Saturday, January 26, 2013

MENGENTAS KEMISKINAN MELALUI PENDIDIKAN: SEBUAH RESEPSI FILM HONG KONG HELPER NGAMPUS


Jumat pagi yang lalu saya menerima kiriman CD film Hong Kong Helper Ngampus (HHN) dari Ani Ema Susanti. Seperti yang sudah pernah saya ceritakan di tulisan saya sebelumnya, Ani adalah mantan buruh migran yang sukses menyelesaikan kuliahnya di bidang psikologi. Saat ini Ani lebih menekuni bidang penyutradaraan film.

Film HHN sendiri adalah film dokumenter pertama Ani. Digarap bersama dengan rekannya, Yuni Dhevie Hapsari,  HHN menjadi finalis dalam Eagle Award 2007 yang diadakan Metro TV.

HHN yang berdurasi sekitar 17 menit ini berkisah tentang dua mantan TKW Hong Kong. Subiantini bekerja di HK selama 8 tahun, sedangkan Acik Saadah hanya bekerja selama 1 tahun 4 bulan. Tidak sampai finish kontrak. Dari hasil kerjanya , Tini memiliki cukup dana untuk membayar hutang orang-tua dan membeli sawah, sedangkan Acik hanya memegang cukup uang untuk membantu pengobatan ibunya dan membayar hutang bapaknya. Dengan sisa dana terbatas dan dorongan orang-tua, Acik bertekad merealisasikan cita-citanya kuliah di perguruan tinggi.

Sebagai media yang tidak terlalu panjang, HHN cukup utuh memotret lika-liku TKW dari sudut pandang yang berbeda. Dari kacamata Tini dan Acik misalnya, penonton disuguhi persepsi bahwa TKW bukanlah pekerjaan yang memiliki martabat tinggi di mata masyarakat.

“Tahu sendirilah apa pekerjaan TKW. Tidak seperti guru yang sangat dihormati, TKW atau petani itu sama, kayak orang biasa,” begitu penuturan Acik.

Meski demikian, Tini menganggap bahwa pekerjaan TKW memberi penghidupan bagi orang lain yang merasa lebih tinggi statusnya. Itu dia ungkapkan ketika seorang pengusaha PJTKI (sekarang PPTKIS) merendahkannya.” Kamu tahu nggak, kamu itu cuman babu.” begitu tirunya. Tini menimpali perlakuan itu dengan cerdas, “Lho, bapak ini jangan seenaknya menghina babu, bapak ini bisa makan juga dari babu.”
HHN juga tak lupa mengambil sudut pandang pengusaha PJTKI. Situasi Balai Latihan Kerja milik PJTKI, di mana calon TKW yang belajar tentang pengasuhan anak, belajar bahasa, dan saat proses pemberangkatan menjadi bagian beberapa scene. Pelatihan seperti ini diperlukan untuk menyiapkan calon TKW dengan kompetensi yang diperlukan sesuai kontrak kerja. Pak Welem, sang pengusaha, mengatakan bahwa dia dan beberapa koleganya juga menerapkan strategi pelatihan yang sama untuk pembekalan. “Saya berharap sebagai pengusaha, mereka tidak hanya berorientasi pada keuntungan. Namun juga ada pertimbangan kemanusiaan dan kepentingan sosial. Itu harusnya jadi tujuan utama”

Potret pelatihan ini mengingatkan saya pada suasana balai latihan kerja di kawasan Gempol di Jawa Timur. Sehari sebelum saya terbang ke Hong Kong pada awal Januari 2013 yang lalu, saya mendapat ijin untuk melihat sendiri kondisinya yang bersih dan cukup nyaman. Ada ruang pelatihan bahasa, pengasuhan anak, perawatan orang-tua, dapur, ruang makan untuk praktek penyajian makanan, dan mesin cuci berbagai model. Salah seorang managernya, sebut saja Bu Puji, menyatakan bahwa sebelum kontrak kerja turun, semua calon TKW memperoleh semua jenis pelatihan. Begitu kontrak kerja turun, mereka akan dilatih lebih khusus sesuai dengan jenis pekerjaan yang tercantum di kontrak kerja. Bu Puji sempat bercerita bahwa di kalangan PPTKIS memang ada pengusaha yang cenderung profit-oriented. Bu Puji malah mengaku bahwa dia bisa hidup dari para TKW juga. Itu sebabnya secara pribadi, sebutan TKW atau buruh justru kurang dia sukai. Bu Puji lebih suka menyebutkan mereka siswi Hong Kong atau Taiwan, bergantung pada negara yang akan dituju. Setidaknya kode etik ini yang dia coba terapkan di antara para stafnya.

Dengan judul HHN, sosok Acik memang menjadi sorotan film ini. Meski tidak sampai menyelesaikan kontraknya, gara-gara majikannya dipecat dan tidak mampu lagi membayar gaji, Acik tetap mempertahankan keinginannya kuliah. Acik mengingat kembali masa-masa di mana dia selalu merasa minder bila melihat sosok mahasiswa. Di matanya, mahasiswa adalah figur yang cerdas. Keinginan ini tersampaikan ketika dia bisa duduk di bangku kuliah di Fakultas Tarbiyah di salah satu universitas Islam swasta di Jawa Timur. Sambil kuliah, dia juga mengajar SD di desanya di Jombang. Status guru di desa amat dihargai, dan ini memberikannya identitas diri yang lebih berdaya. “Bila saya jadi TKW lagi, maka selamanya ya akan tetap jadi TKW. Beda dengan kalau saya kuliah.” Dengan memperoleh ilmu dari bangku kuliah, Acik melihat masa depan yang lebih cerah. Dia bisa mendapatkan pekerjaan yang lebih layak, dan tidak perlu menjadi TKW lagi. “Orang jadi TKW itu kan karena tidak ada lapangan pekerjaan di Indonesia.”

Sebagai sebuah film dokumenter, HHN cukup berhasil mengajak pemirsanya mengubah persepsi bahwa buruh migran adalah sosok yang tidak berdaya.  Acik sendiri menuturkan bahwa teman-teman kuliahnya tahu statusnya sebagai mantan TKW. Bagi mereka, tidak ada masalah dengan pekerjaan itu. Bahkan ketika mereka tahu bahwa Acik menggunakan hasil kerjanya untuk membiayai kuliahnya dan adiknya, mereka sangat mengapresiasi tekad dan semangat Acik.  Sementara itu, Tini bertekad mengupayakan agar anaknya yang berusia balita nanti dapat mengenyam pendidikan tinggi, agar tidak bernasib sama seperti orang-tuanya. Kalau untuk itu dia harus berangkat lagi menjadi TKW, asalkan suaminya mengijinkan, dia mungkin akan berangkat lagi.

Pemberdayaan masyarakat membutuhkan banyak pihak untuk berperan sebagai katalisator. Tentunya diperlukan peran PPTKIS yang berorientasi kemanusiaan dan pemberdayaan perempuan. PPTKIS yang mau membuka diri terhadap kalangan di luar, agar mereka juga bisa menjalankan perannya dengan baik. Dalam hal ini, Ani, sang sutradara, menilik pengusaha PJTKI yang membuka pintu perusahaannya menjadi tempat shooting. Sang pengusaha ini akhirnya malah mengajak Ani untuk terlibat dalam pembekalan calon TKW. Film HHN menjadi andalan Ani sebagai media informasi. Atas ijin Ani, saya sendiri berharap bisa memberikan copy CD film ini ke kalangan PPTKIS, bila mereka tertarik menggunakannya untuk pembekalan. Berangkat ke luar negeri dengan misi jelas akan menjadi suntikan semangat luar biasa bagi para calon TKW.

Di mata saya, Acik mewakili suara Ani sendiri. Sebagai mantan BMI yang berhasil lulus kuliah, Ani (dan Acik) menorehkan harapan bagi teman-temannya yang masih bekerja di Hong Kong atau negara lain, dan juga para calon TKW yang berada di pembekalan. “Janganlah menyia-nyiakan kerja kerasmu. Kalau kamu punya impian, apapun itu, kejarlah sampai dapat. Setiap orang yang mau berusaha, pasti bisa.”
Ani, Acik, dan banyak mantan buruh migran yang sudah membuktikannya. Sebagaimana pernyataan di awal film, “Bye bye Hong Kong, I'm a teacher now.”

Tuesday, January 22, 2013

KETIKA BADAN MENUNTUT PERHATIAN

Hari-hari ini saya lagi diuji dalam urusan kesehatan. Ndilalah kersaning Allah, urusannya hampir selalu dengan organ reproduksi.

Entah saya yang ndableg atau gimana, sebenarnya sejak di Hong Kong sudah ada tanda-tandanya. Tapi mungkin karena lagi enjoy cari data sambil jalan-jalan (tepatnya, jalan-jalan plus cari data), saya anggap normal saja seperti beberapa bulan sebelumnya.

Ketika sudah sampai rumah Selasa malam yang lalu, mulailah rasa capek nglumpuk. Ngantuk terus tiap hari. Saya pikir karena kelelahan aja. Plus kangen bertepuk sebelah tangan. Maklum, setelah menjemput saya di Juanda, Rabu pagi giliran suami berangkat ke Jakarta, dan sorenya malah sms mau bablas ke KL. Ampun deh. Pergi kok gantian.

Masih dengan gaya sok sehat, saya buat janji ABCD dengan beberapa teman. Karena yakin tidak akan stabil naik sepeda motor, maka anak lanang lah yang jadi pegang kendali. "Untung ibu duwe anak wis gede," gitu kata Ganta, saat mengantar saya ke Ketintang kemarin siang.

Menjelang sore, badan semakin oleng. Saya putuskan ke dr. Warsanto, dokter kandungan (obgyn) yang menangani saya sejak Adzra belum lahir. Weleh, ternyata malam itu dia tidak praktik. Ganta saya minta mengarahkan sepeda motor ke RKZ saja, cari dokter lain di klinik praktik bersama.

Setelah antri berjam-jam, akhirnya giliran saya datang juga, lewat pukul 9 malam. Diperiksa rada kilat tapi sampai ke bagian dalam, dr. Maurin bilang, "ibu rawat inap aja ya. Itu pucat kayak gitu. Cek lab untuk lihat Hb-nya. Siapa tahu harus transfusi. Habis itu dikuret.

Saya tidak kaget dengan solusi kuret. Sejak Juli tahun lalu sebenarnya saya menunggu tindakan di Royal Women's Hospital di Melbourne. Tapi karena dianggap bukan life-threatening situation (meski Hb juga pernah turun karena penyebab yang sama), saya tidak juga dijadwalkan mendapatkan  tindakan sampai balik ke Surabaya awal Desember lalu. 

Entah dokter Indonesia yang suka buat pasien panik atau standar pelayanan Australia yang prosedural, yang jelas saya bingung karena suami masih dalam perjalanan balik ke Surabaya. BBM saya tidak kunjung dibalas. Ya lah, wong lagi di udara. Saya putuskan pulang aja, sambil minta rujukan ke lab dan minta resep obat penambah zat besi. Ini penanganan yang saya dapatkan saat di Melbourne. Eh, dokternya menolak. "Percuma bu dengan kondisi kayak gitu sebaiknya transfusi aja." Ya sudah, saya balik saja besok pagi.

Suami datang lewat tengah malam, dan saya terlalu ngantuk plus lemas untuk bercerita sampai detil. Alhasil agenda dia keesokan hari untuk memberikan pelatihan tidak mungkin saya minta untuk batalkan. Ganta lagi yang jadi andalan saya untuk antar ke lab di RKZ. Bahkan saya sudah siap dengan backpack berisi baju, just in case.

Benar perkiraan dr. Maurin. HB saya memang agak jauh di bawah rata-rata. Sambil ngeloyor ke UGD, masih dengan jalan tegak dan suara cukup lantang, saya update info ke suami. Ganta mengikuti ke manapun saya jalan sambil membawa backpack. Suamipun langsung tancap gas meluncur ke UGD, sambil berpesan untuk minta ditangani dr. Warsanto saja. 

Jadilah saya pasien UGD. Saya masih bercerita runtut tentang rekam medik saya sambil duduk di tempat tidur. Sampai-sampai perawatnya minta saya untuk tidur saja, sambil ngomong bisa sekalian diperiksa. Hihihi, saya kok tidak merasa bahwa di balik kelambu, di kiri kanan saya ada pasien yang perlu ketenangan.

Sebentar kemudian wajah mas Prapto muncul dari balik kelambu. Jadilah saya ditemani dua orang lelaki paling cerewet dengan kondisi saya. Tapi kali ini mas Prapto cuma senyam-senyum.

"Wis itu Gan, ibumu kasih tahu. Ayah wis kesel bilang agar lebih banyak istirahat. Tapi nek suarane sik banter iku ibu sik sehat kok.

Saya mesem aja. Dia ada di samping saya, artinya separuh obatnya sudah datang.

Urusan diambil alih oleh mas Prapto. Memastikan dr. Warsanto sudah dihubungi. Tak sampai 15 menit saya berbaring, dokter jaga menyampaikan bahwa dr. Warsanto memberikan resep saja. Tak perlu rawat inap, karena tensi darah masih bagus. Obatnya untuk menghentikan pendarahan dalam. Sambil dilihat perkembangan dalam 2 hari ke depan.

Alhamdulillah, saya menjerit kecil sambil mengepalkan tangan kegirangan. Mas Prapto membawa saya pulang, dan kami ngobrol santai dan banyak tawa dalam perjalanan. Tentang Ganta yang sudah punya tanggung-jawab. Tentang hari-harinya saat kami berjauhan selama lebih dari 2 minggu. Saya bilang padanya, mengapa saat dia ada, penyakit saya seperti diangkat saja. Selama saya di rumah, kondisi saya baik sekali. Begitu berangkat ke HK, ada tanda-tanda kambuh lagi. Seperti biasa, dia selalu bilang bahwa saya suka aneh-aneh dengan bahasa sentimentil. Biar saja, saya tahu bahwa sebenarnya dia menikmatinya.

Saya tahu bahwa saya tetap harus kuret. Penebalan dinding rahim secara hormonal yang sudah terdeteksi sejak Juli yang lalu memang harus ditangani seperti itu. Pilihan saya adalah mau tindakan di Aussie atau di sini. Di Aussie, meski akan gratis dan ditangani dengan baik, tapi belum tahu kapan. Sementara kemungkinan kambuh akan selalu ada. Selain itu, saya harus mempertimbangkan Ganta dan Adzra. Saya akan sendirian menghadapi semuanya, meski saya tahu teman-teman saya pasti dengan senang hati mengurus anak-anak untuk sementara waktu. Mas Prapto yang pragmatis tidak mau spekulasi. Sebelum balik ke Melbourne, lebih baik ditangani segera di sini. Toh dr. Warsanto sudah tahu riwayat saya selama 8 tahun terakhir.

Saya sih nurut saja. Lebih enak pas ada suami mendampingi. Saya paham juga bahwa kondisi pekerjaan memang belum memungkinkan kami bersama-sama dalam waktu yang lebih lama.

Mengapa saya bercerita tentang kondisi saya? Saya percaya bahwa banyak perempuan (dan suami yang punya istri dan anak perempuan) bisa mengambil beberapa catatan. Pengalaman adik saya yang meninggal karena kanker payudara tanpa diketahui keluarga terdekat membuat saya semakin bertekad agar para perempuan saling menguatkan diri dengan berbagi kisah tentang kesehatan. Bukan untuk dikasihani. Tapi agar bisa saling belajar dan memberi solusi alternatif. Setidaknya, itu yang saya lakukan saat saya dioperasi di Texas 10 tahun yang lalu. Sendirian menghadapi kondisi darurat. Pertemanan saya di milis IMSA sisters untuk Indonesian female students/spouses lah yang menguatkan saya. Tidak hanya dukungan moral, namun ternyata sharing pengalaman senada dan bahkan advis kesehatan. Sebagian anggota milis memang dokter. 

Mata boleh sayu karena anemia. Badan bisa saja lemes perlu asupan zat besi. Tapi hati tetap semangat menatap hari-hari menjelang. Menulis (semoga) menyembuhkan. 

Friday, January 11, 2013

Kisah-kisah yang Tertinggal di Hong Kong


Di antara hari-hari saya menguntit buruh migran penulis, sebenarnya ada banyak kisah yang tak ada hubungannya dengan penelitian saya. Cerita yang tak akan masuk dalam disertasi saya, namun lebih banyak memaksa saya untuk merenungi alasan saya di sini.

Tempat saya menginap adalah sebuah apartemen yang disewakan oleh sebut saja Ramon, seorang BMI yang stay out. Selama seminggu saya tinggal di unit di daerah hiruk pikuk Causeway Bay, praktis tiap hari penghuninya keluar masuk. Kalau bukan orangnya, minimalnya kopernya. Ya, unit ini memang multi-fungsi. Tempat BMI stay out pulang selepas kerja, transit sementara BMI yang sudah finish kontrak dan menunggu visa, dan penginapan sementara mereka yang siap-siap mau pulang. Ada lebih banyak lagi yang hanya ditandai dengan keberadaan kopernya. Baik milik mereka yang tidak boleh menyimpan banyak barang di rumah majikan, maupun yang tiba-tiba datang malam-malam karena di-terminate oleh majikannya.

Bayangkan sendiri kondisi tempatnya. Unit ini terletak di lantai 6 bangunan yang tidak bisa dikatakan modern, meski juga tidak sampai harus dikatakan tua. Jauh dari kesan kumuh. Dua kamar yang tidak terlalu luas saat ini disewa oleh pak Edi, seorang aktivis LSM dari Tulungagung, dan saya sendiri. Property yang sangat mahal di Hong Kong membuat saya dan pak Edi masing-masing harus merogoh HK $ 350/malam. Itu sekitar 400 ribu rupiah lebih sedikit. Tidak usah dibayangkan kamar hotel yang nyaman. Praktis kondisinya seperti kos-kosan. Itupun sudah termasuk murah sekali, daripada tinggal di hotel. Lalu bagaimana dengan para BMI yang juga tinggal di sini? Ada Ramon si bos, Rani dan Nia yang sama-sama stay-out. Mereka bertiga bekerja untuk majikan bule. Ada Yufi yang baru finish kontrak dan sedang menunggu visa turun untuk pindah majikan. Ada lagi Nuri yang akan terbang ke tanah air besok pagi untuk pulang seterusnya. Mereka semua tidur di lantai ruang tamu, dengan kasur yang digelar bila sudah saatnya tidur. Di tengah-tengah ruang tamu penuh dengan tumpukan koper, dan belum lagi sela-sela ruang yang bisa dislempiti koper. Untuk bisa tidur model pindang ini, penyewa cukup membayar 40 dolar/malam.

Meski sempat terhenyak dengan kondisi penginapan seperti ini, pada akhirnya saya malah bersyukur. Saya tidak usah jauh-jauh menyelami secuil kehidupan para BMI. Hampir tiap malam ada saja BMI yang datang menitipkan koper. Saya biasanya masih cangkrukan dengan anak-anak sambil lesehan di kasur mereka. Lilik misalnya, datang 2 hari yang lalu, sambil membawa 2 koper besar.

"Titip ya bos," katanya.
Aku ikut nimbrung. "Lapo mbak kok bengi-bengi?"
"Interminit mbak," jawab Lilik. Itu istilah anak-anak untuk contract termination oleh majikan. Bila buruh migrannya yang memutus kontrak, istilahnya adalah nge-break kontrak. Bila interminit terjadi dengan mendadak, maka menit itu juga si BMI harus ringkes-ringkes keluar dari rumah majikan. Tak peduli jam berapapun.

"Lha nyapo kok interminit," tanya Rani yang juga baru pulang kerja.
"Cemburu kayake mbak," jawab Lilik dengan logat Kendal yang medok.
Semua ketawa. Apalagi setelah Rani menimpali. "Lha wong awakmu yo ora ayu-ayu banget, apane sing dicemburoni?" Rani suka ceplas-ceplos. untungnya Lilik juga tenang saja menanggapi. "Lha mbuh, wong bos wedok kuwi ayu banget. Ora duwe duit nggo mbayar babu ketoke."

"Terus tidur di mana nanti?" tanya yang lain.
"Di tempat agent, sambil cari majikan. Pingin stay out aja, cari yang bule."

Selama seminggu lebih tinggal di sini, saya sering keluar cari makan bareng dengan beberapa teman BMI yang juga tinggal di situ. Kami menelusuri warung-warung Indonesia yang cukup banyak di sekitar situ. Sambil makan, saya nanggap kisah-kisah mereka. Pemilik warung dan buruh migran lain yang sama-sama makan di situ pasti menganggap saya bagian dari mereka juga. Dari situlah cerita-cerita lain meluncur deras. Yufi ternyata underpaid selama 2 tahun. Dia digaji cuma 2000 dolar, dari standar gaji 3920. Yang lain setengah menggoblok-goblokkan Yufi yang masih lugu. Setengahnya salut atas kesabarannya, atau tepatnya, kepasrahannya. Banyak BMI yang paham akan hak-haknya, dan bisa saja menuntut ke pengadilan, agar majikan memberikan kompensasi. Cukup banyak yang berhasil membuat majikan nego supaya tidak kena denda tinggi dari pemerintah. Untunglah Yufi sudah memperoleh majikan baru. Kali ini dengan gaji yang standar. Dia tersenyum lebar. Begitu visa turun, dia sudah langsung bekerja, tanpa potongan gaji seperti saat kontrak pertama. Dan langsung dapat hari libur juga. Yufi yang paling muda di antara kami banyak mendapatkan nasehat untuk tidak ikut neko-neko nanti.

Ada lagi cerita Nia, anak Yogya berwajah Manado. Menjelang tengah malam, bosnya yang masih muda meng-interminit dia. Gara-garanya, si bos menyukainya, tapi cinta bertepuk sebelah tangan. Mungkin sang majikan jengkel sudah keluar duit buat membelikan gadget canggih dan macam-macam, tapi Nia tak menanggapi cintanya. Cemburu mewarnai kasus ini, karena saat itu Nia sedang dekat dengan bule dari Amerika. Orang-tua si majikan sampai nangis-nangis nggondheli Nia. Tugasnya memang melayani kedua orang tua si bos. Nia yang memang pemberani menuding-nuding si bos yang tidak punya perasaan. Tapi tetap saja dia harus menggeret koper-kopernya. Naik taksi mencari penginapan dari satu tempat ke tempat lain. Sebelum akhirnya terdampar di tempat Ramon. "Aku ya gengsi turu nang shelter, wong aku ya duwe dhuwit." Tempat kami tinggal memang dekat dengan beberapa shelter di kawasan Causeway Bay. Shelter ini biasanya jadi jujugan mereka yang berkasus dan tidak ada dana.

Cerita hidup Nia membuat saya mengernyitkan dahi, ketika dengan santainya dia bercerita tentang 'bos'nya sekarang yang orang Eropa. Saat kami makan, memang Nia beberapa kali ngobrol dalam Bahasa Inggris dengan bos-nya. Dengan percakapan yang lebih pas dianggap sebagai bentuk kedekatan. "Timbangane munafik sok bersih, mending kaya aku iki jujur apa anane." Yufi dan Nuri suka cekikikan bila Nia sudah bilang begitu.

Cerita Nia mirip dengan seorang BMI stay-out lain yang juga sama-sama makan saat itu. Sebut saja Lisa namanya. Bahasa Inggrisnya mahir. Sedikit agak show off ketika ngobrol dengan temannya. Ketika Nia mengenalkan bahwa aku dari Australia, aku mendelik sama dia. "Halah apa to yo'. Dari Surabaya kok dik." Ternyata pancingan itu membuat Lisa bercerita lebih panjang. Dia stay out dengan majikan bule. Sama seperti Nia, dia juga berani memaki majikan ketika di-interminit. Gara-garanya, setiap libur Lisa suka berdandan sexy. Majikan tidak suka, dan dengan entengnya Lisa bilang, "It's my holiday, right. I can do whatever I want and wear whatever I like." Itulah salah satu alasan akhirnya dia di-terminate. Dengan kondisi sekarang, Lisa merasa nyaman karena majikan bulenya memperlakukan dia seperti teman. Saat libur mereka bisa hang out bareng. "We drink together, smoke together. When I got hangover, he would cook for me." Saya perhatikan Lisa lebih jeli. Bajunya terlalu tipis untuk winter, bahkan angin akan mudah menerobos kaos hitam you-can-see nya.

Kisah-kisah sebagian BMI ini membuat perasaan saya bergerak seperti pendulum. Dikasihani, wong mereka kelihatan menikmati hidup. Setidaknya, gadget-gadget canggih mereka menjadi penanda. Mulai IPhone, IPad 3, Samsung Galaxy Note, dan Mac akrab dengan diri mereka. Dan sepanjang yang saya tahu, teman-teman saya ini juga berinvestasi dengan uang mereka. Berhadapan dengan Ramon dan Rani, misalnya, adalah bicara dengan sosok perempuan profesional yang mandiri dengan visi masa depan yang jelas.

Rasa prihatin lebih layak diarahkan ke mereka yang tinggal di shelter. Seperti mbak Tari yang patah tangannya karena dianiaya majikan sehingga dia kabur. Atau Sa'adah yang di-terminate karena menampar anak majikannya demi pembelaan diri. BMI seperti merekalah yang perlu pendampingan saat kasus maju ke pengadilan. Saat saya keluar dari shelter Kothiko, saya tidak tahan untuk tidak menangis. Saya akan merasa malu bila kehadiran saya di HK ini hanya untuk mengeksploitasi cerita hidup mereka.

Ketika saya kembali ke Surabaya dalam beberapa hari lagi, teman-teman saya ini masih akan berjuang untuk keluarganya. Entah untuk berapa kali kontrak lagi. Banyak yang ragu kapan akan berhenti. Meskipun begitu, seberapapun nyamannya kehidupan sebagian BMI di HK, tak seorangpun berfikir untuk menghabiskan sisa hidupnya jauh dari keluarga. Andai saja negara hadir untuk mereka.

Tuesday, January 08, 2013

Menggantung Asa di Victoria Park

Victoria Park di musim dingin yang hangat
Kubuka nasi bungkus mika seharga 17 dolar Hong Kong
Kubeli di halaman warung Indonesia 
Setangkup nasi ayam dan separuh telur rebus serta sayur lodeh
Lebih dari cukup menghangatkan perut yang ramping ini

Bobo* ber-sweater merah sedang ber-taichi
Ditemani burung dara dan gemericik air mancur
Sekawanan pekerja kerah putih bercengkerama melahap burger
di sisi pelajar yang tengah sibuk dengan tugasnya.

Mbak tomboy ber-backpack dan tas kain berselampir
Menawarkan cilok cuma 10 dolar saja katanya.
"Sik anget iki mbakyu."
Setengah tak tega kuambil sekantung saja.

Krisna si tomboy dari Blitar
Ingin punya tanah sendiri
Meski sang bapak punya seluas lapangan
Menawar tanah mbak Suratun yang ternyata tetangga desa
Masih ada sejengkal di sisi kos-kosan yang jadi tabungannya

Di Victoria Park yang menghangat
Asa masa depan digantungkan
Tukar menukar nomor HP sebagai penanda 
Nafas perjuangan dan asa di setiap desahnya.

*bobo : nenek

Victoria Park,Causeway Bay, HK
8 Januari 2013

Friday, January 04, 2013

Hong Kong, I'm Coming

Saya sedang berada di ruang tunggu bandara Internasional Juanda. Pagi ini insya Allah saya akan terbang menuju negeri beton, Hong Kong. Pesawat Cathay Pacific dengan nomor penerbangan CX 780 L dijadwalkan take off pukul 08.15 WIB.

Saat mau check in tadi, saya sudah merasakan aroma yang beda. Ketika koper saya geret menuju check-in counter, seorang petugas mencegat saya. "Mbak, mbak, kesana dulu, ke security." Tidak kasar memang, tapi tanpa sapaan. Saya berterima kasih, dan langsung menuju ke petugas security. "Tolong tiket dan paspornya mbak," ujar petugas di situ. Saya sapa dia, "pagi pak," sambil mengeluarkan paspor biru saya. Dalam hitungan detik, petugas mengubah nada bicaranya, "pagi bu, mau ke Hong Kong?. Aku mengiyakan, sambil membatin, kalau paspor saya berwarna hijau, apa mungkin nada bicaranya berubah ya.

Urusan check in dan imigrasi akhirnya lancar jaya. Nampaknya warna biru paspor saya sakti. Saya sebenarnya sempat khawatir akan dimintai exit perrmit. Pemegang paspor dinas malah cenderung ribet kalau harus ke luar negeri. Saya ditanya ke HK untuk urusan apa. Saya bilang aja liburan sambil mengeluarkan surat keterangan dari KJRI Melbourne. Paspor diibuka-buka oleh petugas imigrasi, dan malah dia kemudian bertanya berapa lama perpanjangan paspor dinas saya di KJRI Melbourne. Malah dicurhati bahwa paspor dia lama banget proses perpanjangannya. DOK! Sahlah keberangkatan saya ke Hong Kong, dengan stempel imigrasi.

Menuju ruang tunggu di gate 10, tidak terlalu ramai. Praktis sebagian besar calon penumpang adalah buruh migran. Ada yang berombongan kecil dengan jaket seragam. Biasanya mereka baru pertama kali berangkat. Seorang perempuan muda duduk di samping saya. Sambil tersenyum, dia bertanya, "ke Hong Kong mbak?" Saya mengangguk. "Lagi cuti?, tanya dia lagi. Hmm, penampilan saya yang amat biasa meski rapi jali ternyata kalah dengan beberapa di antara calon penumpang. Saya bilang kalau ada dinas dari kantor. Di samping kanan saya ada mbak lain.  Dia necis dengan boots-nya, sambil berbicara lancar dalam Bahasa Inggris di telpon. Cukup lama. Dari hasil nguping, saya bisa menduga bahwa dia juga BMI.

Saya mulai 'jail.' Mbak yang duduk di kiri saya mulai saya ajak ngobrol. Mbak Marni namanya, dari Ponorogo. Pulang cuti 2 minggu, dan kembali untuk kontrak kedua, dengan majikan yang sama. 

"Tadi ditanya KTKLN mbak?," tanya saya. Dia menggeleng, dan menjelaskan lancarnya urusan. Hanya dengan paspor dan tiket, dia sudah melenggang.

"Bagus kalau begitu," jawab saya. Saya ikuti di media, peraturan baru tentang KTKLN yang berfungsi sebagai ID card untuk BMI sering jadi alasan untuk pungli oknum imigrasi bila BMI tidak memilikinya. 

Saya lihat wajah-wajah sumringah di antara mereka. Semoga ini pertanda bahwa kehidupan mereka di Hong Kong juga begitu. Setidaknya, musim dingin di sana akan tetap diisi dengan semangat menyala. Ini yang ingin saya temukan di komunitas penulis BMI nanti. 

Hong Kong, I'm coming.

Gate 10, bandara Juanda Surabaya, 07.30 WIB.