Tuesday, December 31, 2013

MENJADI BUGAR YANG MURAH MERIAH

Kemarin pagi saya, mas Prapto, dan anak-anak niat jogging. Cuaca semakin enak buat olahraga pagi. Kami meluncur ke Edwardes Lake Park, sekitar 15 menit dari rumah. Adzra sudah sempat ngambek di dalam mobil. Dalam benaknya, jogging berarti lari-lari sejak dari rumah menuju ke seputaran kompleks, melewati rumah teman-temannya. Kalau bisa malah dolan.

Di area tempat kami tinggal, yakni di Brunswick, city of Moreland memang banyak taman. Tapi dasar suka keluyuran, taman-taman di kecamatan tetangga sering dijelajahi. Edwardes Lake Park sendiri terletak di city of Darebin. Kenapa juga disebut city, saya juga kadang bingung. Padahal jaraknya yang berdekatan bisa dibandingkan dengan jarak antara Karangpilang dengan Ketintang (ukuran Surabaya tanpa macet lho). 

Sebagaimana kota-kota besar di negara-negara maju, taman kota adalah tempat di mana masyarakat bisa melakukan berbagai aktivitas bersama. Lahan yang luas, dengan pohon-pohon rindang dan rumput hijau, tempat bermain buat anak-anak, dan tak lupa BBQ-pit, adalah fasilitas yang cukup umum ditemui di semua taman. Taman-taman yang besar bahkan memiliki kolam, air mancur, danau kecil, atau anak kali (orang di sini menyebutnya creek) yang membelah taman. Benar-benar memberi suasana tenang. Enaknya lagi, semua fasilitas gratis.

Nah, yang membuat Edwardes Lake Park istimewa adalah karena adanya fasilitas outdoor fitness dan athletic track. Ini sesuai dengan komitemen dewan kota untuk mengajak masyarakat aktif secara fisik dan memanfaatkan keberadaan taman-taman lokal di Darebin. Di taman seluas 26 hektar ini tersedia peralatan fitness yang tersebar di 4 sudut.  

Begitu melihat taman yang rindang dan luas, serta masih sepi, Ganta dan ayahnya langsung ke arah jogging track. Adzra yang sempat ngambek langsung belok ke playground. Main sebentar, saya dan Adzra kembali ke niat berolahraga. Tak jauh dari playground, ternyata peralatan fitness yang sudah terlihat dari kejauhan adalah bagian dari station 1: Stretching and Warm Up.



Gak pakai lama, saya dan Adzra langsung menjajal peralatan untuk peregangan otot, body twist, sit up, dan push up yang cukup enteng. Tak usah bingung dengan cara penggunaan alat, atau bahkan mencari trainer. Instruksi sudah tersedia dengan jelas, baik dalam bentuk procedure text maupun gambar. Kalau mau dikaitkan dengan literasi, inilah ciri pendidikan literasi yang nyata di masyarakat yang berbudaya tulis. Semua penjelasan diberikan secara detil, sehingga kita tidak perlu tanya orang lain. Yang pingin berolahraga juga tidak kemudian menjadi 'wegah' karena tidak tahu cara penggunaannya. 



Setelah tubuh lumayan hangat dan lebih lentur, Adzra mulai tolah-toleh cari ayahnya. Kami menyusuri jalur pejalan kaki di sepanjang danau kecil, sambil sekalian mencari lokasi fitness di station 2 sesuai peta. Mengambil jalan naik ke bukit kecil, ternyata malah nemu athletic track. Ganta dan ayahnya sedang keliling lapangan di running track.



Saya takjub. Taman yang luas, hijau, bersih, dan gratis ini punya fasilitas olahraga yang ciamik. Athletic track-nya memiliki 6 jalur mulus. Garis batasnya jelas terawat. Lengkap dengan nomor track untuk kompetisi. Baik untuk lari jauh maupun sprint 50 meter. Di tengahnya ada arena untuk baseball kalau tidak salah. Di sisi kanan running track terdapat 2 area sandpits. Awalnya saya kira buat mainan pasir, ternyata baru sadar bahwa itu adalah arena lompat jauh, lengkap dengan garis untuk ancang-ancang lompatan. 

Tergoda ingin mengukur kekuatan fisik setelah 'turun mesin' hampir 6 bulan,  saya menjajal satu jalur di running track. Niatnya, harus bisa tuntas 1 lap saja tanpa berhenti. Entah kapan terakhir saya betul-betul berolahraga lari. Mas Prapto menyemangati, "Ayo dijajal ben gak gampang capek. Alon-alon ae." Ganta berlagak fotografer memotret ibunya yang mencoba mengatur nafas stabil.


Ternyata saya masih kuat berlari 1 lap tanpa berhenti, meski langkahnya belum bisa cepat seperti dulu. Saya dan Adzra juga menikmati berlompat jauh dan berguling-guling di pasir yang putih, bersih, dan kering. 

Semakin siang, taman mulai lebih ramai dengan orang-orang ber-jogging atau sekedar jalan-jalan dengan anjingnya. Ada pemandangan menarik di depan kami. Dua orang perempuan, tua dan muda bersama anjing yang besar, juga berjalan di jalur pejalan kaki. Si ibu memegang tali kendali, dan anaknya (mungkin) memegang tas kresek, terlihat memungut sesuatu di jalur. Eh, ternyata dia mengambil kotoran anjingnya yang sempat ditinggal yang empunya di beberapa titik. Beberapa saat kemudian, dia membuang tas kresek ke tong sampah yang sedang dibawa petugas kebersihan. Saya jadi ingat film Minggu Pagi di Victoria Park. Titi Syuman memerankan Sekar, seorang TKW di Hong Kong. Terjerat hutang, dia akhirnya bekerja serabutan, dan salah satunya adalah menjadi 'pengasuh' anjing, dengan tugas mengajak jalan-jalan, dan konsekuensinya, memunguti kotoran yang tlecekan di jalan. Raut wajahnya yang terlipat menahan bau (dan derita) masih jelas di ingatan saya. Mungkin saja aktingnya yang natural ini yang membuat dia memenangkan kategori Aktris terbaik FFI 2011. 

Puas di athletic track, kami berempat kembali menyusuri danau, menikmati bebek-bebek yang berjajar bak akan bersiap lomba berenang. Begitu ketemu station 2 untuk penguatan otot dan jantung, kami langsung menjajal peralatan fitness. Mulai alat untuk sit up, pull up, elliptical trainer yang seperti sepeda, dan juga alat untuk menguatkan lengan dengan cara menarik dua tuas di kiri dan kanan di atas kepala (entah apa itu namanya). Atau juga untuk menguatkan otot kaki. Asal saya masih kuat berdasarkan ukuran yang dijelasan di intruksi, yakni 5 - 20 kali, ya saya lakoni. Yang jelas badan jadi terasa bugar. 







Bisa ke taman yang segar, hijau, dan luas, berolahraga, jalan-jalan, menikmati bebek-bebek di danau dan burung-burung yang makan biji-bijian, gratis lagi. Alhamdulillah, betapa nikmat dan murahnya sebenarnya cara kita menikmati hidup ini. Oftentimes, the best things in life are free. 

Thursday, December 26, 2013

Membuat Peringkat Buku Bacaan

Beberapa bulan yang lalu saya sempat mengamati daftar buku bacaan yang direkomendasikan Dinas Pendidikan di sebuah daerah di AS. Daftar itu diberikan mulai K1-12, ditentukan berdasarkan hasil rembugan kluster sekolah di wilayah tersebut. Ada daftar untuk fiction maupun non-fiction, dan pemilihan buku sudah mempertimbangkan berbagai faktor gender, kultural, usia, latar belakang ekonomi, dsb.

Saya lihat sebagian judul yang direkomendasikan untuk grade rendah ternyata juga dibaca alias tersedia di sekolah Adzra. Memang buku-buku tersebut bisa diperoleh secara luas, seperti seri Dr. Seuss, buku anak-anak karangan Pamela Allen, atau bahkan Roald Dahl.

Saya tergugah untuk melakukan hal yang sama, terutama untuk pendidikan tingkat dasar dulu. Tentu saja saya tidak mungkin bekerja sendirian. Dan pemilihan judul buku yang baikpun akan melibatkan proses pembacaan yang benar dan kritis. 

Saya ingat teman saya dari Universitas Muhammadiyah Surakarta yang sedang studi PhD di Victoria University. Penelitiannya tentang buku cerita anak-anak di Indonesia. Hasil analisisnya menunjukkan bahwa banyak buku yang beredar di pasaran yang masih amat bias gender, menonjolkan KDRT, dan beberapa nilai yang kurang mendidik. 

Kami punya keinginan suatu saat berkolaborasi untuk melakukan pemilihan buku yang baik dan mempromosikannya di sekolah-sekolah tingkat dasar. 

Ketika kemudian membaca rencana Gus Mush membukukan cerpen pilihan di milis IGI beberapa saat yang lalu, saya semakin bersemangat (meski saat itu belum bisa mikir betul karena masih kemo). 

Bila ada yang tertarik, ayo kita garap misi ini. Membuat daftar buku bacaan untuk anak-anak SD dan mempromosikannya di sekolah-sekolah yang mau dibina.
 

Monday, December 09, 2013

ADZRA, RAWON, DAN MITOS KECANTIKAN KULIT PUTIH

Pagi-pagi sambil sarapan cereal, Adzra ngecipris dengan berbagai cerita. Sudah biasa begitu tiap hari. Bahasa Inggrisnya yang semakin natural sering membuat saya melongo. Serasa kalah jauh dari segi natural fluency. Saya bilang ke Adzra, "kalau ketemu bude Lies, kamu pasti dikruwes." 

"Who's bude Lies?" tanya Adzra
"Remember my friend who told you not to eat rawon? Jangan makan rawon Dzra, nanti kulitmu hitem lho." Jawab saya, mencoba mengingatkan dia saat digoda bude Lies Amin di kantor jurusan beberapa tahun lalu.

Saat itu, ketika Adzra masih belum genap 4 tahun, dia sempat tidak mau makan rawon. "Kan kata temennya ibu, nanti kulitku jadi hitam."

Siapa sangka ini jawabannya sekarang :You don't have to worry about your skin, mommy. Some people are black. Some are white. It doesn't really matter if your skin is dark."

Sempat speechless mendengar jawaban tak terduga ini, saya tepuk pipinya. "That was a fantastic answer, sayang." 

Bertahun-tahun saya belajar teori feminisme. Saya baca banyak novel yang menyiratkan tema white beauty standard dan dampaknya terhadap citra diri perempuan. Saya menulis artikel jurmal tentang itu, dan mengompori para mahasiswa untuk sensitif terhadap isu ini. Tapi saya tidak menyangka seorang anak perempuan yang baru genap 6 tahun ini bisa mengeluarkan pernyataan di atas dengan ringan dan spontan. Bahkan tangannya masih bermain-main dengan laptop mainan. Yet, it's so deep in meaning.

Saya ingat beberapa mahasiswa bimbingan saya yang mengangkat tema white beauty standard di dalam novel The Bluest Eye karya Toni Morrison. Novel ini berkisah tentang seorang anak kecil berkulit hitam bernama Pecola. "She's black, poor, and ugly." Di kelas sastra saya, kutipan ini kami bahas, membayangkan betapa rendahnya citra diri kita bila berada di sisi Pecola. Bagaimana gempuran iklan pemutih di TV mencerminkan citra diri kita inferior di bawah didominasi kecantikan standar kulit putih. 

Secara umum, skripsi-skripsi tersebut mengupas bagaimana novel The Bluest Eye mengkritisi dampak negatif white beauty standard terhadap citra diri perempuan kulit hitam di Amerika. Pentingnya identitas kultural juga dinilai amat penting dalam membentuk kepercayaan diri perempuan. Mereka yang kuat identitas kulturalnya akan mampu menyaring dan menolak dominasi standar kecantikan kulit putih. Sebaliknya, tanpa identitas budaya yang melekat pada diri, banyak perempuan yang menjadi inferior dan tidak tahan dengan gempuran konsumerisme, yang lagi-lagi merujuk pada standar kulit putih.

Apakah anak kecil punya kesadaran terhadap perbedaan kulit? Saat di Kinder dulu, Adzra pernah bertanya, "Ibuk, kenapa kulit Mary kok hitam banget?" 
"Mary itu dari Afrika. Orang Afrika banyak yang kulitnya hitam. Rambutnya juga curly. 
"Tapi Mary temanku kan?" tanya dia lagi. 
"Semua teman Adzra. Ada yang hitam kayak Mary, putih kayak Hanna. Coklat kayak Adzra dan Alifya. We're all friends."

Mengetahui bahwa tiap orang punya warna kulit yang berbeda mungkin sudah menjadi realita sehari-hari di sekolah. Teman-temannya di Moreland Primary School amat multikultural. Namun memahami bahwa perbedaan kulit bukanlah penghalang dalam bergaul adalah cerita yang berbeda. Perlu pembiasaan dan contoh yang konsisten dari orang-orang di sekitarnya. Barangkali  sebagai ibu yang lumayan sensitif gender,  tanpa sadar saya menanamkan nilai ini kepada dia melalui obrolan, mainan, dan buku-buku yang saya pilih untuk dia. 

Di rumah, salah satu buku favoritnya berjudul Children around the World. Ada foto-foto anak dari berbagai belahan bumi. Dengan warna kulit dan dandanan baju yang beragam. Dia suka buku itu karena amat colorful, dengan berbagai kisah unik tentang kebiasaan anak-anak dari berbagai negara. 

"Mommy, I have a story about a girl." sambung Adzra. Lalu dia mengarang cerita dengan lancar tentang seorang gadis cilik bernama Sasha. Setelah makan rawon pada siang hari, tiba-tiba kulitnya jadi hitam pada malam harinya. "Mommy, why is my skin darker? I can't take it off. And then her mom said, you can't take it off. Because that's how it goes. Our skin is dark. People look different. It doesn't matter. Don't worry about it."

Saya jadi bengong lagi. Cepet banget dia berimajinasi dan menghasilkan sebuah cerita. "I hope you'll be a great writer someday, Adzra," sambil saya uyel-uyel badannya.

"Has Kerry or Kelly ever told you that? You know, stories about people and their skin colour?" tanya saya, menyebut nama dua orang gurunya di kelas Prep. Adzra mengangguk mengiyakan

Pendidikan karakter barangkali sudah menjadi bagian dari kurikulum sekolah di banyak negara. Namun menanamkannya dengan cara yang pas sesuai usia anak didik adalah tantangan tersendiri. Nampaknya guru-guru di MPS sudah berhasil menjalankan tugas mereka. Baru saja minggu lalu Adzra bertanya tentang mengapa banyak orang dari negara lain pindah ke Australia. Saya tersadar bahwa gurunya sedang menanamkan nilai empati terhadap nasib para imigran gelap di Australia  Sekarang nampak lagi nilai yang lain. Nilai kesetaraan tanpa membedakan warna kulit.

Saya sudah lama mengikuti bahwa tema pembelajaran di MPS amat sadar terhadap isu multikulturalisme. Kebanggan atas identitas kultural tertanam melalui Asian Studies. Setelah belajar budaya Jepang pada semester 1 yang lalu, kini tema Indonesian studies amat berhasil membuat anak-anak kami bangga dengan identitas budayanya. Puncaknya, tari Saman yang ditarikan 39 anak Indonesia, semua siswa MPS, menjadi pusat perhatian dalam acara sekolah minggu lalu. Ini apresiasi kami atas pengakuan keberadaan komunitas Indonesia di MPS. 

"It's far more difficult to murder a phantom than a reality," begitu quote dari Virginia Woolf, pengarang novel Mrs. DallowayKetika seorang anak seperti Adzra sadar bahwa dirinya perempuan, berasal dari Indonesia, kulitnya sedikit gelap, belajar main dakon, suka Barbie dolls, suka bermain Three Musketeers dengan teman-teman bulenya, mudah-mudahan Adzra dan teman-temannya belajar meyakini bahwa warna kulit bukanlah hantu yang mati-matian ingin mereka bunuh. 

Monday, November 18, 2013

Identitas Poetika seorang Sirikit Syah: Resepsi Puisi 'Separuh Hidupku'

Mbak Sirikit mengirimkan puisinya berjudul Separuh Hidupku. Untuk menandai hari ulang tahun perkawinan ke-27 dengan pak Anam. Puisi ini sukses mengharu-biru perasaan para miliser Ganesa. Mungkin saking melankolisnya, mas Habe meragukan puisi ini sebagai tulisan mbak SS. Di mata Habe, identitas seorang SS hilang di puisi ini. Tergerak untuk memberikan komentar secara sastrawi, saya menurunkan sepotong kritik sastra terhadap beberapa puisi SS, untuk mencari poetic identity sang penyair. Berikut puisi utama yang menjadi bahasan:



Separuh Hidupku
Catatan cinta untuk suami pada ultah perkawinan  ke-27

Bapak,
Telah separuh hidupku
kujalani bersamamu.
Dan hari ini, di hari ulang tahun perkawinan kita ke-27, aku berkata:
sepanjang waktu itu,
tak pernah aku berhenti mencintaimu.
 
Ya, tentu saja ada masa-masa
dimana aku seperti tergoda
pesona para pria yang mengitariku
atau kuingin bernostalgia
dengan lelaki yang datang dari masa lalu.
Tapi percayalah,
itu cuma kelebatan-kelebatan
fragmen-fragmen
dalam romansa hidupku yang cukup panjang
Tak ada lakon tanpa figuran, bukan pak?
dann kita sama-sama tahu, siapa lakon sebenarnya.
 
Orang-orang itu mungkin lebih tampan atau lebih pintar
Lebih kaya dan lebih terkenal
Namun aku selalu berpikir:
Apakah mereka memiliki harum seperti bau badanmu
atau pijatan tangan senikmat pijatanmu
dan kesabaran dalam mendampingiku?
 
Pada akhirnya timbanganku menyimpulkan:
Tak akan ada lelaki yang memiliki cinta
sebesar cintamu padaku.
 
Bapak,
Cintamu yang besar membuahkan cintaku
Bagaimana tidak aku mencintaimu?
Kau mengupas kepiting dan menyuapkan dagingnya ke mulutku
Kau gendong aku di punggungmu ketika melewati banjir
Kau pergi jam dua pagi membetulkan USB yang akan kupakai mengajar esok hari
Kau tipe suami, yang akan membunuh harimau untuk melindungiku.
 
Bapak,
Mungkin memang sulit, tapi kuharap kau memaafkanku
atas kerapuhanku yang kerap membuatmu terluka
juga atas tahun-tahun yang sepi
saat kau kutinggalkan sendiri
 
Rasanya kamu harus dapat piala juara
karena bertahan dalam setia.
 
Bapak,
Tak kupungkiri
akupun mengalami masa-masa sulit denganmu
Ketika engkau ter-PHK dan tak memiliki kerja
Itu moment paling rentan dalam perkawinan kita
Aku bagai memegang gelas kristal yang rapuh
Yang bila salah menyentuh,
akan tergelincir, pecah, dan menimbulkan luka.
Ketahuilah pak,
Itu sungguh tidak mudah
Beberapa kali aku mencoba berlari
tapi aku selalu ingin kembali.
 
Dua puluh tujuh tahun sejak kau lamar aku di Bengkel Muda
Kujalani hidup bersamamu
Aku bisa saja menerima lamaran seorang angkatan laut waktu itu
(maka sekarang aku akan jadi anggota Yalasenastri!)
atau ikut orang Inggris itu
(dan sekarang mungkin aku sedang membeku diterpa salju!)
atau pemuda yang kemudian jadi politikus ternama
(mungkin aku tersangkut kasus korupsi!)
Sungguh beruntung, di masa aku sudah sangat ingin menikah itu
Tuhan menuntunku ke arahmu
Kau yang mencintaiku apa adanya
tak hendak mengubahku,
membiarkanku menjadi diri sendiri.
 
Masih jelas dalam ingatanku
Kau apel dengan bemo yang baru pulang ngelen
Keluarga besarku mengejekmu
Tapi aku tertawa-tawa melihat kenekatanmu
(dasar arek suroboyo, gak eroh wedi)
Mungkin justru itulah moment aku memilihmu.
 
Dalam perjalanan karirku,
kau adalah angin untuk kepak sayapku,
arus gelombang yang mendorong laju perahuku,
hingga ku dapat terbang tinggi dan berlayar jauh
ke tempatku berdiri sekarang.
 
Kau tak pernah berada di depan,
namun kaulah yang menjadikan.
Dan kau sungguh amat mengagumkan
tak pernah merasa terintimidasi
oleh kesuksesan seorang istri.
 
Maafkan aku atas ratusan, bahkan ribuan
pertengkaran kita yang diwarnai air mata.
Namun mari kita syukuri saja, pak
berapa banyak pasangan seusia kita
yang masih bergenggaman tangan
di setiap malam menjelang tidurnya.
Ya, selalu kucari-cari dan kurengkuh jemari tanganmu
dan kau menyediakan seluruh lenganmu
sebagai sandaran peraduanku.
 
Terimakasih atas segala yang kau curahkan
atas setiap hal kecil yang kau lakukan,
dan atas dua buah hati yang kau hadirkan,
yang membuatku menjadi ibu yang bangga,
juga atas rumah yang teduh,
yang kau bangun dengan tanganmu sendiri.
 
Apa sesungguhnya yang telah kuberikan kepadamu
hingga aku memperoleh sebanyak ini?
 
Usiaku kini 53
Separuhnya telah kujalani bersamamu
dalam perkawinan yang dipenuhi riak gelombang
Angin sepoi dan badai topan
Putus asa dan harapan
Tawa dan airmata
Marah dan cinta
 
Bapak,
Kalau boleh aku meminta hadiah di hari ulang tahun perkawinan ini
Cintailah aku seperti dulu
pertamakali kau bilang kau mencintaiku
27 tahun yang lalu
di sebuah bangku di Bengkel Muda
saat kita berdua kelelahan sepulang kerja
dan menemukan oase di sana.
 
Dan percayalah pak,
Apapun yang pernah terjadi dalam romansa kehidupan kita
tak pernah sekalipun aku berhenti mencintaimu.
 
Semoga di senja usia kita
Topan badai sudah reda
Tangis dan airmata sirna
Dan kita tetap bergandengan tangan menuju surga
 
Sirikit Syah
15 November 2013
=====

Secara reseptif, puisi 'Separuh Hidupku' sudah sukses membuat para miliser tersentuh, dan bahkan mewek (termasuk saya sendiri). Identitas SS yang biasanya menghentak tiba-tiba berubah amat melankolis. Mungkin ini yang membuat HB merasa kehilangan sesuatu. Ini bukan SS.  

Bicara tentang poetic identity, memang kita perlu membaca banyak puisi yang dihasilkan oleh seorang penyair. Apakah kita mau melihat bentuknya, isinya, atau dua-duanya. Dari sisi bentuk misalnya (e.g tone, diction), puisi-puisi Robert Frost punya identitas kuat dengan kentalnya natural imagery. Sementara dari isinya (e.g. theme), Frost banyak bicara tentang 'pemahaman diri melalui alam,' atau 'friksi antara community vs isolation.' Lihat saja puisi Mending Wall (salah satu favorit saya), bagaimana sebuah pagar pemisah antara dua tetangga merefleksikan kehendak manusia untuk mengisolasi diri meski hidup dalam sebuah komunitas sosial. 

Bagaimana dengan poetic identity seorang Sirikit Syah? Saya melihat puisi 'Separuh Hidupku' sebagai sebuah ode, yang adalah puisi tentang pujian kepada seseorang atau sesuatu, dan bernada serius. Boleh dikata puisi itu adalah 'An Ode to a Great Husband.' Dari segi pemilihan kata dan gaya bahasa, gaya SS yang lugas tetap kelihatan di puisi yang melankolis ini. Kalimat-kalimat deskriptif seperti 'Kau mengupas kepiting dan menyuapkan dagingnya ke mulutku, Kau gendong aku di punggungmu ketika melewati banjir, Kau pergi jam dua pagi membetulkan USB yang akan kupakai mengajar esok hari' adalah kekhasan SS. Sebagaimana muncul di puisi SS bejudul Di Kaki Langit Baltimore, dalam baris-baris 'turis berlarian masuk restoran,' 'orang-orang berdansa di bawah hujan, badan digoyang dirapatkan. Atau juga di puisi 'Romansa Hiroshima,' seperti dalam baris pertama dan kedua, ' Di lift hotel, dua turis Amerika menghapus airmata. Juga amat kental dalam puisi naratif 'Balada Maryamah dan Putra Angin.'  

Meski begitu, SS juga menghiasi puisi-puisinya dengan bahasa figuratif. Sosok suami dihiperbolakan 'akan membunuh harimau untuk melindungiku,' dimetaforkan dalam baris 'kau adalah angin untuk kepak sayapku.' Gaya senada juga muncul di puisi 'Suami' di kumpulan puisi Selamat Pagi Tokyo.  SS menggunakan metafor, di mana 'suami adalah sepiring nasi yang kulahap habis saat lapar,' dan 'ia juga setangkai bunga, yang aromanya teringat kemana jua.'  Dari segi imagery, bukankah baris ini mirip dengan 'Apakah mereka memiliki harum seperti bau badanmu' di puisi 'Separuh Hidupku.' Nampaknya 'sense of smell' adalah salat satu hal yang membuat SS tidak bisa lepas dari sosok suami.

Membandingkan beberapa puisi di atas, 'Separuh Hidupku,' 'Di Kaki Langit Baltimore,' 'Romansa Hiroshima,' 'Suami', dan juga 'Balada Maryamah dan Putra Angin,' kesan yang kuat adalah tema 'ruang dan tempat.' 'Separuh Hidupku' menyebut Bengkel Muda sebagai tempat yang menyatukan mereka, namun juga ada beberapa kali masa yang memisahkan ruang mereka. "Romansa Hiroshima' menyebut lift hotel, museum, jalan, sementara 'Suami' menyuratkan ruang terpisah dalam baris 'Di rantau terpisah samudra biru.' Sementara itu, puisi 'Baltimore,' ada 'kesegaran laut Baltimore, saat perahu ditambatkan.' 

Yang menarik dicatat, ' ada rasa sepi yang kuat dan nuansa pencarian dalam beberapa puusi, seperti dalam baris 'Kucari pasangan, tak kutemukan,' di puisi 'Baltimore' dan'kala kecewa hati menerpa, wajahnya jua yang hadir senantiasa, Inikah cinta? di puisi 'Suami'. Ketika pada puisi 'Separuh Hidupku,' pencarian itu selalu berlabuh pada sosok 'Bapak,' Ya, 'selalu kucari-cari dan kurengkuh jemari tanganmu, dan kau menyediakan seluruh lenganmu, sebagai sandaran peraduanku.' 

BIla puisi-puisi SS dilihat sebagai perjalanan mencari makna diri dan cinta, maka puisi 'Separuh Hidupku' boleh dianggap sebagai tahap 'discovery of wisdom.' 

Secara keseluruhan, poetic identity SS cukup tergambar dalam puisi 'Separuh Hidupku.' Bila gaya yang biasanya nendang dan menghentak tidak terlalu terasa di sini, bisa jadi memang sebagai penanda tahap kematangan diri sebagai hasil dari pencarian dan kontemplasi. Meminjam sosok archetype dalam Jungian criticism, figur 'warrior' sudah berubah menjadi 'the wise old man/woman.' 

Friday, November 15, 2013

HIDUP TANPA BRA

Mbak Sirikit, sahabat sesama alumni jurusan Pendidikan Bahasa Inggris IKIP Surabaya, jurnalis dan penulis top, mengirim kisah tentang 'Beha.' Setelah mastectomy 3 minggu yang lalu, mbak Ikit ingin membeli bra khusus untuk pasien kanker payudara yang sudah menjalani operasi. Ketika di RS Onkologi Surabaya, ternyata ada stocknya. Yang mengagetkan mbak Ikit, harganya mencapai 2 juta, total buat bra dan sumpelan silikon yang disebut dengan prothesis. Akhirnya mbak Ikit tidak jadi beli, meski masih terbayang-bayang, mengingat keinginannya untuk tampil 'normal' dan seimbang dalam hal berat sisi kiri dan kanan. Yang kiri sudah 'jeglong,' sementara yang kanan ukuran XL. Keluarga mbak Ikit amat supportive. Pak Anam, suami mbak Ikit, dijuluki McGyver, akan membuatkan 'sumpelan' khusus. Sementara Ayu, putri mbak Ikit yang baru saja menikah, malah mendorong ibunya untuk tidak mempersoalkan body image. 

Hihi, aku geli sendiri membaca postingan mbak Ikit tentang beha. Jadi ingat pengalamanku sendiri ketika menjalani operasi 2 kali pada bulan Juni dan Juli yang lalu. Kira-kira 1 minggu sebelum operasi yang pertama, aku diajak ngobrol oleh Monique, salah satu breast care nurse di Royal Women's Hospital. Ditanya perasaanku nanti kalau payudara kiri diangkat. Aku bilang gak apa, sudah siap. Terus diberitahu bahwa ada beberapa alternatif yang bisa diambil. Aku bisa minta breast reconstruction surgery. Dan operasi ini biasanya dilakukan beberapa minggu setelah pengangkatan payudara. Atau bisa juga memilih mengenakan breast prothesis, seperti yang diceritakan mbak Ikit. Prothesis ini bisa mengembalikan penampilan payudara pasien ketika mengenakan baju. Selain itu, berat payudara juga akan terasa seimbang. 

Body image memang dianggap penting. Itulah sebabnya Breast Cancer Network Australia proaktif 'menyentuh' pasien kanker payudara agar secara fisik dan psikologis tetap merasa utuh. 

Aku bilang "no, thank you, I think I'll be fine, Monique." Nggak pingin operasi rekonstruksi payudara seperti Angelina Jolie. Keberanian si Lara Croft ini memang patut diacungi jempol. Double mastectomy sebagai tindakan preventif agar tidak terkena kanker payudara dan ovarium. Dia memang punya gen penyakit ini dari silsilah keluarga. Tapi sebagai artis dan duta kemanusiaan, dia kan memang perlu menjaga body image. 

Aku punya pertimbangan lain. Demi kesehatan. Aku sudah 6 kali menjalani operasi di berbagai bagian tubuhku, yang semuanya terkait dengan organ perempuan. Kata mas Prapto, "wis diedel-edel sik kudu operasi maneh, disumpeli implant silikon." Dia ngeri membayangkan operasi terus. Aku juga tidak tertarik dengan prothesis permanen, yang berupa silikon dan diselipkan di bra khusus pasien kanker yang sudah menjalani operasi.  

Di Aussie, harga prothesis berkisar antara $130-400, dan bisa di-claim melalui Medicare. Itu asuransi kesehatan untuk warga negara Aussie. Bahkan juga disediakan kostum renang khusus, yang bisa di-claim melalu asuransi swasta. 

Ya, SOP pelayanan kanker payudara memang begitu. Jadi semua informasi lisan dan tulis berupa brosur dan booklet diberikan ke aku. Pilihan diserahkan pada pasien. Selain itu, aku juga diberi bra khusus itu sesuai ukuranku. Gratis. 2 item malahan. Dan ada sumpelan temporer dari kain. Nantinya bisa aku pakai setelah operasi, agar tampilan dada lebih seimbang. 

Nyatanya sampai sekarang kedua bra itu tidak pernah kupakai. Lha wong setelah operasi aku malah semakin jarang pakai bra, hehe. Gak ngaruh di penampilan yang memang dari sononya sudah begitu. Apalagi dengan cuaca di Melbourne yang lebih sering mengharuskan aku pakai baju berlapis-lapis. 

Wis gak opo, sing penting bojo ikhlas. Lihat kondisiku sehat kembali setiap habis kemo saja sudah seneng. Kemarin aku ngobrol dengan mas Prapto, "kemo ke-4 dan ke-5 ini dahsyat ya mas. Obatnya cuma 1, tapi efeknya beda banget dan lama. Energiku seperti terkuras habis." Kata mas Prapto, "yo bukan masalah obat cuma 1 atau efeknya beda. Seperti orang marathon, sudah lebih dari separo route. Mulai berkurang tenaga fisiknya. Sel-sel yang sehat dirusak, baru pulih, dirusak lagi. Wis gak apa, dilakoni, tinggal 1 kemo lagi kan."

Aku trenyuh dengan segala upaya suami dan anak-anakku agar aku tetap semangat. Kalau aku lagi sehat, Ganta suka menggoda, merengek-rengek, 'ibu, ambilkan makan dong, aku lemes. Dulang." Juga tentang kecemasanku yang mungkin terpendam, dan muncul dalam bentuk ngelindur. Duh, ini memang 'penyakit' sejak jaman dahulu kala. Dan selama sakit ini, cukup sering aku mimpi seperti aku sedang berperang. Yang keluar dari bibir, menurut Ganta atau mas Prapto,  ternyata 'help me, help me,' 'go away,' Ya Allah, astaghfirullah.' Uniknya, di mimpi tadi malam, aku seperti berbicara dengan seseorang yang sembunyi di kegelapan, dan di sekitar orang itu ada reruntuhan rumah. Dari jauh aku bilang ke orang itu dengan tenang, 'lha opo sampeyan gak ngalih pisan ae pak, wong kabeh wis gak nang kene." Aku terbangun dengan tanganku dipegang mas Prapto yang kaget dengan teriakanku, "Ya Allah." 

Secara fisik, aku semakin gampang lelah. Namun secara psikis, entah kenapa, seperti semakin tinggi fighting spiritnya. Di mata mas Prapto yang orang psikologi, aku sedang berperang dengan penyakit. Aku sedikit tahu urusan mimpi menurut Freud juga. Bisa jadi ini adalah perasaan-perasaan cemas yang ditekan ke alam bawah sadar, dan muncul melalui mimpi. 

Tentu saja dari pandangan agama, aku anggap ini sebagai pengingat untuk banyak-banyak beristighfar dan bangun shalat malam serta mengaji. Agar hati lebih tenang. Dan lebih banyak mimpi indah. Seperti kata Adzra tadi pagi, 'mommy, why don't you try to have a beautiful dream. Just like me. I dream about the rainbow. And I go sliding on the rainbow. It's soo beautifuul." 

Aku peluk Adzra. Alangkah indahnya dunia di mata anak kecil yang amat polos ini. Seharusnya aku belajar untuk melihat hidup secara lebih simpel saja. 


(ini cerita ttg bra kok malah belok ke ngelidur ya)