang sama. Biasanya dia akan menyela dan meneruskan ceritanya dengan versinya sendiri.

Ganta sendiri lebih banyak terpapar dengan literasi digital. Setiap hari dia mengecek portal sekolah untuk mengunduh tugas atau melihat pengumuman terbaru. Saya juga punya akses ke portal sekolah, dengan akun sebagai orang tua. Di situ saya bisa melihat status presensi Ganta, jadwal pelajaran, pengumuman terbaru, termasuk misalnya mengirimkan email kepada gurunya. Beberapa guru Ganta juga suka mengirimkan email kepada orang-tua untuk memberitahukan tugas dan materinya. Dasarnya saya sendiri punya rasa ingin tahu yang tinggi, saya hampir selalu ikut membaca materi pelajaran Ganta. Dari situ saya ikut belajar tentang Nazi dan Hitler yang menjadi pokok bahasan pelajaran Sejarah, melihat rubrik penilaian yang digunakan untuk mengevaluasi esai siswa, atau mengikuti bagaimana pelajaran Physical Education kental sekali dengan materi Biology.

Kadang saya merasa capai karena terpapar dengan screen. Mulai pagi sampai malam, di rumah, di jalan, dan di kampus, mata saya tertuju pada IPhone, laptop, dan desktop. Bila begitu, saya suka refreshing. Sekedar jalan saja ke secondhand store dekat rumah. Herannya juga, setelah pegang-pegang barang tanpa beli, saya malah suka mengitari rak buku. Yang terjadi, keranjang belanja malah terisi dengan novel-novel yang belum pernah saya baca. Yah, mau bagaimana lagi, apa saya harus menyalahkan bapak saya yang suka melepas anaknya berjam-jam di Sari Agung atau Gramedia pada masa kecil dulu?

Refleksi diri seperti ini menyadarkan saya bahwa ternyata saya memang suka membaca dan menulis. Baik dalam memainkan peran saya sebagai mahasiswa, ibu, maupun bagian dari komunitas, tulisan mewarnai hari-hari saya. Yang berubah secara drastis (dan baru saya sadari) adalah ketergantungan saya dengan teknologi informasi dan komunikasi untuk melakoni praktik literasi saya.  Jujur, saya rindu suasana menenangkan di masa kecil ketika saya menghabiskan siang hari di atas atap rumah dan membaca komik pinjaman. Ketika pohon jambu kami ditebang, saya termasuk yang paling sedih. Batang pohon yang kokoh yang menjulur sampai ke atap rumah itulah yang mengantarkan saya ke tempat persembunyian favorit. Sekarang, gadget screen-lah yang menyambungkan saya dengan dunia lebih luas, dan ironisnya, memutus saya dari lingkungan terdekat.

Saya kok jadi bingung sendiri, maunya menulis literasi sebagai praktik budaya, ternyata ending-nya malah bernostalgia. Atau memang seperti ini yang diharapkan dalam penelitian literasi dalam dimensi sosial budaya ya?

Tuesday, December 18, 2012

ETIK JUWITA, TULKIYEM, DAN CEK YANG MENJADI PEMBATAS BUKU


Siang ini saya ada janji untuk bertemu dengan Etik Juwita. Sosok ini sudah setahun lebih menghiasi draft proposal penelitian saya tentang dunia literasi buruh migran Indonesia.  

“Ada kuliah tadi pagi, mbak?” tanya saya, sembari merangkul bahunya, ketika kami bertemu di dekat pintu gerbang Universitas Gajayana Malang.

Etik di hadapan saya nampak lebih nyempluk dengan rambut pendeknya. Beda dengan foto-fotonya yang sempat saya cari di google image. Wajahnya segar, dan perutnya  membuncit. Ada jabang bayi yang akan mencerahkan hari-harinya dalam 2 bulan mendatang.

“Kosong tadi, bu. Dosennya pergi.”

Etik tengah belajar di jurusan Bahasa Inggris di Uniga, dan menginjak semester 7, setelah kurang lebih 9 tahun bekerja di luar negeri. Selepas sekolah di SMA Talun Blitar di tahun 2000, Etik memulai perjuangannya memperbaiki nasib dengan bekerja di Singapura selama 2 tahun. Modal yang masih belum cukup dan keengganannya untuk menjadi sekedar penjaga toko membawanya kembali ke luar negeri. Kali ini tujuannya Hong Kong, yang dilakoninya selama 2 kali masa kontrak.

Seberapapun menariknya berbincang tentang suka dukanya menjadi BMI, bagi saya, jauh lebih menarik mengungkap kreativitasnya di bidang literasi. Di bemo dalam perjalanan ke Matos, kami memulai obrolan tentang karya-karyanya yang sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris. Cerpen “Bukan Yem,” adalah salah satu cerpen yang pertama kali saya kenal dari kalangan BMI.  Cerpen ini dimuat di Jawa Pos, dan kemudian termasuk dalam 20 cerpen terbaik Anugerah Sastra Pena Kencana 2008.

Pernahkah Anda mendengar seramnya Terminal 4 bagi para TKI? Cerpen “Bukan Yem” bolehlah dianggap mewakili cerita serangkaian mafia yang berupaya menjerat dolar, ringgit, atau riyal yang dikais para BMI dengan keringat dan air mata. Versi bahasa Inggrisnya, “Maybe Not Yem,” boleh dikatakan sebagai indikator keberhasilannya menembus batas dunia sastra. Cerpen ini masuk dalam koleksi Tropical Currents: Writings by Indonesian Women, dan dianggap mewakili sastra transnasional di website Words without Borders.

Bila kita menggunakan mesin pencari Google, kita akan temukan bahwa nominasi cerpen ini sebagai salah satu cerpen terbaik juga menimbulkan polemik. Sebagian juri menganggap bahasanya terlalu lugas dan polos, namun sebagian lain melihat itu sebagai kekuatan yang mencerminkan tema cerita. “Dengar-dengar, pak Budi Darma termasuk salah satu yang mempertahankan cerpen saya,” begitu tutur Etik. Budi Darma memang menjadi salah satu jurinya.

Persinggungan Etik dengan Budi Darma bukanlah pertama-kalinya. Tiga tahun sebelumnya, di tahun 2005, Etik pernah menerima SMS dari Budi Darma. ““Bu Etik, selamat ya, cerpennya dimuat di Jawa Pos. Bagus.” (Budi Darma).” Begitu kira-kira bunyi pesan singkatnya, saat cerpen “Seharusnya Berjudul Celana Dalam” dimuat.

Pak Bon, Budi Darma iku sopo?” tanya Etik dengan polosnya kepada Bonari Nabonenar, seraya mem-forward sms itu. Bonari, alumnus Sastra Indonesia IKIP Surabaya, sudah cukup lama dikenal Etik melalui milis Kosa Kata. Etik menilai Bonari sebagai sosok yang selama ini banyak membantunya memoles tulisan-tulisannya. Bonari pulalah yang diam-diam mengirimkan cerpen itu ke JP. Etik mengakui bahwa milis seperti inilah yang dia pandang sebagai komunitas satu dunia, di mana semua anggota memiliki minat yang sama, yakni bahasa tulisan.

Memperoleh apresiasi dari sastrawan besar sekelas Budi Darma tak ayal memberikan dorongan pada Etik untuk terus menulis. Waktu-waktu senggang yang dihabiskannya di Hong Kong Central Library membuahkan berbagai tulisan dalam bentuk opini dan cerpen yang dimuat di berbagai media di Indonesia dan Hong Kong. Yang menarik, Etik juga menjadi salah satu kontributor cerita bersambung tentang Tulkiyem di koran Suara yang terbit di Hong Kong. Tugas ini dilakoninya selama kurang-lebih 4 tahun, dan berlanjut ketika dia sudah kembali ke tanah air dan duduk di bangku kuliah. Keseharian Tulkiyem, nama yang dipilih untuk mewakili sosok domestic helper, menjadi sosok yang lumayan ditunggu sebagian BMI, saat mereka menghabiskan hari liburnya. Si Tulki, dengan segala kenorakannya dan ke-ndeso-annya, dilihat sebagai bagian dari diri kebanyakan BMI.

Tulki ngopo saiki?,” begitu celetukan teman-teman Etik. Mengetahui tulisannya ditunggu pembaca memberikan kepuasan baginya. Di satu sisi, teman-temannya tidak tahu bahwa dialah penulisnya. Nama pena Etik Juwita memberikannya kebebasan untuk bersuara apa saja dan menjadi siapa saja. Tulki, tokoh BMI yang berasal dari Banyumas, khas dengan celotehan ngapak-ngapaknya. Ketika akhirnya sebagian besar BMI tahu bahwa Etik penulisnya, mereka malah tidak percaya, “ngapusi. Kok ora ngapak.”

Selama penerbitannya, Tulkiyem membawa pembaca pada isu-isu kekinian di kalangan BMI saat itu. Etik menggunakan tokoh Tulki untuk menyampaikan uneg-unegnya. Mungkin saking akrabnya dengan kondisi BMI, ada yang percaya bahwa Tulki itu sosok nyata. Ada proses resepsi yang kreatif, ketika demo perburuhan di kalangan BMI Hong Kong juga diwarnai dengan hadirnya sosok-sosok yang mengaku “Aku lho Tulkiyem,” dengan dandanan yang diyakini mewakili gambaran tokoh tersebut. Sayangnya, pada akhirnya Tulki terpaksa harus  ‘dipulangkan’ ke tanah air karena terminate contract. Itu ketika Etik mulai kewalahan membagi waktunya antara kuliah dan seabreg kegiatan lain setelah beberapa lama kembali ke tanah air.

Dalam perbincangan kami di salah satu sudut food court di Matos, saya melihat Etik sebagai sosok dengan kepribadian yang kuat. Bahasanya lugas, dengan suara yang tegas dan penuh percaya diri. Pernyataan tentang lekatnya hari-hari dia dengan literasi begitu kental. Salah satu temannya di penampungan PJTKI di Singosari memiliki kesan tentang itu. “Yang paling saya ingat tentang Etik, tidak satu haripun terlewat tanpa membaca,” begitu tiru Etik. Diakuinya sendiri, segala jenis yang mengandung tulisan akan dia baca. Apakah itu koran bekas pembungkus ataukah brosur dan pengumuman.

Terlebih lagi, buku memang menjadi sahabat Etik sejak kecil. Etik mengisahkan kenakalannya ‘mencuri’ buku perpustakaan di SD dekat rumahnya. Dia mengambil buku hampir tiap hari untuk dibaca. Diam-diam pula dia kembalikan setelah selesai, untuk kemudian mengambil buku yang lain. Sampai kemudian dia marah ketika semua buku di rak perpustakaan sudah habis dia baca. Kecintaaannya pada buku dan bahasa itu pulalah yang membawa dia pada keputusan untuk bersekolah di SMA Talun Blitar. Hanya sekolah ini yang saat itu mempunyai jurusan Bahasa.

Dalam hal kesempatan membaca, Etik melihat dirinya sebagai BMI yang amat beruntung. Tugas dia sebagai aged carer saat bekerja di Singapura boleh dikata cukup ringan. Koran dan majalah berbahasa Inggris dia baca, bahkan ketika majikannya belum menyentuhnya. Kemudian itu menjadi tugasnya, menceritakan isi berita kepada majikannya.

Tidak seperti kebanyakan BMI di Hong Kong, Etik hanya mengandalkan bahasa Inggris sebagai sarana komunikasi. Ini dia lakoni baik di kontrak pertama dengan majikan orang Hong Kong, maupun di kontrak kedua, dengan majikan orang bule. Selama itu pula Etik bisa menikmati me-time yang cukup leluasa.  Bahkan majikannyalah yang menyarankan Etik untuk memanfaatkan hari liburnya di public library. Itupun akhirnya dirasa Etik tidak cukup memuaskan hobi membacanya. Saat belanja di hari kerja, dia suka mencuri waktu mampir ke perpustakaan. Novel-novel Inggris menjadi salah satu jenis bacaan yang dilalapnya.

Keterpaparannya terhadap karya sastra asing ini pulalah yang mengajarkan Etik menulis dengan bahasa lugas. Menyebut Hemingway sebagai salah satu contohnya, Etik tidak terlalu suka dengan bahasa yang flowering. Maka ketika cerpen “Bukan Yem” menjadi polemik, dia cukup memahami bahwa sebagian sastrawan Indonesia masih mengedepankan permainan kata-kata sebagai tolok ukur kualitas tulisan.

Etik termasuk salah satu BMI yang cukup sering menjadi jujugan peneliti asing. Interaksi keilmuan ini berlangsung baik ketika Etik masih berada di Hong Kong, maupun ketika sudah kembali ke tanah air. Prof. Ming-Yan Lai, seorang pakar Cultural Studies dari Chinese University of Hong Kong, adalah salah satu scholar yang menggali profil Etik dalam kegiatannya di dunia perburuhan. Bukan sebuah kebetulan ketika Etik menyebut nama Prof. Lai. Saya menggunakan beberapa artikelnya sebagai referensi saya. Saya bahkan ingin menemuinya saat ke Hong Kong nanti. Sayangnya, Prof. Lai sudah meninggalkan perguruan tinggi tersebut, dan tidak memberikan alamat terbarunya kepada koleganya.

Etik memandang penulisan kreatif sebagai proses belajar yang tidak instant. Menengok dirinya sendiri, Etik melihat bahwa tulisan-tulisannya dibentuk dari kesukaannya membaca, bahkan ketika dia sendiri tidak sadar bahwa dia cinta pada dunia buku. Lebih dari itu, Etik menyebut menulis sebagai katarsis. Meski tidak mengalami sendiri, cerita-cerita miris berkelebat di sekitarnya, di antara hari-hari teman-temannya. Kalau dikatakan balas dendam, tulisannya adalah bentuk resistansi atas kondisi yang dialami sebagian besar BMI.

Menyoal tentang keberadaannya di dunia sastra, Etik tidak terlalu sepakat dengan sebutan sastra BMI. Apakah tulisannya dan teman-teman BMI lainnya digolongkan sebagai sastra BMI karena mereka adalah pelaku, ataukah karena isunya tentang BMI. Etik juga mempertanyakan, apabila dia terus menulis tentang BMI pada saat dia tidak lagi bekerja di luar negeri, apakah karyanya tidak lagi dimasukkan dalam kategori itu. Siapapun bisa menulis tanpa harus terjebak dalam kategorisasi, karena sastra harusnya membebaskan.

Meski begitu, Etik cenderung tidak terlalu mempersoalkan cara pembaca meresepsi karya-karyanya. Sikapnya sedikit cuek ketika saya beritahu bahwa cerpen tentang celana dalam kemungkinan besar dijiplak oleh penulis sesama BMI dari Taiwan. Ada cerpen dengan alur praktis sama dan judul senada diterbitkan pada tahun 2010. Dia sudah mendengar isu ini baru-baru ini juga dari teman lain, dan komentarnya, “karepmu.” Dia melihat ini sebagai satu apresiasi juga.

Etik bahkan merelakan ketika cek yang dia terima dari ijin penterjemahan “Bukan Yem” ke dalam Bahasa Inggris ternyata tidak bisa dicairkan. Pasalnya, cek tersebut menggunakan nama penanya, Etik Juwita. Meski jengkel juga pada awalnya, Etik menceritakan ini sambil ngakak saja. “Cek-e malah tak laminating, bu. Tak jadikan pembatas buku.”

Dua jam dengan Etik Juwita adalah menit-menit yang bernas. Sarat dengan kalimat cerdas dan pemahaman yang cukup dalam tentang dunia penulisan kreatif. Dengan pencapaian seperti itu, saya pribadi ingin melihat nama Etik Juwita tetap berkibar di dunia sastra Indonesia. Saya bahkan melihat potensi karya Etik sebagai salah satu representasi Indonesia di kancah sastra dunia, atau setidaknya di Asia. Ketika sebuah karya sudah menyebar dalam versi bahasa Inggris, maka kaburlah batas negara dalam dunia kata.

Friday, December 14, 2012

MENGENTAS KEMISKINAN MELALUI PENDIDIKAN: SOSOK ANI EMA SUSANTI, EX-BMI, SANG SUTRADARA FILM

Sabtu, 8 Desember 2012, pukul 9 pagi. Saya sedang menikmati segelas hot chocolate di J Co Cilandak Town Square Jakarta. Dua donat dan satu sandwich tersuguh di piring kecil. Baru saya makan satu. Perut masih kenyang, setelah sarapan di Wisma Makara UI tadi pagi, sebelum check-out. Saya sedang menunggu kedatangan Ani Ema Susanti, seorang mantan buruh migran Hong Kong. Sekarang dia sudah asyik dengan dunia penyutradaraan film dokumenter. Saya mengontak Ani dua hari sebelumnya, saat saya baru sampai di Jakarta. Tujuan utama saya memang untuk menghadiri konferensi internasional di bidang komunikasi di UI Depok. Saya punya satu hari bebas pada hari Sabtu, sebelum balik ke Surabaya di sore harinya. Hari ini akan saya gunakan untuk mewawancarai Ani untuk kepentingan penelitian S3 saya.

Saya sudah mengenal Ani sejak satu tahun yang lalu. Akhir tahun 2011 silam, ketika kami baru berkenalan di Facebook, Ani meminta bantuan saya untuk menggarap English subtitle untuk film pendeknya, Donor ASI. Film ini kemudian dinobatkan sebagai film terbaik untuk kategori film documenter di FFI 2012. Tentu saja kemenangan ini tidak ada kaitannya dengan bantuan yang saya berikan. Ani sudah meraih sederetan penghargaan di berbagai festival film di tingkat nasional dan internasional.

Coklat panas baru sedikit saja saya seruput ketika sms dari Ani masuk ke HP saya. “Kita jalan ke Blok M Plaza aja mbak. Lebih dekat dengan bis Damri nanti kalau mau ke bandara.”  

Lima menit kemudian, saat saya menunggu di bawah tangga dekat Baskins and Robbins, sebuah mobil abu-abu bergerak mendekati.  Seorang perempuan muda keluar dari pintu depan sebelah kiri. “Dik Ani?” “Mbak Tiwik, ya,” seru kami hampir bersamaan. Kami berpelukan dan saling mencium pipi. Laksana teman lama yang sudah bertahun-tahun berpisah.

Dengan baju panjang bermotif bunga dan kaos panjang polos warna coklat, serta jilbab simple warna senada yang menutupi hamper seluruh bagian dadanya, Ani nampak amat sederhana. Tanpa make-up. Suaranya lembut, bahkan cenderung pelan. Dari pintu kanan sopir keluar seorang laki-laki muda, ganteng, dan kalem. “Ibnu, mbak. Suami Ani.” Kami bersalaman, dan Ibnu meraih koper kecil saya untuk ditaruh di bagasi. Saat saya duduk di jok belakang, seorang ibu setengah baya, dengan bayi berusia 10 bulan di gendongannya, menggangguk manis. Saya meraih memeluknya. Ibu Ani nampak seperti kebanyakan orang-orang kampung yang polos dan tulus. Sama seperti sosok saya yang selalu kurus, namun selalu menjaga modal senyum.  Saya seperti berada di tengah-tengah keluarga saya. Apalagi setelah mengetahui bahwa keluarga besar Ani berasal dari Tembelang, Jombang. Bahasa Jawa Timuran yang mewarnai percakapan kami membuat suasana semakin cair dan mengalir.

Meski saya belum lagi memulai wawancara saya, obrolan kami sudah sarat dengan data bermakna. Dari jok depan, Ani bercerita tentang film terbarunya tentang pemuda dan gerakan anti korupsi. “Masih fresh, mbak. Bahkan belum ada masternya. Ini mau aku berikan ke Nia, tapi kok ketinggalan di rumah tadi.” Ani menyebut  Nia Dinata, produser film yang selama ini banyak mewadahi karya-karya Ani di rumah produksi Kalyana Shira. Ani juga menyebut hari-hari sibuknya berkuliah di program Film Production di SAE Institute cabang Jakarta. Sekolah industri kreatif berskala internasional model franschise ini memberikan beasiswa penuh kepada Ani. “Banyak tugas mbak, kuliah pakai Bahasa Inggris lagi.” Ibunya ikut menimpali, “nggih niku, wangsul kuliah nggih terus ngadep computer ngantos dalu. Ning kula dorong mpun putus asa...wis tak jagane si thole.”

Pukul 10.30 lebih sedikit. Solaria Blok M Plaza masih belum buka, tapi kami diperbolehkan duduk di dalam. Kami mengambil kursi di pojok, agar bisa lebih tenang, terutama untuk menjaga kualitas rekaman percakapan nanti. Ani nampak tenang dan nyaman dengan IPhone yang saya taruh di meja. Dia sudah cukup sering diwawancarai media. Suaranya berubah menjadi kokoh dalam kelembutannya, saat cerita-cerita tentang buku dan film mengalir dari bibirnya.

Saya sudah cukup lama mengikuti sepak terjang Ani. Meski begitu, banyak informasi tak terduga muncul dalam percakapan kami. Saya bertanya tentang filmnya yang pertama, Helper Hong Kong Ngampus. Film yang dibesut saat Ani masih kuliah di Fakultas Psikologi Untag Surabaya termasuk sebagai finalis Eagle Award Metro TV di tahun 2007. Namun bukan cerita filmnya yang lebih membuat perhatian saya tersedot. Dampak film itulah yang menurut saya lebih penting saat ini. Ani menggunakan film ini untuk memberikan pembekalan kepada BMI yang akan berangkat. Seorang pengusaha PJTKI di Surabaya memintanya untuk terlibat dalam pelatihan. Saya pikir sang pengusaha ini orang yang open-minded. Ketika membaca di Jawa Pos bahwa Ani masuk seleksi Eagle Award tahap skenario, dia bahkan mengijinkan Ani menggunakan fasilitas di tempat penampungan untuk keperluan shooting. Menurut Ani, pihak PJTKI ini memang berniat untuk ‘bebas masalah,’ dan menganggap bahwa tahap pembekalan selama 3 bulan berperan penting untuk itu.

Media memang punya kekuatan besar untuk mengubah persepsi orang. Ini yang diyakini Ani, meski tidak dia sadari sampai dia buktikan sendiri. Film Helper Hong Kong Ngampus berhasil mengubah pola pikir sebagian besar BMI tentang motivasi mereka bekerja di luar negeri. Sebagian BMI memang memutuskan pergi ke luar negeri sebagai pelarian, namun banyak juga yang bertujuan mencari uang tanpa tahu jelas peruntukannya. Film ini tentang dua orang BMI muda yang bekerja di Hong Kong untuk menabung demi tujuan kuliah. Yang satu untuk dirinya sendiri, satunya untuk menyekolahkan adiknya di perguruan tinggi. “Kok bisa?,” begitu komentar para calon BMI setelah menonton film itu. “Kenapa tidak, buktinya saya bisa,” jawab Ani.

Menelusuri motivasi Ani bekerja di luar negeri juga menimbulkan keharuan tersendiri. Ani dan ibunya kompak bercerita tentang bagaimana keluarga besar mereka memandang bahwa perempuan tidak perlu kuliah. Paklik Ani kebetulan berkuliah di jurusan Bahasa Indonesia IKIP Surabaya, dan lulus sekitar tahun 1991 atau 1992. “Kalau paklik saya dikuliahkan, kenapa ibu saya tidak?,” begitu protes Ani dalam hati. Saya jadi menebak-nebak, jangan-jangan saya kenal dengan Ridwan, nama paklik Ani ini.

Bahkan ketika Ani menyelesaikan kontrak kerjanya di tahun 2003, dan langsung berkuliah di Surabaya, banyak tetangga yang mencibir. “Walah, paling yo mari ngono nang luar negeri maneh,” ujar ibu Ani, menirukan komentar tetangga. Seolah menyiratkan bahwa sekali menjadi TKW akan tetap ada di lingkaran itu. Pernyataan Ani amat kuat menggaris-bawahi pentingnya pendidikan. “Saya percaya bahwa saya bisa mengentaskan diri dari kemiskinan melalui sekolah.” Tentu saja saya sepakat 100%. Buku dan film-film Ani sudah mewakili semangat Ani.

Ani adalah pencinta dunia literasi. Dia sudah sering menulis sejak SMA. Selama di Hong Kong, dia menuliskan hari-harinya ke dalam 3 buku harian. Setelah dia rangkum menjadi satu, mencoba mengubah format ke dalam bentuk novel, dan ditolak oleh beberapa penerbit, akhirnya catatan hariannya, Once Upon a Time in Hong Kong, terbit juga. Setelah selang beberapa tahun, mengikuti jejak filmnya yang sudah moncer duluan.

Tentu saja banyak faktor yang membuat Ani bisa seperti ini. Ani termasuk BMI yang sangat beruntung mendapatkan majikan yang berpendidikan. Meski dia ditawari untuk memperpanjang kontrak, Ani malah diberi bonus pulang  1 bulan lebih awal dari kontrak. Ini setelah mereka tahu bahwa Ani harus segera pulang mengejar jadwal registrasi kuliah di Surabaya. Seperti pengakuannya sendiri, Ani tidak termasuk dalam kelompok BMI yang sering mengalami diskriminasi. Bahkan dia diberi kepercayaan penuh untuk mengelola keuangan keluarga majikan. Itu yang membuat dia tahu apa pekerjaan kedua majikannya dan berapa gaji mereka. Kamar Ani juga menawarkan ruang privat yang amat layak.

Hubungan majikan-pekerja yang cukup egaliter ini terbawa melewati masa kontrak. Saat Ani mengambil gambar untuk filmnya yang lain, Mengusahakan Cinta (2010), majikan perempuannya ikut menjadi figuran. Film ini berhasil membawa Ani ke ajang festival film internasional di beberapa negara.

 “Dari film-film yang sudah dihasilkan dik Ani, mana yang paling berkesan?,” begitu tanya saya. Dengan tegas Ani menyebut film Helper HK Ngampus. Buku dan filmnya sudah beberapa kali dibedah di berbagai event. Agaknya kesempatan berbicara di depan publik ini membuatnya berubah dari gadis pemalu menjadi perempuan muda yang penuh percaya diri. Ani mengaku bahwa sebelumnya dia menyembunyikan statusnya sebagai ex-BMI. Namun setelah menerima tanggapan positif dari publik, akhirnya Ani menyadari bahwa statusnya dulu bukanlah hal yang patut dirahasiakan. Bahkan akan sangat bermanfaat untuk menyadarkan masyarakat akan pentingnya rencana matang dan motivasi jelas untuk menjadi BMI. Ani memutar cerita lama tentang tanggapan negatif tetangganya di Jombang. Sekarang, setelah mengetahui reputasi Ani di dunia perfilman, mereka menempatkan Ani sebagai role model“Aku pingin anakku kaya Ani. Kerja dhisik nang luar negeri terus kuliah,” ujar Ani, menirukan kalimat tetangganya.

Membaca berbagai penelitian tentang BMI di dunia akademik di luar negeri membuka mata saya. Stereotip negatif BMI yang dungu dan pasrah cukup rata menyebar di Malaysia, Singapura, Hong Kong, Taiwan, dan tentu saja Arab Saudi. Dalam kenyataannya, identitas ini dikonstruksi oleh konteks sosial budaya. Artinya, citra buruk ini juga bisa direkonstruksi. Dengan meyakini bahwa media punya potensi besar untuk rekonstruksi identitas, saya menawarkan diri untuk ikut menyebarkan film Helper Hong Kong Ngampus. Setidaknya, ini yang bisa saya lakukan sementara ini. Ani menyanggupi untuk mengirimkan filmnya nanti kepada saya.

Mengentas kemiskinan melalui pendidikan. Keluar dari penderitaan melalui buku. Pesan-pesan ini terus terngiang di benak saya. Saat saya tak sabar menuangkan kisah ini di salah satu Business Lounge di bandara Soetta. Saat saya dengarkan kembali rekaman percakapan. Dan saat saya gubah lagi ke dalam bahasa Indonesia sekarang ini.  Saya yakin cerita-cerita lain sudah menunggu di Hong Kong. Bukan sekedar cerita tentang derita BMI. Namun tentang kekuatan dunia kata yang diolah teman-teman di sana. Dunia literasi BMI menjadi bukti bahwa mereka juga punya suara yang amat patut didengar.