Thursday, April 25, 2013

KETIKA SHALAT MENJADI KAYA MAKNA


Pernahkah kita berpikir bahwa urusan agama sebenarnya adalah bagian politik budaya? Bagi umat muslim mayoritas di tanah air, barangkali kita menganggap banyak hal ‘taken for granted,’ sudah semestinya begitu. Adzan yang lima kali berkumandang dari masjid dekat rumah, pengajian yang bisa terdengar dari gang sebelah, membuat kita jarang mempertanyakan apakah ada yang merasa terganggu, apakah ada perlawanan yang tersembunyi, ataukah perlunya sebuah negosiasi.

Cerita menjadi lain ketika kita berada di posisi minoritas. Ijinkanlah saya bercerita tentang anak-anak Indonesia di Melbourne, terutama yang kebetulan memegang status sebagai siswa di Moreland Primary School (MPS). Ada hampir 40 anak Indonesia, mayoritas dari keluarga muslim, di sekolah ini, mulai Prep Year (5 tahun) sampai grade 6. Cerita bermula ketika musim gugur tiba. Kebetulan musim ini secara resmi berbarengan dengan dimulainya school term kedua, pada pertengahan April. Apabila pada saat musim panas, di term 1, waktu shalat Ashar baru masuk sekitar pukul 5 sore, para orang tua tidak menemui kesulitan mengajak anak-anaknya shalat dhuhur sepulang sekolah. Jam sekolah memang sudah berakhir pada pukul 3.30 setiap hari Senin-Jumat. Ketika daylight saving berakhir, dan waktu diperlambat 1 jam per tanggal 7 April yang lalu, maka shalat Shubuh yang dilakukan pada pukul 6 pagi pada tanggal 6 April berubah menjadi pukul 5 pagi pada keesokan harinya. Apalagi dengan semakin pendeknya siang, waktu shalat Ashar juga akan semakin cepat datangnya selama musim gugur, apalagi musim dingin nanti. Pada posisi sekarang saja, waktu dhuhur berakhir pada pukul 3.17, ketika anak-anak masih di sekolah.

Saya mengenal mayoritas orang tua di MPS sebagai orang-orang yang tidak hanya cerdas, namun juga teguh menjalankan ibadah. Kami rutin berinteraksi secara komunal dalam berbagai kegiatan sosial dan keagamaan di ‘kampung’ kami di area Brunswick dan Coburg. Itulah sebabnya urusan menjaga waktu shalat anak-anak tidak menjadi urusan individu, namun sudah bergerak ke level berjamaah. Masalahnya adalah, MPS adalah sekolah umum dan sekuler, tanpa embel-embel agama apapun. Sekolah ini juga sangat kental nuansa multikulturalnya. Mencari siswa dengan berbagai warna kulit dan bahasa ibu akan mudah dijumpai. Maka meminta ruangan khusus untuk shalat menjadi hal yang rasanya muskil.  

Dan perjuanganpun dimulai. Dicarilah celah hukum yang bisa dimasuki agar ijin shalat bisa diberikan di sela-sela jam istirahat yang tidak lama. Dalam pemerintahan yang sekuler, Australia ‘merasa’ wajib melindungi hak-hak masyarakatnya untuk melakukan ritual agama masing-masing, bila ada permintaan dari sekelompok orang yang mewakili komunitas lebih besar. Siswa muslim boleh tidak masuk sekolah pada hari-hari besar seperti Idul Fitri dan Idul Adha. Yang Hindu dari India boleh tidak bersekolah bila sedang merayakan Diwali.

Mulailah dilakukan gerakan penggalangan dukungan pada awal musim gugur tahun lalu. Saya belum menjadi bagian dari MPS Indonesian parents saat itu. Adzra masih di Bindi Kindergarten, yang tidak sampai 500 meter dari MPS. Kedekatan lokasi ini membuat saya lumayan sering ikut bergabung dengan para ortu yang sedang menjemput anak-anaknya. Saya menyaksikan diedarkannya lembar tanda-tangan dari satu tangan ke tangan lain, untuk kemudian dibawa ke rapat School Council, atau Komite Sekolah. Ada satu orang perwakilan dari komunitas Indonesia yang kebetulan menjadi anggotanya. Dia adalah Diana, mahasiswa PhD di Unimelb, dosen Psikologi UGM, ibu dua anak, yang juga menjalankan layanan day care bersama Rizki, suaminya, di apartemen mereka. Pasangan ini merupakan salah satu contoh ortu yang gigih memperjuangkan kepentingan shalat di sekolah. Mengikuti cerita Diana dari waktu ke waktu, saya bisa bayangkan friksi yang muncul di School Council. Ada yang menolak keras dengan dalih akan menimbulkan keresahan. Perlu diketahui bahwa komunitas muslim di MPS cukup besar. Maklum, MPS ada di area Brunswick dan Coburg, yang merupakan ‘kampung Arab.’ Di sinilah banyak ditemui orang-orang Lebanon dan Turki tinggal dan melakukan kegiatan bisnis. Daerah ini adalah surganya makanan halal.  Dengan demikian, dikhawatirkan komunitas muslim dari negara lain akan ikut meminta kesempatan yang sama. Diproyeksikan sekolah akan kewalahan menegakkan tata-tertib. Ada yang keukeuh mendukung karena peraturan di negara bagian Victoria memberi peluang, ada yang menganggapnya bukan isu besar, karena hanya masalah kultural, bukan agama,  sehingga tidak perlu dikhawatirkan.

Upaya negosiasi inipun berbuah manis. Anak-anak Indonesia yang muslim diberi ijin melakukan shalat, tapi tidak di lokasi sekolah.  Perjuangan tahap keduapun dimulai. Mencari apartemen keluarga Indonesia yang tidak jauh dari sekolah sebagai lokasi shalat. Dan begitulah akhirnya, selama beberapa bulan dalam kurun musim gugur dan dingin, saya mendengarkan dan menyaksikan para ortu bergantian piket, menggiring 10-15 anak berjalan ke rumah pasangan Is dan Ika Lugin dari Surabaya. Ika adalah dosen Unair, mahasiswa tahun ke empat di Unimelb. Dua dari tiga anak mereka juga bersekolah di MPS. Rumah mereka yang paling dekat, cuma 3 menit jalan dari sekolah. Memastikan anak-anak tertib ke luar sekolah, shalat, dan segera kembali ke sekolah, sambil tak lupa menyelesaikan makan siangnya, adalah tugas rutin para ortu. Nampaknya sepele, namun saya tahu tantangannya berat, terutama dalam menjaga konsistensi.  Saya tahu ini tidak mudah dari sisi anak-anak sendiri. Maklumlah, jam istirahat sering dimaknai sebagai jam bermain. Playground yang nyaman dan lapangan olahraga yang luas berperan besar dalam membuat anak-anak tidak menghabiskan bekal makan siang, demi waktu bermain agar lebih lama. Terlebih lagi mengorbankan jam istirahat di luar lokasi sekolah.

Setidaknya itu yang kemudian terjadi. Saya kurang tahu pasti bagaimana alur setelahnya. Namun yang saya lihat adalah berpindahnya lokasi shalat ke De Carle Street, dekat tempat saya tinggal, sekitar 10 menit jalan kaki dari MPS. Apartemen keluarga Diana-Rizki dari Yogya dan Indah-Cucuk dari Solo, keduanya tetangga saya beda gedung saja, gantian menjadi lokasi shalat. Saya lihat Cucuk dan Rizki gantian mengangkut anak-anak, yang jumlahnya berkurang, di mobil Rizki. Saya hanya mendengar bahwa semangat beberapa anak dan ortu mulai kendur. Ada yang mengubah strategi dengan menyarankan anaknya untuk tetap berada di lokasi sekolah dan mencari peluang shalat sendiri di pojokan sekolah. Setidaknya strategi ini yang umum diambil para mahasiswa di sela-sela kesibukan kampus. Ada yang kemudian ‘mrothol’ tanpa alasan. Kendurnya semangat dan berubahnya pola shalat ini karena lokasi ini sempat dikhawatirkan beberapa teman, yang bisa berpotensi membuat pihak sekolah tidak lagi memberikan ijin. Kesepakatannya, shalat dilakukan secara komunal, di luar lokasi sekolah.

Ketika musim semi datang, dan daylight saving dimulai lagi pada bulan Oktober tahun lalu, jamaah shalat dhuhur bisa sedikit bernafas lega. Shalat Dhuhur tidak lagi harus dilakukan pada jam sekolah. Meski begitu, perjuangan masih belum selesai. Masih harus dipikirkan bagaimana strategi selanjutnya pada tahun ajaran 2013. Tapi setidaknya, John Williams, Kepala Sekolah MPS, berjanji untuk memikirkan lokasi yang tepat untuk kepentingan ini. Janji inilah yang kemudian kami pegang. Bukan untuk menuntut pemenuhannya, namun untuk menggerakkan lagi semangat ortu dan anak-anaknya untuk istiqomah dengan jamaah shalat dhuhur. Masih ada waktu untuk mempersiapkannya sampai musim gugur datang lagi.

Kemudian akhirnya saya turut menjadi bagian komunitas Indonesian parents di MPS pada tahun ini. Beberapa teman sudah kembali ke Indonesia bersama keluarganya, dan keluarga-keluarga barupun berdatangan membuka babak baru. Ada kehendak untuk menjaga misi shalat dhuhur tetap terjaga dan disuarakan di forum resmi sekolah. Ketika lowongan pemilihan anggota baru di School Council dibuka, beberapa teman mulai saling menunjuk di forum virtual terbatas. Diana sudah masuk tahun terakhir studinya, dan ingin pensiun, tapi pihak sekolah menginginkannya untuk tetap tinggal. Ada keinginan untuk menominasikan satu orang lagi dari Indonesia, agar memperkuat suara. Beberapa teman punya potensi kuat, namun punya pertimbangan studi. Indah sudah masuk ke tahun terakhir juga di Swinburne University, dan Yasmin akan menghadapi konfirmasi tahun pertama di universitas yang sama. Salah satu penggeraknya, mas Solikin, bahkan sudah pulang ke tanah air, kembali ke kampusnya di Unmuh Surakarta. Pandangan pun jatuh ke nama saya. Dipertimbangkan saya tidak sedang kena himpitan konfirmasi atau submit thesis, meski bukan berarti bisa lebih santai juga. Saya yang sebenarnya kurang yakin, karena masih warga baru gres di MPS, belum tahu aturan main, akhirnya mengiyakan demi kepentingan yang lebih besar. Kampanye 'terselubung' pun bergerak melalui sms, whatsapp dan email ke semua ortu Indonesia. Yasmin yang tekun meng-update database ortu dari Indonesia berperan dalam komunikasi virtual. Indah sendiri mengambil bagian sebagai pihak ortu yang menominasikan nama saya. Setidaknya ada 25 keluarga Indonesia di MPS disarankan untuk mencentang nama saya dalam ballot.“  

Begitulah, atas dukungan komunitas ortu Indonesia di MPS, kemudian nama saya terpilih menjadi anggota baru School Council. Mulai ikut pertemuan dengan Kepala Sekolah, Wakasek, Kepala TU, dan 6 wakil orang-tua siswa yang lain. Ikut merasakan betapa santai dan egaliter, namun efektifnya rapat yang hanya 1 jam. Tanpa formalitas sama sekali. Dari niat ikut memperjuangkan shalat dhuhur, saya malah ingin ikut terjun di seksi kurikulum. Kapan lagi dapat kesempatan melihat sistem pendidikan Australia dari dalam kalau bukan sekarang saatnya?

Musim gugurpun telah tiba, dan daylight saving berakhir. Sms Diana ke semua ortu mengingatkan kami untuk membawakan sajadah bagi anak-anak, pada hari pertama masuk sekolah di term 2, tanggal 15 April yang lalu. Timbul pertanyaan kembali. Apakah kami, para ortu, akan bertanya (menagih janji) kepada John? Apakah ini tidak akan memberi kesan ‘memaksakan kehendak’? Akhirnya obrolan virtual berujung pada pemberian kepercayaan kepada anak-anak yang lebih besar. Biarlah mereka yang secara alami menanyakan kepada John. Faiza, Qoni, dan Aqila, para gadis kecil putri Diana, Indah, dan Yasmin, adalah segelintir anak yang memiliki bakat kepemimpinan yang unggul. Mereka baru duduk di grade 4, tapi sudah tahu cara bernegosiasi. Merekalah yang maju ke John, tanpa campur tangan ortu, untuk menanyakan di mana teman-teman mereka bisa shalat nanti.  “I just remembered,” begitu keterkejutan John ketika ditemui tiga anak ini. Spontan John menyiapkan kantornya untuk tempat shalat, untuk hari pertama saja. 10 anak berhasil shalat dhuhur bersama. Esoknya, lokasi berpindah ke ruang kosong di kelas anak-anak Prep, dan 15 anak ikut shalat berjamaah, diimami bergantian oleh anak laki-laki dari grade 3 atau 4. Guru-guru Adzra di Prep menyediakan diri mengawasi jalannya shalat agar berjalan tertib. Kami para ortu hanya memantau melalui obrolan sepulang sekolah. Adzra kadang ikut, kadang bilang  “I forgot,” tapi bisa jelas memberi laporan siapa saja yang dia lihat ikut shalat. Diana malah membujuk Adzra untuk jadi motivator di kelasnya. “ayo ajak Sarah, Nadia, Alifia.” Diana turut menghadiahkan selembar jilbab biru untuk Sarah, teman Adzra yang tinggal satu kompleks dengan saya. Dan ini diikuti Adzra dengan membawakan jilbab buat teman lain yang tidak pakai jilbab di sekolah. Bangganya kemudian ketika dia bilang, “Sarah tadi ikut shalat sama aku, tapi Nadia masih belum mau.”

Ketika rapat School Council berlangsung minggu lalu (dan saya tidak bisa ikut), saya mendengar kabar gembira dari Diana. John sangat mengapresiasi semangat anak-anak. “They’re extremely beautiful. We should have more children like them.” Bagaimana bisa anak-anak usia yang belum belasan tahun bisa tertib melakukan wudhu dan shalat bareng dengan satu komando, tanpa kekacauan sama sekali. Mungkin begitu pikirannya. John tidak tahu bahwa anak-anak sudah dilatih dalam keseharian, termasuk bagaimana menjaga wudhu, sehingga tidak harus lepas kaos kaki bila harus berwudhu lagi. Maklum, toilet di sini hampir selalu kering. Di sisi lain, semakin banyak guru yang menawarkan diri untuk mengawasi jalannya shalat.

Kabar gembira ini disebar-luaskan via sms ke semua orang-tua, dengan harapan semangatnya tetap terjaga. Saya menyempatkan diri berterima-kasih kepada John atas kesempatan yang diberikan selama 2 minggu berjalan ini. Saat buyaran sekolah, ketika John ikut mengawasi anak-anak yang masih main di playground, saya dekati dia. Komentar John tetap sama, “they’re extremely beautiful.” Tapi kemudian dia tambahkan, “let’s just keep it local for the time being.” Saya paham, kesempatan ini memang untuk sementara hanya diberikan kepada komunitas muslim Indonesia saja. Sudah ada tanda-tanda beberapa anak Middle East yang ingin gabung, tapi terpaksa harus ditolak. Menurut Nadine, ketua komite yang baru, tidak fair juga bila nantinya komunitas muslim dari negara lain ingin bergabung. Sekolah perlu mengantisipasi jalan keluarnya. Padahal tahun lalu, Nadine termasuk yang bersuara keras menentang kepentingan shalat berjamaah ini.  

Bayangan kekacauan yang dicemaskan tahun lalu ternyata dengan mudah diselesaikan dengan hanya memberikan ruang shalat. Namun bagi saya, ini tidak lepas dari perilaku anak-anak yang ‘sangat santun’ dan patut jadi teladan. Ini pastinya tidak lepas dari didikan orang-tuanya sendiri, karena karakter tidak terbentuk dalam sekali tepukan tangan. Di sinilah saya harus mengacungkan dua jempol kepada teman-teman saya. Di tengah hiruk pikuknya mereka mengatur waktu studi, bekerja, mengurus keluarga, perhatian mereka terhadap ibadah anak-anak tidak pernah kendor. Bukan hanya anak-anak mereka sendiri, namun anak-anak muslim Indonesia yang menjadi teman-teman anak mereka. Bahwa ada ganjalan-ganjalan personal, seperti ‘tidak terimanya’ John terhadap keputusan menunjuk anak laki-laki sebagai pemimpin shalat, dan bukannya Faiza, Qoni, atau Aqila, yang melakukan koordinasi dengan rapi, itu tidak/belum harus dijawab sekarang. Ideologi kesetaraan gender a la Barat memang tidak selalu bisa secara mentah ditempelkan pada ajaran Islam.

Menjadi bagian dari minoritas seperti sekarang ini membuat saya semakin sadar bahwa pemberian makna akan selalu mengundang kontestasi dan negosiasi. Shalat, yang dulunya saya maknai sebagai ritual agama, sekarang berkembang menjadi politik identitas. Shalat menjadi semakin kaya makna, sebagai identitas religius di tengah deru kebebasan beragama/tidak beragama, identitas kebangsaan di hadapan komunitas muslim lain, dipertanyakan keharusannya dalam kerangka regulasi pemerintah setempat, dicemaskan potensinya dalam menimbulkan ‘kepanikan,’ dan dinegosiasi untuk mencapai win-win solution. Apabila sekarang ini kami sedang sejenak menikmati ‘zona nyaman,’ itu tidak boleh diartikan bahwa perjuangan telah usai. The real journey is about to beginThe journey of self-discoverywhich is the hardest of all.

Thursday, April 11, 2013

Sekilas Pendidikan Karakter di Australia

Beberapa bulan terakhir para pelaku pendidikan di tanah air ramai berwacana tentang Kurikulum 2013. Pro dan kontra mewarnai obrolan di berbagai milis dan tulisan di media massa. Ada yang mengatakan bahwa kurikulum baru ini 'mengantarkan siswa ke surga' karena saking saratnya muatan etika dan budi pekerti di dalam sebagian besar kompetensi dasar. Sikap-sikap yang banyak disebut antara lain adalah jujur, peduli, patuh, bertanggung-jawab, proaktif, responsif, dan lain-lain. 

Bahwa pendidikan karakter sangat penting mewarnai proses belajar mengajar, tidak ada yang menyangkal. Namun seringkali kita, para pendidik, lupa bahwa pemilihan materi dan metode pembelajaran yang kita gunakan sebenarnya amat penting untuk menanamkan budi pekerti. Saya mempertanyakan seberapa perlu sebuah kurikulum menyebutkan sederetan karakter untuk dicapai dalam daftar kompetensi dasarnya. Dilihat dari kacamata orang awam saja, susah membayangkan bagaimana cara mengukur pencapaian sikap-sikap luhur di atas. Namun anggap saja ini sebuah kerangka yang bagus. Pertanyaan berikutnya adalah seberapa upaya pelaku pendidikan memastikan bahwa kerangka itu diterjemahkan dalam materi dan proses belajar mengajar. Tentu saja kita belum memperoleh jawabannya, karena buku pegangan yang disusun Kemendikbud juga belum bisa dinikmati isinya. 


Ada beberapa hal menarik saat saya membaca draft kurikulum 2013, terutama untuk tingkat SMA/MA. Di mata pelajaran Sejarah Indonesia, misalnya, berkali-kali disebutkan Kompetensi Dasar "Berlaku jujur dan bertanggung-jawab dalam mengerjakan tugas-tugas pembelajaran sejarah." Kira-kira kalau kita tanyakan makna KD ini kepada 10 guru, apakah kita akan memperoleh interpretasi yang senada? Apakah ini berarti siswa tidak mencontek, tidak lirak-lirik, tidak mau menerima bocoran kunci jawaban pada ujian apapun? Ataukah ini bisa diartikan bahwa siswa bisa jujur dalam mengungkap kebenaran fakta sejarah, meski mungkin versinya berbeda dari buku teks? Apakah gurunya sendiri juga jujur dan terbuka dalam menyampaikan materi dari berbagai sudut pandang, ataukah mengikuti kebenaran sejarah versi buku teks? Pertanyaan-pertanyaan menggelitik ini layak dicobakan dalam sebuah survey atau bahkan penelitian. 


Contoh satu KD di atas menyiratkan bahwa dunia pendidikan adalah gelanggang politik budaya. Kurikulum bisa dipandang sebagai produk budaya. Dengan sendirinya, produk itu dihasilkan, direpresentasikan, diresepsi, dan diregulasi secara berbeda. Di sini kita bisa jelas melihat bahwa hubungan kekuasaanpun ikut bermain dalam dunia pendidikan, tidak hanya pada tataran kurikulum, namun bahkan pada tataran materi mana yang layak diberikan menurut versi pemerintah. Tidak ada yang salah memang, karena penguasa di manapun akan selalu berupaya untuk melakukan regulasi. Pertanyaannya berikutnya adalah, seberapa upaya guru menjadi agen yang bisa menyiasati regulasi itu. Kalau misalnya ada fakta-fakta sejarah yang disembunyikan kebenarannya di dalam buku teks, seberapa upaya guru untuk memberikan informasi yang berimbang di depan kelas? Tanpa sadar, KD yang nampaknya indah itu bisa menjadi bumerang bagi  pemerintah sendiri. 


Di milis Ganesa, mas Eko Prasetyo termasuk yang getol menulis cerita sejarah dari versi yang berbeda. Kisah yang bergulir sebenarnya tertulis dalam buku-buku yang beredar di pasaran. Tapi apakah pemerintah mendorong kisah-kisah ini diungkapkan dalam buku sejarah versi yang resmi. History is His Story after all. Sejarah adalah benar menurut versi yang mengungkapkannya.  



Ada satu pengamatan tentang pembelajaran Sejarah di SMA di Australia, yang menurut saya layak ditiru. Berdasarkan pengalaman dan pengamatan pribadi, saya lihat ada perbedaan mendasar di sistem pendidikan Indonesia dan Australia dalam menanamkan pendidikan karakter. Kejujuran, misalnya, bisa tercermin dari materi pelajaran Sejarah. Tahun lalu, saat Ganta masih di year 10, dia belajar tentang sejarah orang-orang Aborigine. Dunia tahu bahwa suku Aborigine adalah lembaran hitam sejarah Australia. Dalam materi yang diberikan, saya tidak melihat upaya guru menyodorkan sejarah dalam satu versi saja. Materi diambil dari berbagai sumber yang mewakili perjalanan sejarah, termasuk konflik dan pro-kontranya. Ada artikel di media yang mengkritisi kebijakan pemerintah, cuplikan kebijakan pemerintah, produk budaya berupa novel, film, dan lagu, yang menyuarakan jeritan suku Aborigine. Ada isu tentang bagaimana kebijakan pemerintah untuk mengintegrasikan anak-anak mixed blood (Aborigin + white race) ke white culture mainstream sebelum tahun 1960an. Namun upaya intergrasi ini dilihat sebagai upaya mencerabut anak-anak tersebut dari akar budayanya. Ada gambaran tentang perlakuan diskriminatif birokrasi terhadap orang-orang Aborigine. Tersaji pula perubahan kebijakan pemerintah Australia setelah tahun 1970an dengan memberikan prioritas terhadap Aborigine dalam hal akses pendidikan, kesehatan, dan pelayanan sosial yang lain. Saya ikut menikmati hampir semua materi pelajaran Ganta. Ikut menonton filmnya (Rabbit-Proof Fence), dan melihat rekaman video Ganta dan teman-temannya kita menyanyikan lagu bertema Aboriginal identity. Kesan saya: ada semangat kejujuran yang jelas dalam mengajarkan sejarah hitam bangsanya sendiri, tidak malu menunjukkan kesalahan bangsa, namun disertai upaya untuk memperbaiki kesalahan masa lalu.

Dengan materi dan cara penyampaian seperti itu, ketika kemudian siswa belajar sejarah bangsa lain, yakni American slavery dan Nazi, ada perspektif berlapis yang bisa ditangkap oleh siswa, bahwa tiap bangsa punya lembaran hitam yang perlu diakui dan disertai upaya memperbaiki.

Ganta menikmati pelajaran History, meski di year 11 sekarang ini dia tidak memilihnya sebagai bagian dari VCE. Kata dia, belajar History di sini seperti membaca cerita, dan tidak pakai hafalan nama dan tahun. Meski tes-tes yang diberikan selalu dalam bentuk essay, dia juga cukup menikmati, karena jawaban dinilai berdasarkan pemahaman konsep dan critical and reflective thinking. 

Bagaimana dengan pelajaran Sejarah di Indonesia? Dalam banyak hal, lembaran hitam bangsa kita masih jarang diajarkan dengan semangat kejujuran. Materi yang sekiranya tidak sesuai dengan sejarah versi penguasa akan ditarik dari peredaran. Tes yang diberikan jarang sekali menggugah siswa untuk kritis. 

Dalam hal pendidikan pekerti, ada hal menarik yang saya lihat dari anak-anak sesama teman Indonesia yang duduk di Primary School. Setiap minggu selalu saja ada siswa yang mendapatkan penghargaan Pupil of the Week untuk kategori the most helpful, the most responsible, dsb. Tapi saya belum pernah melihat pengumuman nilai atau ranking akademik terpampang di dinding. Dan rapotpun sebenarnya lebih dalam bentuk deskriptif, tentang kekuatan, progress, dan hal-hal yang perlu diperbaiki (tidak disebut sebagai kelemahan). Efeknya, anak merasa memperoleh penghargaan atas kemampuannya sendiri, dan tidak dibanding-bandingkan dengan temannya. Ada yang menarik dalam komentar tentang 'kekurangan' siswa. Misalnya, Ganta dinilai cukup bagus dalam menuangkan pikirannya dalam bentuk tulisan. Tapi akan jauh lebih baik bila tidak terburu-buru dalam mengerjakan tugas. Saya tahu model Ganta yang suka mepet bila mengerjakan PR. Intinya sebenarnya: jangan suka menunda tugas, krn hasilnya kurang maksimal. Tapi cara penyampaian yang positif membuat siswa tetap dihargai.

Saya jadi mengingat kembali saat mengambil rapot Ganta di SMA nya di Surabaya dulu. Wali kelasnya menunjukkan nilai sikap 'Tanggung-jawab' yang cuma C, dengan wajah yang kurang ramah. Gara-garanya, ada beberapa tugas mata pelajaran yang belum dikumpulkan. Kalau tugasnya dikumpulkan, nilainya bisa diperbaiki jadi B. Pikir saya saat itu, begitu mudahnya memberikan label pada siswa. Karakter direduksi menjadi huruf A, B, C yang bisa diganti dalam waktu singkat. Agaknya terlupa bahwa label 'kurang bertanggung-jawab' masih akan melekat di benak anak meski nilai di rapot sudah diubah.

Sebagai pendidik, saya melihat banyak hal yang perlu dibenahi dalam praktek pendidikan di Indonesia. Diperlukan perubahan sistem pendidikan, namun yang lebih penting lagi, perlu perubahan revolusioner dalam proses belajar mengajar di kelas. Di sinilah interaksi guru dan siswa amat berperan dalam membentuk karakter siswa. Apakah Kurikulum 2013 akan mampu menjawab tantangan ini?

Tuesday, April 09, 2013

Membiasakan Literasi sejak Dini

Kapan dulu saya datang ke sekolah Ganta untuk 'rapotan.' Seperti pada umumnya di luar negeri, orang-tua bisa ketemu dengan masing-masing guru mata pelajaran selama 5 menit. Guru yang pertama saya temui adalah guru ESL-nya. Saya tahu bahwa selama term 1 di Year 11 ini, Ganta 'sibuk' membaca novel I'm Not Scared karya penulis Italy Niccolo Ammaniti. Dia juga nonton filmnya di kelas. Komentar gurunya, 'I know that Ganta is not a reader. But for a person like him, his report is quite good.' 

Saya suka gemes dengan Ganta yang suka menunda baca bab-bab yang ditugaskan. Dan dia juga tahu berapa kali ibunya ngomel agar lebih banyak baca, baca, dan baca. Padahal jaman kecil dulu, kebiasaan dongeng juga rutin saya lakukan. Kalau pas liburan juga sering saya kasih tugas baca dan buat summary. Itu jaman SD dulu, pas masih rada nurut. Jaman SMP dan SMA, nge-band dan dolan lebih banyak menyita hari-harinya.

Saat mulai sekolah di sini, saya mensyukuri (baca: Gan, kapokmu kapan) 'pemaksaan' kegiatan membaca di sekolah. Mas Eko Prasetyo, teman di milis Ganesa bilang, membaca kadangkala memang harus dipaksakan. Saya mengamini pendapatnya, karena memang ada dampak positifnya. Selama 1 tahun sekolah di Melbourne, yakni sejak di Language Centre selama 20 minggu, 2 term di year 10, dan 1 term yang baru usai di Year 11, setidaknya Ganta dipaksa membaca sekitar 5 simplified novels dan 3 unabridged novels. Meski tidak semuanya klasik, tapi sudah masuk kelas sastra berkualitas, seperti The Pearl-nya John Steinbeck dan Animal Farm karya George Orwell. Di mata ibunya yang rada melek sastra, tugas-tugasnya juga membuat saya bertepuk tangan. Nulis summary, report, analysis, interpretation, dan whatever-lah, yang biasanya menjadi bagian dari tugas yang saya dan teman-teman berikan di jurusan Bahasa dan Sastra Inggris Unesa. 

Apa Ganta keponthal-ponthal? Untuk pahami ceritanya sih gak sampai gulung kuming, tapi bahwa dia harus membiasakan baca detil dan cari quote di novel untuk support analisis tentang tema tertentu, ini yang buat dia harus membentuk kebiasaan baru. Barangkali abot juga untuk model kayak Ganta, hasil pendidikan di Indonesia yang praktis tidak membudayakan literasi, bahkan di pelajaran Bahasa Indonesiapun. Di sini, Ganta harus teliti membuka halaman per halaman novelnya. Kadang dia harus menelan egonya (maklum anak remaja) dengan tanya-tanya ibunya. Tapi membaca summary dan analysis yang pernah dia buat sampai 3 halaman, tak urung saya membatin, 'eh, anakku boleh juga nih.' 
 
Saya selalu mencari cara agar Ganta membaca di luar yang diwajibkan sekolah. Pernah suatu saat dia tanya, 

Ganta : Ibu' dulu pakai language program gak?
Aku         : Nggak
Ganta     : Waktu di Texas?
Aku         : Nggak, begitu datang langsung kuliah.
Ganta     : Kok ada teman-teman ibu' di sini sik ikut English program lho?
Aku         : Yo be'e TOEFL-nya sudah bagus.
Ganta     : Berarti ibu' pinter
Aku         : Ya yok apa lo jaremu?
Ganta     : Kok iso pinter gitu?
Aku         : (Kesempatan) Merga senang MACA!
Ganta     : (Lempar bantal ke ibunya)

Tidak semudah membalik tangan memang, tapi setidaknya buku sudah diliriknya (meski belum tentu dibaca tuntas). Saya kira ini karena pembiasaan literasi yang diterapkan di sekolah. Bagaimanapun bedanya minat Ganta sekarang yang lebih ke musik, setidaknya semua mapel yang dia ambil (Music, Media, English, Psychology, Biology, Indonesian as First Language) lumayan membuat dia lebih banyak baca dan nulis report

Di kelas Media, gurunya bilang bahwa sebenarnya mapel ini mirip dengan English. Katanya, 'if a student finds literature too hard in English class, then they will like Media.' Saya nggak heran juga, wong memang sekarang ini saya lagi menekuni Media and Cultural Studies. Gak heran juga kenapa Ganta suka mapel ini, karena banyak nonton dan review film dan belajar digital production

Saya sering ditanya/setengah dicurhati oleh teman-teman sesama mahasiswa dari Indonesia, terutama anak-anak Master. "Kenapa ya mbak, anak-anak sini enak dan lancar aja kasih pendapat dan me-review bahan bacaan yang lagi dibahas. Kita mau ngomong mikir dulu, gimana caranya ngomong, apa yang harus ditulis, belum lagi perasaan 'penting nggak ya yang mau saya sampaikan. Eh, ternyata anak-anak sini jawabannya ya sebenarnya gitu-gitu aja, yang kita sebenarnya sudah tahu." Saya tahu benar perasaan seperti ini. Saat sekolah S2 di Texas dulu, rasa yang sama sering menghantui. Apalagi di jurusan Literature yang saya ambil saat itu, jumlah mahasiswa internasional tidak pernah melampaui angka 3. Di semua kelas yang pernah saya ikuti, praktis saya satu-satunya mahasiswa internasional. Pernah suatu saat di kelas Medieval literature, kami membahas dan berlatih membaca keras 18 baris pertama dari The General Prologue karya Chaucer. Bahasanya middle English yang buat lidah keriting. Eh, ada teman sekelas yang malah bilang bahwa karya itu menjadi bahan wajib di SMAnya dulu. Glodak!

Kalau mau merunut pembiasaan literasi sejak di bangku sekolah, saya jadi nemu jawabannya. Di tulisan sebelumnya saya bicara tentang tentang Home reading sejak Prep-Year. Sorenya saya ngobrol dengan mbak Diana, teman PhD, dosen Psikologi dari UGM. Anaknya satu sekolah dengan Adzra, dan yang gede sudah Year 4, sementara adiknya Year 1. Mereka tinggal di sini 1 tahun lebih awal daripada saya. Nah, menurut mbak Diana, yang juga getol dengan dunia anak, Home Reading untuk Year 2 ke atas sudah tidak lagi diwarnai dengan award sticker sebagai tanda pencapaian (25 books, 50 books, 100 books, dst). Anak-anak tingkat atas sudah diberi tugas report writing. Mereka menuliskan character, theme, setting, plot, dan elemen-elemen penting dari buku yang sudah dibaca. Weleh, lha tugas model begini baru dikenalkan ke mahasiswa semester 1 di jurusan Inggris, di sini sudah dimulai sejak SD. Pantes saja anak-anak lokal sudah nglonthok dengan tugas book review!

Hmm, saya kok merasa PR saya nanti saat pulang semakin panjang ya! Tugas tambahan: membuat anak-anak (tetangga, ponakan) terbiasa dengan dunia baca tulis yang membebaskan interpretasi.

Friday, April 05, 2013

What does no bedtime story mean to us?


Pendidikan adalah proses membentuk kebiasaan (habit formation). Secara konseptual, kita semua sudah pada tahu bahwa membaca dan menulis itu penting untuk menumbuhkan kecintaan anak pada dunia literasi. Tidak ada satupun hasil penelitian (yang sempat saya baca) mengatakan sebaliknya. Namun barangkali kita masih kedodoran di tataran strategi dan teknik. Apakah ini di tataran pendidikan formal ataupun kebiasaan di rumah. Seberapa tinggipun encouragement yang berikan pemerintah, kalau anak tidak dipaparkan pada buku dalam hidupnya sehari-hari, akan alot juga prosesnya. 

Karena lagi melakukan studi tentang literasi, dan juga karena keingin-tahuan saya tentang bagaimana literacy program berjalan di tingkat pendidikan paling bawah (baca: SD), akhirnya saya berupaya mencatat setiap detil agenda sekolah anak-anak saya. Ini salah satu yang barangkali bisa kita tiru. 

Saya pernah bercerita bahwa Adzra, anak saya yang di Prep year, selalu membawa pulang 1 buku di dalam blue bag-nya untuk home reading. Ada lagi sebenarnya 'PR' orang tua, selain membimbing anak membaca buku yang dibawa dari sekolah itu. Di luar buku yang dipilihkan gurunya untuk PR membaca, sekolah juga ingin mengajak orang tua dan anak mencatat kebiasaan membaca buku yang tersedia di rumah , entah itu buku cerita, pengetahuan, dll). Anggap saja paling gampangnya, bagaimana kebiasaan bedtime story reading masing-masing keluarga. Untuk itu, sekolah menyediakan buku catatan Home Reading Untuk yang ini, no strings attached. Alias, sak karep orang tua. Gak dinilai, meski guru akan memberikan komentar secara berkala tiap bulan.  

Jadilah sejak Day One, tiap malam atau pagi sebelum sekolah, saya isi kolom kecil di buku itu dengan judul buku, komentar saya dan Adzra tentang isi buku, dan apresiasi Adzra tentang buku itu (dlm bentuk smiley). Saya anggap ini sebagai sarana mengamati diri sendiri, apakah saya sisihkan waktu untuk mendongeng tiap hari, merekam resepsi Adzra, bagaimana proses interaksi kami, apakah saya yang selalu mendongeng, ataukah Adzra ikut ambil peran membaca ceritanya melalui gambar. 

Guess what, dalam waktu 2 minggu pertama, melihat lengkapnya kolom harian saya isi, rasanya seperti pencapaian luar biasa bagi saya. Ternyata dalam waktu 14 hari saja, sudah 14 cerita berbeda yang kami baca. Sebagian sudah pernah dibaca Adzra, sehingga dialah yang gantian mendongeng. Rasanya jadi eman ketika lagi ngantuk dan maunya langsung tidur, eh...ternyata Adzra yang malah mengingatkan. 'It's reading time." Kapokmu kapan!

Setelah hampir 1 bulan, tiba-tiba saya mulai hampir kehabisan stock. Buku cerita di rumah sudah terbaca semua. Adzra sendiri yang milih mau baca yang mana. Ketika kemarin saya pinjamkan beberapa buku cerita dari campus library, lha kok minta dibacakan semuanya dalam satu malam. Saya garuk-garuk kepala. Ini tidak lagi urusan tertib mengisi buku Home Reading. Saya sudah harus beli buku lagi untuk mengisi rak buku Adzra. Dia malah sudah punya sense of belonging. This is my library and that's your library, mommy.




Adakah ini berpengaruh pada kepercayaan diri anak? Yang saya lihat sih begitu. Pas hari terakhir sekolah, kebetulan ortu diundang datang mengamati proses belajar mengajar di kelas. Kami cukup berdiri di sekitar atau duduk di bangku, sementara anak-anak duduk lesehan di karpet. 3 gurunya tetap berinteraksi seperti biasa, tanpa merasa 'diawasi' oleh ortu. Menjelang school term holiday (selama 2 minggu ini), Kerry, salah satu gurunya, berpesan kepada anak-anak. 
"Remember, during the holiday, you do more reading, and more reading, and more reading. Who reads books everyday with your Mom or Dad?"  Adzra dengan pede-nya mengangkat tangannya. 

Lha apa tidak semua orang-tua melakukannya? Yah, yang wajib saja seperti membaca buku dari sekolah belum tentu dijalankan, apalagi anjuran Home Reading. Darimana saya tahu? Ternyata beberapa ortu yang malah tidak melongok isi 'blue bag' anaknya. Ada yang malah baru tahu ketika saya iseng tanya. Di sisi lain, saya mengenal teman-teman Indonesia yang sangat tinggi perhatiannya terhadap program ini. Ada yang rutin mengajak anaknya ke city library untuk membaca dan memborong buku pinjaman. Ada yang teratur melakukan pencatatan, sampai akhirnya bisa mencapai 500 buku yang telah dibaca anaknya dalam kurun waktu kurang dari 2 tahun di sini. Teman-teman seperti ini bisa dipastikan punya koleksi buku cerita yang bejibun di apartemen masing-masing. 

Untuk sebagian yang masih belum terbiasa dengan program bedtime story, saya kurang tahu mengapa. Entah karena ortunya sudah sibuk dengan urusan studi masing-masing atau alasan lain, harus saya 'teliti' lebih jauh, kalau saya mau. Tapi saya maklum juga sih, wong anak Prep memang gak ada pelajaran apa-apa kecuali literacy dan numeracy. Maksudnya, tidak ada buku pelajaran apapun yang harus dibeli. Mungkin ortu menjadi tidak terbebani seperti ortu di Indonesia. Tas anak kelas 1 SD di tanah air mungkin sudah berat berisi buku paket dan LKS. Di sini, setiap pagi, tugas orang tua 'hanyalah' memasukkan bekal makan siang di dalam tas anak. Urusan tulis-menulis dan menggambar atau apapun sudah ada di sekolah. Bisa dibayangkan, kalau ortunya tidak terlalu 'ngeh' dengan kebiasaan membaca, malah bisa ongkang-ongkang membiarkan anak bermain di rumah. 

Pada akhirnya, semua kembali kepada orang-tua. Tapi saya jadi tertarik mengamati lebih jauh. "What does no bedtime story mean to us?" Saya lagi merasa dikompori oleh satu artikel yang berjudul What No Bedtime Story Means: Narrative Skills at Home and School oleh salah satu pakar literasi, Shirley Brice Heath. Mungkin ini satu kajian yang bisa saya lakukan nanti kalau sudah selesai studi. Atau ada yang tertarik melakukannya sekarang?