Monday, September 23, 2013

Kemo Kedua: Mulai Terbiasa dengan Pola

Alhamdulillah pasca kemo kedua ini jauh lebih baik. Setelah kejadian masuk RS karena infeksi dan imun hampir nadir di pasca kemo 1, akhirnya Catherine, oncologist yang menangani aku sejak awal, mengundurkan jadwal kemo kedua. Agar bisa pulih dulu. Untuk kemo kedua, dosisnya diturunkan 10%, dan ditambah suntikan immune booster. Jadi pada hari ke 2-8 pasca kemo, aku suntik sendiri obatnya. Pastinya setelah diajari di RS. Suntikan ini mahaal banget. Aku bilang ke dokternya kalau gak punya duit cukup. 1400 dolar untuk kemo 2 dan 3 saja. Alhamdulillah akhirnya digratiskan untuk kemo kedua. Berkah Allah memang tidak bisa disangka-sangka. Belum tahu nanti hitungannya untuk kemo 4-6, karena terapinya beda, dan pindah ke RS lain. 

Bagaimana efek samping selama kemo kedua ini? Hari 2-5, rasa mual tetap sama seperti kemo pertama, tapi tidak terlalu drop lagi. Alhamdulillah, ketika cek darah di hari ke 9, hasilnya bagus. Aku sih tetap hati-hati juga, karena lebih gampang capek.

Tapi senang banget bisa lebih banyak beraktivitas. Bisa ngampus meski sebentar. Bisa jauh lebih banyak nulis, bisa menghirup udara musim semi di taman sambil barbeque-an, bisa nonton konser Ganta (baca di sini). Pokoknya serasa seperti hari-hari sebelum kemo dulu. 

Masalah perasaan, aku juga insya Allah sudah tidak terbebani. Dibawa ringan saja dan tetap patuh protokol. Rambutku sudah habis juga (tepatnya digunduli sekalian). Kata Ganta, malah enak, ngirit shampoo. Hehe. Minggu ini aku mau ngejar target selesaikan bab 3 yang tertunda terus final drafting-nya. Minggu depan jadwal kemo ketiga. Semoga tidak ada tanggungan lagi. 

Oh ya, aku lagi kesengsem sama juice mixed carrot, apple, and  tomatoes. Ada teman yang kasih tahu bahwa kakaknya dulu juga kena kanker payudara stadium lanjut. Gak mau dikemo. Diterapi sendiri minum juice ini. Setahun kemudian, sel kankernya sudah hilang. 

Aku mau tetap lanjut terapi konvensional via kemo dan terapi Herceptin. Tapi juice buah dan tahitian noni juice akan tetap kuminum tiap hari. Semoga Allah memberikan kesembuhan. 


All is well. All is well (Rancho-3 idiots mode on).

Tuesday, September 17, 2013

MENONTON GANTA MANGGUNG

Akhirnya keturutan juga nonton Ganta manggung. Bermain musik. Sudah beberapa kali Ganta terlibat dalam acara musik di sekolah, waktunya tidak pas buat saya duduk di antara penonton.

Tadi malam menjelang pukul 18.30, setelah maghrib, kami berempat, mas Prapto, aku, Ganta, dan Adzra berangkat menuju Mooney Valley Clocktower Centre. Malam ini adalah gelar Brunswick Secondary College (BSC) Music Concert 2013. Ini adalah acara tahunan sekolah Ganta, dan diadakan di gedung teater terdekat. Cuma 10 menit dari sekolah. 

Sebagai acara rutin, konser musik ini adalah ajang unjuk kemampuan para siswa dan guru di Music Department. Siswa yang mengambil mata pelajaran Music dan mereka yang ikut ekskul musik ikut ambil bagian.Mulai yang ekskul alat instrumental sampai olah suara. Mulai siswa year 7 sampai year 12. Sebagaimana umumnya di Australia, Secondary College memang tingkat sekolah SMP dan SMA dalam satu lokasi. 

Ganta sendiri ada di kelompok VCE Unit 2 Rock Band. Kelompok siswa dari kelas 11 yang mengambil mapel Music sebagai bagian dari VCE (Unas) nanti. Selain Ganta, ada 2 siswa Indonesia yang juga ikut tampil. Saskia, year 7, dan Sarah, year 10. Mereka berdua tergabung di Brunswick Voice, kelompok paduan suara. Secara kebetulan juga, kami bertetangga satu area, dan para bapaknya satu tim kerja di restoran di kampus Unimelb.

Sebagai sebuah konser musik tingkat sekolah, acara ini layak diacungi jempol dari sisi program yang ditampilkan. Nampak sekali bahwa sekolah memberikan perhatian tinggi pada pengembangan bakat dan kemampuan musik. Ada 14 penampilan yang kami nikmati selama 1.5 jam. Semua genre musik terwakili. Ensemble berbagai alat musik bisa dinikmati. 

Acara dibuka dengan concert band yang memainkan musik rancak a la Mexico. Lengkap dengan sombrero yang bertengger di kepala para pemain di baris belakang. Diikuti dengan permainan piano solo yang ciamik soro. Pianisnya, Lulu Tian, nampaknya anak Vietnam, memainkan satu komposisi Chopin. Saya bisa menikmati musik klasik, meski sampai mengenal detil komposisinya. Dan Lulu memainkan tuts piano sambil meliuk-liukkan badannya, mengikuti irama yang bergerak dari lembut sampai cepat sekali. Para penonton seperti dibius karenanya. Sang pianisnya sendiri sudah mulai dapat banyak tanggapan dari luar sekolah karena kepiawaiannya.

Kelompok suara diwakili oleh Brunswick Voice dan Vocal Solo, serta grup A capella. Kelompok suara ini banyak menampilkan lagu-lagu pop kontemporer yang cukup ramah di teliga audience. Dari kelompok instrumental, permainannya sedikit berat, kecuali guitar solo yang membawakan nada Can You Feel the Love tonight-nya Elton John. Yang lain adalah musik klasik lewat piano solo oleh Lulu, aliran jazz diusung oleh Saxophone Quintet dan Jazz Combo. Ada juga String ensemble, di mana semua alat musik petik (gitar, bass, cello, biola) memainkan musik swing jazz. 

Aliran rock menjadi jatah siswa kelas 11 dan 12. Masing-masing kelompok VCE ini memiliki rock band. Kelompok Ganta, Year 11 Rock Band, membawakan Can't Stop dari Red Hot Chilli Pepper. Cassie dan Larrisa, personil perempuan, menjadi vokalis. Ganta membetot bas listrik, dan menjadi back vocalist. Tristan, yang sebelumnya bermain gitar solo, kembali tampil bersama kelompok. Dibantu dua personil lain memegang keyboard dan drum.

Year 12 Rock Band tampil dengan dua lagu, sekaligus sebagai penampilan terakhir bagi mereka di ajang musik sekolah. Tahun ini mereka akan Unas, dan komposisi yang ditampilkan adalah bagian dari persiapan mereka untuk final assessment di term 4 nanti. 

Yang menarik di konser ini adalah penampilan para guru musik di BSC. Selain tampil secara terpisah sebagai conductor di konser, atau menjadi salah satu pemain musik dan penyanyi di penampilan lain, para guru juga tampil bersama. Lili, guru vokal, menjadi vokalis, dan 8 guru lainnya masing-masing memegang alat musik. Lengkap, mulai trumpet, seruling, saxophone, gitar, bas, drum, dan keyboard. Tentu saja penampilan para guru ini amat berkelas. Dari biodata yang tercantum di booklet acara, kesembilan guru musik di BSC ini tidak hanya menyandang gelar akademik di bidang musik. Semuanya memiliki pengalaman manggung yang matang di berbagai festival, selain juga ada yang berkarir rekaman musik di jalur indie. 

Penampilan percussion ensemble yang amat rancak dan eksotis menjadi penutup acara. Tapi bagi telinga orang Indonesia seperti saya, ensemble ini lebih suka saya sebut sebagai permainan berbagai jenis gendang, ketipung, dan musik bambu. Suara yang dihasilkan berhasil membuat saya melayang ke kampung halaman. Mengingatkan pada kothekan musik bambu menjelang sahur di jaman kecil saya dulu. Serasa menghadirkan tabuhan gendang a la Dayak atau mungkin Papua. 

Secara keseluruhan, acara konser musik sekolah ini patur diacungi jempol dari banyak sisi. Penampilan musik tiap kelompok yang apik menunjukkan hasil pembelajaran yang cukup lama. Mungkin ada kelompok yang baru intensif latihan seperti grup A capella. Penampilan ini adalah debut mereka. Namun personilnya adalah para penyanyi handal dari Music Dept, termasuk salah satunya, Lili, sang guru vokal. 

Dari segi penyelenggaraan, konser ini amat sangat efisien. Jauh dari segi formalitas. Tidak ada pidato satupun. Yang bicara di panggung hanya MC, salah satu siswa senior. Saya lihat wakaseknya juga datang sebagai penonton. Masuk sama-sama menjelang acara. Acara berlangsung tepat waktu, dan buyar sesuai rencana pertunjukan 1,5 jam. 

Jeda pergantian penampilan berlangsung hanya sekitar 1-2 menit. Pada saat lampu panggung dimatikan, pemain musik keluar panggung lewat sisi kanan, dan dari sisi kiri, tim pendukung naik panggung untuk mengemas properti, kemudian menggantinya dengan properti untuk penampilan berikutnya. Tanpa ada suara gaduh, glodakan, apalagi gojekan. 

Bagaimana dengan penontonnya? Gedung teater yang tidak terlalu luas, dengan tempat duduk seperti di gedung bioskop, dipenuhi para orang-tua dan keluarga pemain musik. Lampu gedung dimatikan di sisi penonton sejak acara dibuka. Lighting hanya tertuju ke panggung. Dari awal acara hingga akhir, tidak ada suara bising orang ngobrol sama sekali. Bahkan suara handohone pun tak terdengar. Semua penonton khidmat menikmati musik yang ditampilkan. Tepuk tangan tentu saja membahana saat menjelang dan selesai tiap tampilan. Tak terlihat lampu kamera berkilatan. Sampai-sampai saya harus hati-hati mengambil video agar tidak mengganggu penonton di sebelah saya. 

Dari segi kualitas musik, sebenarnya anak-anak Indonesia tidak kalah. Kan banyak yang bisa main musik lewat jalur otodidak. Namun yang patut dicatat dari konser ini adalah bahwa pendidikan di sini amat memperhatikan seni dan serius menanganinya. Tentu saja dukungan fasilitas juga tidak main-main. Didukung oleh tim guru yang amat mumpuni. Saya yakin para siswa banyak belajar tentang proses, yang melibatkan kerja keras, kedisiplinan, dan kerja sama. Apapun hasilnya kemudian, apresiasi sekolah dan orang-tua akan selalu menjadi penyemangat.

Saat perjalanan pulang, saya merangkul pundak Ganta. "Well-done, Gan. Ibu bangga deh lihat kamu. PD banget." Tidak heran gurunya pernah bilang saat rapotan, "Ganta is just adorable. Full of enthusiasm. He just never asks me enough." 

Melihat Ganta berproses dengan minat musiknya di tempat yang tepat, saya berharap suatu saat pendidikan di tanah air juga akan ke arah yang sama. Sama halnya harapan saya untuk bidang-bidang lain yang selama ini terpinggirkan. Dengan demikian bidang sains, sosial, seni, bahasa, dan olahraga akan setara di mata masyarakat.

Oh ya, foto-foto konser sudah dipasang di website Brunswick Secondary College. Silakan menikmatinya di sini. Salah satunya ada pose Ganta lagi beraksi. 
  

Monday, September 16, 2013

APA BAHASA INGGRISNYA (MAAF) KENTUT?

Mencari terjemahan kata yang agak saru dalam Bahasa Inggris kadang membuat rikuh . Mau tanya teman biasanya harus agak bisik-bisik. Saya punya cerita tentang bahasa Inggris kata (maaf) kentut dari masa ke masa. Maksudnya dalam sejarah kehidupan saya.

Beberapa minggu yang lalu, tanpa angin dan hujan, Adzra bertanya pada saya. "Mommy, do you know what 'pass gas' is?" Dan seperti biasa, saya balik bertanya, 'what do you think?" Dan sambil senyum-senyum dia bilang, I know what that is. Ngentut." Saya tanya lagi, how do you know that word? "Jawabnya lagi, 'from lalaloopsy. At youtube." Bagi yang belum tahu, lalaloopsy adalah mainan boneka anak perempuan yang lagi ngetrend. Adzra suka nonton videonya di youtube, dan punya beberapa boneka mungilnya.

Padanan lain yang cukup sering kita dengar adalah 'fart.' Kata ini termasuk salah satu bodily noises, di samping burp, yawn, hiccup, dan queef. Saya menemukan video yang amat bermanfaat, dengan penjelasan yang lucu tentang bagaimana menghandle situasi yang memalukan ini di http://www.engvid.com/slang-bodily-noises/. Di video ini, ada definisi yang dianggap lucu dan scaryWhat is a fart? A small explosion between the legs. Hehe, ngeri deh kalau kentut disebut sebagai explosion. Saat saya buka kamus Collins, terjemahannya berbau sains.Emission of gas from the anus. (Kayak asap knalpot aja). 

Kita punya banyak humor tentang kentut ini. Di dalam bahasa Inggris juga ada slang buat fart. S B D = Silent but Deadly, atau S B V = Silent but Violent. Ayo tebak dulu maknanya apa sebelum lihat video di atas.

Tahu nggak, kata angin juga sering dipakai untuk emisi gas ini. Saat saya masuk rumah sakit 1 bulan yang lalu, Jessie, salah satu perawat bertanya (sambil bisik-bisik nyengir). "have you been able to pass wind, Tiwi?" Saya tidak terbiasa mendengarkan kata 'wind' untuk kentut, jadi rada gelagapan. Sampai beberapa detik kemudian saya baru jawab, 'oh yeah, I've passed gas a couple of times already."  Jessie menepuk saya, "Good." Hehe, urusan bisa ngentut buat orang yang habis operasi atau infus termasuk penting lho.

Ada satu lagi terjemahan kata 'kentut.' Yang ini justru pertama kalinya saya terlibat obrolan tentang kentut dalam bahasa Inggris. Awal tahun 1990-an dulu, saat saya masih mengajar di YPIA di Dharmahusada Indah, ada teman guru senior yang amat lucu bila bercerita. Bu Yul namanya. Alkisah, Bu Yul bersama di satu kesempatan dengan teman-teman bule. Saat itu, beliau juga tidak tahu apa bahasa Inggrisnya kentut (dan malu mencari tahu). Saat ngobrol itulah, salah satu teman bule bertanya, "Who did it?," sambil tolah-toleh mencari sumber masalah. Yang beredar di ruangan saat itu adalah bau tanpa ada suara (persis kayak S B D itu). 

Bu Yul langsung menangkap konteksnya. Ada yang baru ngentut (dan belum ngaku). Tuing! Tuing! Ketemulah bahasa Inggris kentut di benak bu Yul. 

"Oh, jadi bahasa Inggrisnya kentut itu DIDID." 

Happy Monday, everybody!

P.S: Don't try to look up the last word in the dictionary.

Sunday, September 15, 2013

MITOS LITERASI

Saya bangun pagi dengan kebingungan. Keraguan akan arah tesis saya. Apakah argumen saya bahwa para buruh migran menjadi sosok yang lebih smart, educated, dan tech-savvy melalui praktik literasi berterima secara ideologis. Jangan-jangan argumen ini malah menghasilkan sebuah sub-teks, di mana TKW yang tidak membaca dan menulis, yang tidak kenal dengan perpustakaan lesehan, yang tidak ikut berdiskusi tentang sastra, adalah TKW yang dungu, terbelakang, dan akibatnya, menjadi sasaran empuk kekerasan majikannya.

Rasa sangsi ini juga dipicu oleh obrolan di milis Keluarga Unesa tentang buku Jangan Tinggalkan Kami. Buku ini adalah kumpulan kisah perjuangan paa guru SM-3T Unesa di Sumba. Mas Satria Dharma, teman milis, memberikan ulasan tentang buku ini (selengkapnya bisa dibaca di sini). Tulisan ini kemudian dikomentari Habe Arifin, yang menganggap bahwa ulasan mas Satria Dharma memberikan gambaran bahwa buku itu ditulis dengan perspektif Jakarta. Amat tidak ramah dengan konteks Sumba dan daerah SM-3T lainnya. Seolah-olah pembelajaran yang dibawa para pendidik SM-3T mengajak siswa untuk berbondong-bondong ke Jawa, yang dianggap sebagai pusat peradaban di Indonesia.

Sebenarnya saya tahu bahwa Habe tidak hanya sekedar paham akan pentingnya pendidikan. Yang dia kritisi adalah pandangan bahwa model pendidikan yang betul adalah yang berpusat di daerah urban. Pendidikan yang seperti ini memang menjadi tidak kontekstual, yang berpotensi menempatkan siswa daerah di posisi subordinat. 

Sama halnya dengan pandangan umum bahwa literasi adalah tiket untuk menjadi masyarakat beradab. Literasi yang menempel erat pada pendidikan formal akan meningkatkan mobilitas sosial seseorang. Dari orang miskin menjadi terpandang di mata masyarakat. Orang yang berpendidikan dan melek literasi adalah sosok yang percaya diri, lebih mandiri, dan lebih siap terjun ke masyarakat.

Tentu saja tidak ada yang salah dengan pandangan itu. Namun nampaknya kita perlu awas untuk tidak terpeleset ke dalam mitos literasi. Konsep di atas cenderung membuat kita membayangkan bahwa literasi adalah proses yang linier, universal, dan satu warna. Pandangan ini pada akhirnya akan bermuara pada ekspektasi kuat dan nilai positif pada individu dan masyarakat. 

Di dalam perdebatan teori literasi, ada yang disebut sebagai The Great Divide. Literasi sebagai model kognitif dan autonomous cenderung diusung bidang-bidang pedagogi dan psikologi. Berbagai teori literasi di kelompok ini menghasilkan gambaran 'the triumph of literacy,' yang ujung-ujungnya adalah mitos literasi. Ada jurang pemisah antara orang yang melek aksara dengan yang buta huruf, yang suka baca dengan yang tidak, yang sekolah tinggi dengan yang lulusan SD. Itu karena literasi dipandang sebagai aksi penyelamatan atas nasib individu dan masa depan masyarakat atau suatu bangsa. 

Di sisi seberang, literasi dilihat sebagai model ideologis, sebagai praktik sosial yang amat kompleks. Di dalamnya tersimpan berbagai jenis literasi yang diasosiasikan dengan berbagai domain kehidupan. Praktik literasi juga dipola oleh institusi sosial dan hubungan kekuasaan, dan dengan demikian sebagian literasi lebih dominan daripada literasi yang lain. Praktik literasi juga memiliki berbagai tujuan yang melekat erat pada tujuan sosial dan praktik budaya, selalu berlangsung dalam konteks sejarah. Yang tak kalah pentingnya adalah bahwa praktik literasi selalu berubah, dan bentuk literasi yang baru diperoleh melalui proses pembelajaran dan pembentukan makna yang informal.

Melihat begitu dinamis dan cairnya praktik literasi di masyarakat, konsekuensinya adalah mengubah arah studi tentang literasi dari setting ruang kelas saja menjadi lebih lebar ke domain lain di masyarakat. 

Bagaimana saya baru mengalami kesadaran ini, sementara secara teoritis sudah saya pahami hampir dua tahun ini? Kemungkinan besar saya terjebak dalam subjektivitas saya sendiri. Bahwa mitos literasi itu bukanlah mitos di mata saya. Secara tidak sadar, kalimat-kalimat di tesis saya selalu ingin bermuara ke sana. Padahal di depan mata saya berkeliaran banyak data yang menyatakan bahwa literasi dipandang sebagai ancaman, literasi bukanlah tujuan di HK. Secara tidak sadar, di mata para TKW yang menulis juga terbentuk dikotomi TKW penulis dan non penulis, yang berpeluang menghasilkan subordinasi di komunitas sendiri. 

Atas kesadaran ini, saya ingin lebih berhati-hati untuk tidak memberikan kesan keliru. Jangan sampai agenda keberpihakan saya terhadap TKW malah menimbulkan keberpihakan pada kelompok tertentu. Para TKW yang tidak berpraktik literasi (baca: menjadi penulis) bisa jadi amat literate dalam kewirausahaan, berkesenian, bermain saham. Sama halnya dengan TKW yang menjadi blogger, TKW yang juga pemain saham mampu merekonstruksi identitas mereka dan memberdayakan komunitasnya dengan cara yang berbeda. Sama halnya dengan sosok-sosok di masyarakat yang di mata kita, dinilai belum melek aksara atau tidak terlalu suka membaca dan menulis. Mereka adalah orang-orang yang bisa jadi amat literate di domain lain. 

Bagaimana kita bisa menghapus iliterasi tanpa 'menghapus' sosok-sosok yang tidak literate? Nampaknya saya harus berharap pada dunia pendidikan. Pembelajaran kontekstual yang sudah lama didengungkan di dunia pendidikan kita perlu menengok kepada kearifan lokal pada tataran yang lebih praktis. Di sekitar kita ada begitu banyak sosok masyarakat yang mungkin buta huruf, namun sangat literate dalam membaca alam, paham bagaimana alam menawarkan remedi untuk penyakit jasmani dan rohani, menguasai life skills yang bahkan tidak diajarkan di ruang kelas, bijak dan menjadi panutan dalam budi pekerti. Pada sosok-sosok inilah anak didik kita perlu belajar. 

Saturday, September 14, 2013

THINKING ALOUD

Beberapa hari yang lalu saya ngobrol dengan mbakyu Lies Amin via milis jurusan. Dari sekedar kangen-kangenan akhirnya berujung (lagi-lagi) ke cerita saya tentang Adzra. Seperti biasa, saya getol berkisah tentang proses literasinya di sekolah dan di rumah. 

Seperti cerita Habe, teman di milis Keluarga Unesa tentang putra keduanya, Kaisar, Adzra juga punya writing projectWriting more and more each day, katanya. Beberapa hari yang lalu di saat baca cerita sebelum tidur, dia malah buat cerita sendiri. Setelah bolak-balik tanya "how do you write this, how do you write that...", ini hasil coretannya:

Once upon a time, a cat in a hat was moving to a new school. A cat in a hat was crying, because she was shy. The end

Di kertas lain, dia nulis kata-kata sambil ngomong sendiri: "I want to find words that rhyme with CAT." (Bergaya mikir). Terus nulis HAT. BAT. RAT. MAT.  Saya sempat amazed juga, seusia gitu sudah bisa bicara tentang rhymes. Sementara saya baru tahu istilah itu semasa kuliah.

Adzra memang suka ngomong sendiri saat main sendirian atau coret-coret. Tentang 'making mistakes' misalnya, sambil nulis-nulis dia omong. "Mommy, if I get it wrong, Ben said I just go on (Ben itu nama gurunya). It's okay. I can fix it later." Kali lain, dia bilang, 'I learn from mistakes, mommy.' (Kayak omongan orang gede aja tuh)

Sekarang lagi belajar nulis lebih rapi, dengan huruf yang nempel di garis. Gitu ya sempat-sempatnya nulis sambil bilang, 'mommy, are they touching the line?' 

Prof. Lies Amin, yang pakar pembelajaran bahasa, memberi komentar bahwa yang dilakukan Adzra adalah thinking aloud. Kalau ketemu Bu Raras, PhD, kolega kami di jurusan, bisa-bisa akan dijadikan subjek penelitian untuk thinking aloud project. Bu Lies juga menambahkan bahwa di tahuan 2000an, thinking aloud jadi trend metode penelitian. 

Mikir sambil ngomong, melakukan sesuatu sambil mengucapkan apa yang sedang dilakukan. Itu kira-kira gambaran thinking aloud. Istilah ini memang bukan pertama kalinya saya dengar. Tapi bahwa pernah menjadi trend penelitian, saya baru tahu sekarang. 

Selama ini, yang saya pahami tentang kebiasaan thinking aloud adalah bedanya peserta Who Wants to be a Millionaire versi Indonesia dan Barat. Para peserta yang duduk di kursi panas di hadapan Tantowi Yahya biasanya langsung menyebutkan pilihan jawabannya. Bila perlu waktu untuk mikir, maka layar TV akan nampak peserta yang lagi mengerutkan dahi, manggut-manggut, atau mungkin kemudian minta opsi 'ask the audience.' 

Sebaliknya, di versi Australia, saya lebih sering melihat bagaimana para peserta memverbalkan proses berpikirnya ketika memilih opsi jawaban. Misalnya saja, untuk pertanyaan Who was the lead singer of the legendary rock band Queen, A. Freddy Mercury, B. Mick Jagger  C. Jack Nicholson D. Elton John, sang peserta bisa mengatakan Ehmm, I'm not really in to rock music. But I know that Mick Jagger is from The Rolling Stones, I don't think Elton John is a rock singer, and Jack Nicholson is definitely not a singer. I'm a movie goer, by the way. So, I'm gonna lock in A. Freddy Mercury.

Dari beberapa referensi yang saya temukan, Thinking aloud method pada awalnya dipakai untuk penelitian yang terkait dengan problem solving. Contoh kuis Who Wants to be a Millionaire di atas adalah contoh ringan bagaimana proses pemecahan masalah lebih mudah dilakukan dengan thinking aloud. Dengan mengenali pola seseorang memecahkan masalah dari thinking aloud itu, kita bisa mengajarkan cara yang lebih cepat untuk memecahkan masalah kepada kelompok lebih besar (siswa misalnya). Bandingkan dengan bila proses berpikir dibiarkan berputar-putar di otak a la kebatinan. Tidak bisa diprediksi tentunya.

Thinking aloud method ternyata dinilai efektif dalam pengembangan literasi, dan termasuk dalam salah satu metode protokol. Dalam reading comprehension misalnya, siswa diamati saat membaca sebuah teks, dan berhenti di tengah-tengah untuk memverbalkan pikirannya dan menunjukkan strategi yang digunakan untuk mengkonstruksi makna. Thinking aloud juga bisa dipakai untuk menilai apakah seorang pembaca mengambil risiko dalam memperolah informasi dari teks, memproses teks secara akurat, menggabungkan informasi untuk mengkonstruksi makna, atau gagal membuat prediksi berdasarkan informasi baru. Dari sinilah perbaikan metode pembelajaran reading bisa dilakukan.

Sama halnya dengan membaca, thinking aloud juga efektif membantu proses menulis. Ketika mas Habe mendampingi Kaisar menulis dengan cara bertanya untuk memancing ide, itu sebenarnya bagian dari thinking aloud juga. Thinking aloud method saat proses menulis sedang berlangsung juga menunjukkan bahwa sebuah tulisan yang bagus tidak langsung jadi, namun melalui proses yang mungkin tidak beraturan di otak. Di situlah proses revisi memang diperlukan. 

Thinking aloud mungkin bisa dilatihkan pada orang-orang yang masih kesulitan menulis. Yang masih beralasan tidak tahu apa yang harus ditulis. Saya tidak tahu apakah teman-teman di milis juga menggunakan metode ini. Saya sendiri tidak, terutama untuk tulisan bebas. Tapi saya jadi tertarik menggunakannya untuk memperlancar proses menulis tesis. Setidaknya, thinking aloud sering tidak sadar saya lakukan, ketika saya ngomong sendiri tentang garapan tesis pada saat memasak atau setrika. Sampai kadang Ganta menyadarkan saya, 'Ibu ngomong apa e?".

Saya punya premis bahwa thinking aloud juga erat kaitannya dengan budaya. Pola asuh kebanyakan orang-tua di Indonesia mungkin tidak terbiasa dengan celotehan anak ketika melakukan sesuatu. Bisa saja ketika seorang anak dengan mengoceh saat membaca atau menulis atau bermain, orang-tuanya malah menyuruh dia untuk diam. Saya pernah punya tetangga yang membentak anaknya, 'wis aja kakehan omong' ketika banyak tanya saat bermain di rumah.

Akan halnya Adzra, nampaknya dia lebih terbiasa dengan model ini. Entah karena dilatih di sekolah, atau karena saya sendiri banyak tanya saat dia baca dan nulis, atau karena lihat acara anak-anak di TV seperti Mister Maker, atau gabungan dari semuanya. Acara ini menayangkan bagaimana Mister Maker bisa membuat berbagai kerajinan tangan dari barang-barang bekas di rumah. Sambil tangan menggunting, melipat, dan menempel, Mister Maker bicara terus, memverbalkan langkah-langkahnya dengan jenaka. Adzra akhirnya suka meniru, dan ingin menjadi Miss Maker. Karena ketertarikan saya dengan thinking aloud method ini, maka saya rekamlah cara Adzra memproses informasi di otaknya saat berlatih menjadi Miss Maker. Ini dia hasilnya:


Wednesday, September 11, 2013

DUL, GANTA, DAN PENEGAKAN HUKUM LALU-LINTAS

Saya mendengar kasus kecelakaan si Dul, anak ketiga artis Ahmad Dhani, ketika Ganta bilang bahwa Dewa 19 mungkin tidak jadi manggung di Melbourne. Ganta sudah pegang tiket, jadi dia menakar apakah keturutan nonton Ari Lasso dan Andra n the Backbone besok Jum'at, 13 September di Melbourne Town Hall.

Saya tidak akan membahas mengapa dan bagaimana Dul yang masih bau kencur bisa lepas nyetir sendiri, di tengah malam, di jalan tol pula. Saya tahu rasanya punya anak remaja tanggung yang bisa naik sepeda motor di usia belasan. Deg-degan ketika wajahnya belum nongol di waktu yang seharusnya. Gak usah jauh-jauh, saya sendiri juga sudah bisa sepeda motor sejak SMP kelas 2. Entah apa bapak ibu saya juga merasakan kecemasan yang sama, meski saya bukan tipe yang keluyuran malam tanpa tujuan.

Jaman saya di SMP dulu, di tahun 1980an, ada sekelompok teman, anak-anak tajir, yang sudah dilepas setir mobil sendiri. Acapkali saya dapat tumpangan gratisan. Entah kenapa anak-anak keren itu kadang mendekati saya. Mungkin saat itu yang bisa saya barter dengan mereka adalah waktu untuk menjadi teman belajar kelompok. Eh jadi ngelantur!

Mengingat teman-teman saya yang lumayan berlimpah materi (dan jadi cenderung permissive), seingat saya, kami tidak mengajari Ganta nyetir mobil sampai ketika dia masuk SMA. Toh itu bukan berarti bahwa dia tidak bisa nyetir. Punya anak yang sosialiasinya tinggi (baca: sering dolan) sudah cukup menjadi penanda bahwa pastilah dia pernah coba-coba setir mobil. Yang bisa kami lakukan saat itu adalah wanti-wanti, tidak boleh setir sendiri di jalan raya tanpa ayah atau ibu di jok kiri. Dan ini harus berlaku sampai pegang SIM sendiri. Dan hak memegang SIM akhirnya keturutan ketika kami pulang ke tanah air Desember lalu, ketika Ganta sudah melewati usia 17 tahun. 

Sejujurnya, pola pikir penerapan hukum di tanah air yang suka acakadut acapkali membuat orang-orang Indonesia di sini jadi gagap. Suka kaget dengan penegakan hukum yang kenceng tapi tanpa kekerasan. Karena kita suka meremehkan pelanggaran kecil ketika di tanah air, ketiak kena batunya di sini, yang muncul adalah omelan. "Cuma gitu aja thok lho!" Tapi tidak ada yang protes atau tawar-menawar. Memang aturannya gitu.

Ketika Ganta sudah pegang SIM yang diterjemahkan, baru sadar dia bahwa usia minimal menyetir di Melbourne adalah 18 tahun. Kami tidak berani main-main dengan hukum di sini. Urusan denda tinggi paling ditakuti. Tentang denda, sudah 2-3 kali kami kena, untuk urusan ini-itu. Satu kali mas Prapto terlambat memindahkan mobil yang diparkir di area 2P. Ini adalah area di mana mobil bisa diparkir gratis, maksimal 2 jam. Kelewat cuma 15 menit, karena saya lagi teler di RS. Toh parking ticket sudah tertempel di kaca mobil. Disertai berapa dendanya, dan ke mana harus bayar, atau kalau mau ajukan appeal dengan alasan tertentu agar dibebaskan. Denda 72 dolar akhirnya harus kami bayar, setelah appeal yang saya ajukan dengan alasan medis dianggap kurang kuat. Ya sudah, memang salah.

Ganta sendiri suka buat kebat-kebit urusan Myki card. Myki ini adalah public transport card yang bisa dipakai untuk naik tram, train, dan bus. Setidaknya sudah 3 kali saya menerima telpon dari HPnya, tapi di ujung sana adalah petugas Public Transport Victoria. Sekali karena dia lupa memperpanjang concession card. Sebagai student, Ganta dapat diskon 50% ke mana saja, asal memegang concession card yang valid. Kena deh denda 70 dolar. Kali lain dia dianggap belum 'touch on' di myki scanner di stasiun. Ketika touch off dan mau keluar di stasiun kota, gate gak bisa buka. Meski dia 'ngengkel' sudah touch on, kalau system membaca berbeda, ya mau bagaimana lagi. Untung sampai sekarang belum ada surat tagihan denda meluncur di kotak pos. Yang terakhir, baru 1 minggu yang lalu, lagi-lagi suara petugas terdengar di HPnya. Saya sudah deg-degan, jangan-jangan dia lupa top up myki-nya. Bepergian dengan saldo myki yang tidak cukup sudah alamat kena denda 200 dolar lebih. Apalagi kalau sudah dianggap usia orang dewasa. Ternyata yang sekarang pelanggarannya adalah 'duduk methingkrang' di kursi train. 

Pembicaraan tentang pelanggaran hukum lalu-lintas termasuk yang paling sering kami lakukan, juga sambil menengok kasus serupa yang dialami teman/tetangga. Menyetir melewati batas kecepatan (meski cuma 5 km/jam di atas batas bisa kena 160 dolar,  lewat CityLink (tol kota) tanpa ijin (karena ketidaktahuan) juga didenda, dan urusan parkir melewati batas waktu adalah yang paling banyak terjadi. Untuk semua kejadian ini, praktis kami tidak pernah berhadapan dengan petugas. Yang kami pelototi adalah surat pemberitahuan dan dendanya. Mau protes boleh, dan ditunjukkan jalurnya. Selama appeal, tidak harus bayar denda. Bila appeal ditolak, ya bayaren. 

Dengan penegakan hukum yang tegas dan sistem yang benar, kami semakin berhati-hati dalam berlaku. Apalagi ini negara orang. Meski kadang harus pakai engkel-engkelan, akhirnya Ganta juga bisa memahami bahwa aturan memang ada untuk diikuti. Toh akhirnya dia sendiri yang kena getahnya. Ibunya juga sih, yang harus bayar denda atau jawab pertanyaan petugas. Benar nggak ini anak ibu? Alamatnya di mana? 

Punya mobil di luar negeri memang enak. Bisa ngirit biaya transpor publik sekeluarga, Tapi aturannya berderet-deret. Kalau punya anak kecil, harus ada child seat. Jangan menyetir tanpa SIM (alhasil saya tidak pernah pegang setir, krn SIM sudah expired), apalagi, pinjamkan mobil ke teman yang gak punya SIM. Kalau mau mengajak teman bareng, harus pastikan berapa seat yang available, baik untuk anak maupun orang dewasa. Gak ada ceritanya kruntelan di jok belakang. 

Ketika kami bersyukur Ganta tak harus sembunyi-sembunyi menyetir sebelum usia ke 18 di sini, di hati kecil ini, kami sebenarnya berharap tidak terjadi gagap hukum ketika balik ke tanah air. Ini sejatinya yang sedang membuat galau teman-teman yang membawa keluarga. Saat pulang kampung tahun depan, atau 2 tahun lagi, anak-anak yang dulunya balita sudah menjadi remaja kecil. Yang dulu lugu, tahun depan sudah akan nyemplung di lingkungan baru. 

Hal yang lama kadang membuat diri terasing. Yang baru sebenarnya sudah pernah ada. Hanya cara pandang yang nampaknya sudah akan berubah. Semoga berubah ke lebih baik. 

Sunday, September 08, 2013

Menjadi Guru Literasi yang Sukses (1)

Pernahkah terfikirkan bahwa sains dan sastra adalah dua sisi dari sebuah koin? Sedangkan Chaucer saja, penyair Inggris abad medieval, memenuhi baris-baris karyanya dengan ilmu kimia dan astronomi. Namun novel The Hard Times karya Charles Dickens justru mempertentangkan antara nilai utiliarianisme yang diusung sains dan estetika dalam sastra. 

Saya termasuk guru yang ingin memasukkan nilai estetika dalam sastra ke dalam sains. Setidaknya, ketika masih sering terlibat sebagai instruktur dalam pelatihan guru-guru RSBI dulu, seringkali saya mengusung karya sastra sederhana yang punya muatan sains. 

Dengan banyaknya hasil penelitian yang mendukung content area literacy, saya semakin yakin bahwa literasi memang memerlukan pendekatan interdisipliner dan kolaborasi guru antar bidang ilmu. 

Mari kita intip satu strategi di bawah ini untuk menjadi guru literasi yang sukses. 

Strategi 1: Kembangkan kemampuan berpikir kritis dan rasional melalui fiksi dan nonfiksi di kelas non-bahasa

Regina Foster menulis tentang praktik pembelajaran yang dia lakukan di kelas sainsnya, dengan memanfaatkan karya sastra mainstream untuk mengembangkan critical thinking dan kemampuan nalar siswanya. Teks dipilih berdasarkan muatannya yang dinilai mampu merangsang dan meningkatkan eksplorasi intelektual. 

Strategi ini dia bagi pada acara the National Science Teachers Association Conference di California pada tahun 2006. Tujuan literasi yang ingin dicapai adalah agar guru tidak sepenuhnya bergantung pada buku teks, dan memberi peluang pemanfaatan buku-buku populer di kalangan siswa. Berikut adalah daftar judul buku yang sudah terbukti berhasil di praktik pembelajaran di kelas sains. 

- My Sister's Keeper karya Jodi Picoult
Novel ini membawa pemikiran kritis atas etika kedokteran, dalam kasus perawatan leukemia seorang gadis remaja, efek kemoterapi, transfusi, dan transplantasi organ. Novel ini digunakan di kelas Biologi, untuk membahas hubungan keluarga dalam menghadapi penyakit seorang remaja, salah satu anggota keluarga. Beberapa bagian dalam novel ini dibahas lebih khusus, sesuai dengan topik bahasan di kelas Biologi.

- Bezoar Stones oleh Corey Malcolm dan Harry Potter and the Sorcerer's Stone karya J.K. Rowlings
Kedua buku ini digunakan di kelas Kimia. Buku yang pertama membahas tentang bezoar stones, sejarah, dan pemanfaatannya. Sihir memang menjadi perhatian utama serial Harry Potter, namun muatan kimianya juga cukup banyak. Bahkan serial Harry Potter dianggap sebagai buku-buku yang memberi peluang sebagai materi untuk memperkaya praktik pembelajaran.

- Gorillas in the Mist oleh Dian Fossey dan Woman in the Mist karya Farley Mowat
Beberapa bagian dari judul di atas bisa dipilih untuk pembahasan tentang lingkungan dan ekologi di kelas Sains. Selain itu, isu-isu politis dan budaya juga bisa ditemukan.

Judul-judul di atas saya sebutkan untuk memancing daftar buku yang lebih panjang lagi. Mungkin kita bisa menoleh ke karya-karya di tanah air. 

Saya cuma ingin mengatakan bahwa literasi bukan hanya urusan disiplin bahasa/sastra. Pengenalan sains bukan hanya tanggung-jawab guru sains. Kalau ingin memulai pembelajaran tematik, ya harus siap berkolaborasi dan bersinergi.

Ingin menjadi guru literasi yang handal? Nantikan strategi berikutnya ya.


Rujukan: Glasgow, N & Farrell, T. 2007. What Successful Literacy Teachers Do. Thousand Oaks, CA: Corwin Press.