Monday, October 28, 2013

KETIKA HARI BERJALAN LEBIH LAMBAT

Seberapa cepat waktu berlalu? Tanyakan pada mereka yang sedang dikejar target pekerjaan, deadline tugas, atau sederetan to-do list. Kemungkinan besar jawabannya adalah bahwa 24 jam tidak cukup untuk mengerjakan semuanya. Tapi coba tanyakan pada orang yang tidak punya banyak hal untuk dikerjakan. Maka waktu akan terasa berjalan lebih lambat. 

Persepsi kita tentang waktu memang sedikit banyak bergantung pada seberapa efektif, produktif, dan bermaknanya waktu yang kita punya. Dan saya tengah mengalami transisi. Dari orang yang merasa kekurangan waktu, ke orang yang bingung mau mengerjakan apa. Tentu saja bukan karena sekarang saya berubah jadi orang malas. Saya (terpaksa) mengubah persneling dari 3 atau 4 menjadi posisi 1. Paling banter 2. Dan pedal gas praktis tidak pernah ditekan. 

Terbiasa muncul sebagai sosok Tiwik yang meski kecil badannya tapi lincah dan cepat larinya, saya berubah seperti dalam lirik lagu 'dondong opo salak, mlaku tiwik tiwik.' Adaptasi ini tidak terlalu mudah saya lakukan. Apalagi, menurut suami saya yang orang Psikologi, saya termasuk golongan dengan personality type A. Cenderung stress dan senewen bila tidak produktif, bahkan saat menikmati waktu senggangpun. Yang terjadi sekarang ini, saya memang harus banyak-banyak rehat. Tidak boleh terlalu lelah. Dan memang menjadi gampang lelah. Meski itu hanya karena terlalu lama duduk membaca atau mengetik di depan laptop. 

Seperti yang sempat saya ceritakan singkat di message thread kisah operasi mbak Ikit, kemo keempat ini membawa pola efek samping yang amat berbeda. Bila sebelumnya saya bisa menikmati hari-hari bagus selama 10 hari secara normal, kali ini, setidaknya sampai hari ke 12 pasca kemo keempat ini, belum saya rasakan hari normal. Berita baiknya, tidak ada hari buruk yang terlalu parah. Kecuali rasa sakit sekujur tubuh. Hehe, ini juga amat tidak enak sebenarnya. Tapi setidaknya saya tetap bisa makan banyak. Dan obat penghilang rasa sakit ekstra bisa diandalkan, bila rasa sakit tidak tertahankan.

Hanya saja, energy level saya menjadi lumayan anjlok. Seperti orang yang sedang flu. Gampang meriang. Suhu tubuh akan naik di atas 37 bila mulai kelelahan, yang mungkin hanya karena cuci piring dan masak-masak ringan. Obatnya cuma tidur beberapa jam. Baru kemudian akan segar lagi, dan suhu tubuh kembali turun di bawah angka 37. Begitu seterusnya, termometer menjadi indikator apakah saya harus rehat atau tidak. Suami juga sudah terbiasa dengan pola ini. Bila melihat saya mulai lemes dan gak konek ketika diajak ngobrol, dia akan menyuruh saya untuk tidur. 

Dengan pola hidup seperti ini, mau tidak mau saya harus menerima kenyataan bahwa produktivitas (sesuai ukuran saya) turun drastis. Bila mbak ikit mengibaratkan seperti slow motion dalam film, saya mengamininya. Hanya saja, yang bergerak lambat cuma saya. Sementara tokoh-tokoh lain tetap bergerak secepat kilat. Terus terang, saya sering membayangkan diri saya menjadi penonton, 'watching the world go by.' Semua orang di sekitar saya berkelibatan dengan cepat, seperti kilatan cahaya kabur saat tertangkap kamera. Dan saya mematung di sisi jalan, pening melihat gerakan tak beraturan.

Saat ini teman-teman lain sedang amat sibuk dengan deadline. Yang kuliah S2 sedang dikejar deretan paper dan jadwal exam. Maklum, pertengahan November ini, perkuliahan semester genap akan berakhir. Ada yang melepaskan semua part-time jobnya, dan memilih semedi di kamar terus. Ada yang nyaris pingsan kelelahan belajar di perpustakaan. Sebagian teman S3 juga dikejar deadline untuk submit thesisnya, tagihan chapter draft, atau transkripsi rekaman wawancara yang tak berkesudahan. 

Dan studi saya praktis berhenti sementara. Maunya memaksakan diri menyelesaikan chapter draft yang terlalu lama tertunda, supervisor selalu mengingatkan untuk rehat saja. "You will finish your thesis, Tiwi. No matter what." Begitu emailnya mencoba menenangkan saya, setiap kali saya berusaha berjanji untuk tetap produktif. Nyatanya, upaya saya memang tidak pernah bisa optimal, baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Buku-buku perpustakaan menjadi jarang tersentuh, dan saya hanya memperpanjangnya tiap bulan, tanpa daya yang cukup untuk betul-betul menyerap isinya. 

This is easier said than done. Berulang kali saya mengatakan pada diri sendiri. Sekarang memang waktunya rehat. Tapi ternyata tidak mudah mengubah cara pandang dan karakter. Bila 'staying productive' itu bisa dianggap sebuah karakter. Saat ini, ketika suami sedang pulang ke Surabaya selama seminggu, saya memotivasi diri untuk bangkit. Tanpa terlalu membebani diri secara fisik. Saya hanya ingin memberikan rasa 'a sense of accomplishment' dan nuansa deadline yang saya ciptakan sendiri. Tadi pagi alhamdulillah cukup kuat berjalan mengantar Adzra ke sekolah. Berangkat sedikit lebih pagi, mengimbangi kecepatan langkah kaki yang belum bisa berjalan cepat. Setelah belanja sebentar ke supermarket dekat rumah, sinyal tubuh mengisyaratkan untuk rehat. Jadi tidurlah saya, selama 3 jam. Ketika bangun, badan terasa enak, dan lapar. Belum sempat masak apa-apa, tapi masih ada sisa sayuran dan sambel pecel plus perkedel. Plus kiriman tahu kecap dan oseng-oseng terong teri dari Chicca, salah satu sohib terbaik di Melby. Tancap saja semuanya. Alhamdulillah tidak ada bagian mulut dan perut yang rewel. 

Sendirian di rumah, jadi kangen suami. Ih, padahal baru ditinggal sehari. Cari-cari HP, pingin nelpon. Entah ini yang namanya ikatan batin atau apa, sontak HP saya berbunyi. Suami telpon, sedang di kantor, dan nanya kabar. "Baru bangun ya," tanyanya. Hehe, sudah hapal dia. 

Deadline. Deadline. Kenapa sih saya butuh rasa stress dikejar deadline? Padahal saya tahu rasanya membuat badan semakin meriang. Padahal stress itu tidak baik untuk penderita kanker. Tapi stress dengan dosis secukupnya kan boleh-boleh saja. Tanpa sadar saya membangun gambaran ini, sambil mencoba mengunyah 1 bab dari buku Literacies, Global and Local. Saya membaca dan memahami sedikit lebih lamban sekarang. Mungkin ini yang dinamakan chemo-brain. Biarlah, bagaimanapun, otak ini tetap harus diasah. Mudah-mudahan akan banyak manfaatnya, agar bisa sedikit melupakan rasa tidak nyaman karena kemo. 

Entah alam bawah sadar saya yang tak henti menginginkan sebuah deadline, sekarang datanglah tagihan itu. Atau kalau boleh saya katakan, berkah datang dalam bentuk yang tidak terduga. Saya menerima email dari jurusan Komunikasi UI. Paper yang saya presentasikan di konferensi internasional di UI Desember 2012 lalu, terpilih untuk menjadi salah satu chapter dalam proyek buku yang direncanakan berjudul Indonesia: Diversity in the Age of Convergence. Buku ini akan digawangi oleh Prof. Khrisna Sen sebagai editor. Beliau adalah pakar media dari The University of Western Australia. Teman baik mbak Sirikit juga. 

Ini proyek yang cukup panjang. Sekitar 8 bulan untuk sampai ke draft final. Dengan beberapa deadline dalam prosesnya. Dan deadline untuk draft awal adalah akhir November ini. Dan masih ada dua siklus kemo yang harus saya lakoni sampai jadwal deadline itu. Bisakah saya menyelesaikannya? Melihat tantangan yang menggiurkan ini, saya tidak tahan untuk tidak mengiyakan undangan proyek buku ini. Harusnya tidak terlalu susah. Paper tentang Indonesian migrant workers' digital literacy practices ini sudah dalam bahasa Inggris. Sudah dikoreksi supervisor sebelum dipresentasikan. Selain itu, proyek buku ini akan melebarkan sayap saya ke bidang baru, yakni Media dan Komunikasi. Selama ini tulisan ilmiah saya lebih banyak berkutat di bidang pembelajaran sastra dan kritik sastra. Bonus yang paling penting, bila tulisan saya masuk dalam buku ini, maka tiket lulus PhD akan semakin meyakinkan. Punya 1 chapter dalam tesis yang juga menjadi bagian dari buku ilmiah. Killing two birds with one stone

You want it, now you get it. Seize the day. It's funny now that I hear the clock ticking

Thursday, October 24, 2013

Bagaimana Literasi Merekatkan Keluarga

Kemarin dulu aku ngobrol dengan bapak via telpon. Kegiatan rutin saja. Saling menanyakan kabar. Cerita kegiatan masing-masing dalam seminggu ini. Bapak kemudian menyebut nama Ella. Bapak memang masih mengingat dengan baik sahabat-sahabatku sejak jaman SMP sampai kuliah. Termasuk di antaranya, Prof. Luthfiyah Nurlaela, "Kapan-kapan bapak pingin ngobrol sama Ella. Mudah-mudahan masih ingat bapak ya. Dulu pas jaman Himapala kan sering ketemu." Bapak kemudian bertanya lebih lanjut tentang aktivitas Ella sekarang. Aku ceritakan semua yang terekam tentang Ella. Dan bahwa sampai kini tetap berhubungan via milis Keluarga Unesa.

Bapak juga bertanya apakah Ella sekarang sudah pindah ke Tanggulangin. Aku jadi penasaran. "Kok bapak tahu tentang Ella dan rumah Tanggulangin?" Eh, ternyata buku Jejak-jejak Penuh Kesan yang bergambar Ella payungan sudah habis dibaca bapak. Bahkan buku itu sudah muter dari tangan satu ke tangan lain. Mulai ibu, Yanti adikku yang tinggal di Sidoarjo, Riris dan Inez, dua ponakanku, anak Yanti, yang juga kutu buku. 

Begitulah kebiasaan literasi di keluargaku. Rak buku di Kebraon selalu menjadi jujugan bapak dan ponakan, bila mereka sedang dolan ke rumah. Itulah sebabnya, setiap ada buku baru, aku segerakan membaca. Karena tiap kali bapak dan ibu menginap ke rumah, yang dicari selalu buku yang belum selesai dibaca atau yang baru datang. Kalau tidak segera aku selesaikan, alamat tidak sempat menghabiskan. Keburu berpindah tangan. Berpindah lokasi. Dari Ngagel ke Sidoarjo dan ke Pondok Candra. Yang terakhir adalah rumah mertua Iin, adik perempuanku yang keempat. Dia juga suka melalap buku apapun yang baru selesai aku baca.

Jadi jangan heran bila buku The Twenty Years of Joy and Happiness punya mas Satria juga sudah menjadi bahan obrolan kami. Buku Ibu Guru, saya Ingin Membaca, hasil kompilasi Rukin, juga sudah disantap bapak. Kalau tidak saya bawa ke Melbourne untuk bahan tambahan tesis, mungkin buku itu sudah terbang ke mana lagi. Novel-novel Andrea Hirata baru saja kembali ke rumah setelah berbulan-bulan beredar dari satu rumah ke rumah lain di keluarga kami. Novel dan antologi para buruh migran Hong Kong juga sudah membuat hati bapakku terharu. Pendeknya, bahan yang aku gunakan untuk tesis sudah dibaca bapak juga.  

Menengok ke belakang, aku harus berterima kasih kepada bapak dan ibu. Merekalah yang meletakkan dasar kuat cintaku atas buku. Saat SD dulu, salah satu kenangan yang membekas adalah kebiasaan bapak mengajakku ke Sari Agung di jalan Tunjungan. Aku dilepas saja di situ. Ndhodhok membaca habis beberapa komik atau cerita rakyat. Dongeng epik Ramayana dan Mahabarata lebih banyak kunikmati dari hasil nongkrong berjam-jam di toko buku. Baru setelah itu mengambil 1-2 buku untuk dibeli. Itu di luar acara nonton film silat atau koboi, dan tak lupa, nonton bola di Gelora Tambaksari. Ya, anak-anak perempuan bapak juga penggila bola dulu. Tapi kapan-kapan saja aku cerita yang ini.

Ibu menegaskan cintaku terhadap sastra tanpa disadari melalui dongeng sebelum tidur. Tempat tidur yang kami pakai seperti pindang berjajar menjadi saksi lelapnya tidur kami, yang dialun oleh "Pada Suatu Hari" atau "Ing sakwijining dino." Cerita-cerita Bawang Putih, Timun Mas dan Buto Ijo sudah aku kenal melalui naratif lisan dari ibu. Sebelum kemudian kutemukan versi tulisnya dari koleksi buku cerita. 

Seingatku, hampir tidak ada koleksi mainan di rumah masa kecilku. Kalaupun ada, mungkin itu dibeli saat ada keramaian Mauludan di pasar Wonokromo. Tapi aku cukup bangga punya banyak koleksi buku. Saat kelas 4 atau 5 SD dulu kalau tidak salah, saya ingat sudah membuat daftar judul buku dan pengarangnya. Jumlahnya ada sekitar 50an judul. Juga setumpukan majalah langganan Bobo .Tentu saja itu di luar buku komik pinjaman dari persewaan dekat rumah.  Bahkan juga cerita seri Api di Bukit Menoreh yang rutin dipinjam bapak dari persewaan di Ngagel Rejo. Aku sering diminta meminjam atau mengembalikan lanjutannya. Jadinya aku juga ikut tenggelam dalam lamunan Ratri, salah satu tokoh dalam cerita itu. Saking demennya, aku masih ingat kata regol yang pertama kali kukenal lewat cerita seri itu. Kesengsem dengan nama-nama tokohnya, Ratri, Panggiring, Bramanti. Di telingaku, nama-nama ini terdengar eksotis. 

Kami juga pelanggan Kompas dan Intisari sejak dulu. Karena saking akrabnya dengan bahasa Kompas, aku jadi tahu kemudian bahwa membaca koran lain jadi 'terlalu' ringan. Entah karena kecintaan terhadap sastra sudah tertanam atau bagaimana, yang jelas cerita bersambung di Kompas tak pernah lewat kami baca sekeluarga. Aku dan adik-adik bergiliran menggunting bagian cerbung untuk dikompilasi. Ronggeng Dukuh Paruk sudah habis kubaca dalam format cerbung, jauh sebelum versi novelnya beredar.  

Karena sudah terbiasa menghabiskan akhir pekan nongkrong ke Sari Agung, aku kadang tidak sadar bahwa ada tempat-tempat lain yang barangkali lebih menarik buat para remaja. Saat SMA dulu, ketika sudah bisa dolan sendiri, aku teruskan kebiasaan itu. Hanya saja tempatnya bertambah dengan adanya Gramedia. Juga kemudian setelah Sari Agung ditutup. Tapi seingatku, semua teman yang pernah dekat jaman SMA dan kuliah lebih sering kuarahkan ke Gramedia. Entah itu membuat bosan bagi teman atau tidak. Saat itu, aku tidak terlalu peduli. Yang penting bisa nongkrong beberapa jam membaca gratis sampai bosan. 

Aku baru sadar bahwa beberapa buku-buku yang pernah kubaca ternyata sastra klasik. Saat SMA, aku sudah mulai membaca drama-drama Shakespeare dalam versi bahasa Inggris. Tentu saja masih simplified version. Bisa jadi karena saat itu lagi getol kursus bahasa Inggris di PPIA Dr. Soetomo. Perpustakaannya sering menantangku untuk memperluas bahan bacaan dalam bahasa asing. Setelah kuliah di IKIP Surabaya, barulah aku ngeh dengan nama-nama Shakespeare, Hemingway, Mark Twain. Ternyata ada bagian dari masa kecil yang ikut andil di dalamnya. Padahal dulu kukira cerita Tom Sawyer dan Huck Finn adalah cerita anak-anak. 

Meloncat kembali ke masa kini, aku sering merenungkan betapa kedekatanku dengan buku adalah hasil bentukan orang-tua. Dalam pandanganku sekarang ini, bapak dan ibu telah berhasil memadukan sastra lisan dan tulis dalam membentuk dunia literasiku seperti sekarang ini. Sebagai seorang dosen, yang cenderung mencari penegasan teori untuk praktik literasi dalam keluarga, aku juga semakin lega bahwa parent-child attachment theory dalam dunia psikologi memang amat berperan membentuk kebiasaan literasi pada anak. Aku lihat Adzra, misalnya. Sebelum lelap tidur, dia sering bilang, "Mommy, you keep reading okay. I'm going to sleep." Persis seperti masa-masa kecilku yang lelap dalam dongengan ibu yang belum selesai. Kalau dia belum bisa tidur, biasanya teringat buku-buku yang ingin dia usung ke tempat tidur. Aku sering membayangkan Tiwik kecil dalam diri Adzra. Only the revised and more sophisticated version. 

Ketika jauh seperti sekarang ini, aku tahu bapak ibu rindu dengan anaknya. Sebagaimana rinduku kepada mereka berdua. Namun aku tahu, kehadiran buku-buku tulisan sahabat-sahabatku, akan senantiasa merekatkan hati bapak-ibu-anak. Tulisan-tulisan di blogku senantiasa menggantikan kehadiranku secara fisik.Giliranku sebagai anak yang berbagi cerita kepada keluarga. 

Aku tahu kini, mengapa bapak menyuruhku masuk jurusan Pendidikan Bahasa Inggris IKIP Surabaya. Itu hasil tes Sipenmaru. Bukannya meneruskan langkah ke D3 Teknik Kimia ITS yang sebenarnya sudah membuka pintunya buatku lewat jalur tes lokal di ITS. Entah alasan apa juga yang membuatku akhirnya mengarahkan sepeda motor ke arah Ketintang. Registrasi sebagai calon guru. Meski hari-hari sebelumnya, bantal sudah basah dengan tetesan air mata. Orang-tua memang tahu yang terbaik untuk anak-anaknya. 

Tuesday, October 15, 2013

Saat Hati tengah Rapuh


Ada postingan yang amat menyentuh dikirim oleh mas Ihsan di milis Keluarga Unesa. Berikut kisahnya:

Ada kisah menarik tentang semangat dakwah, yang disampaikan oleh DR. Muhammad Ratib an-Nabulsy saat Khuthbah Jumat tertanggal 2 Juli 2010. Sebuah kisah inspiratif  terjadi di Amsterdam yang sangat menarik untuk disimak. 
“Menjadi kebiasaan di hari Jumat, seorang Imam masjid dan anaknya yang berumur 11 tahun membagi brosur di jalan-jalan dan keramaian, sebuah brosur dakwah yang berjudul “Thariiqun ilal jannah” (jalan menuju jannah).

Tapi kali ini, suasana sangat dingin ditambah rintik air hujan yang membuat orang benar-benar malas untuk keluar rumah. Si anak telah siap memakai pakaian tebal dan jas hujan untuk mencegah dinginnya udara, lalu ia berkata kepada sang ayah,

“Saya sudah siap, Ayah!”

“Siap untuk apa, Nak?”

“Ayah, bukankah ini waktunya kita menyebarkan brosur ‘jalan menuju jannah’?”

“Udara di luar sangat dingin, apalagi gerimis.”

“Tapi Ayah, meski udara sangat dingin, tetap saja ada orang yang berjalan menuju neraka!” “Saya tidak tahan dengan suasana dingin di luar.”

“Ayah, jika diijinkan, saya ingin menyebarkan brosur ini sendirian.”

Sang ayah diam sejenak lalu berkata, “Baiklah, pergilah dengan membawa beberapa brosur yang ada.”

Anak itupun keluar ke jalanan kota untuk membagi brosur kepada orang yang dijumpainya, juga dari pintu ke pintu. Dua jam berjalan, dan brosur hanya tersisa sedikit saja. Jalanan sepi dan ia tak menjumpai lagi orang yang lalu lalang di jalanan. Ia pun mendatangi sebuah rumah untuk membagikan brosur itu. Ia pencet tombol bel rumah, namun tak ada jawaban. Ia pencet lagi, dan tak ada yang keluar. Hampir saja ia pergi, namun seakan ada suatu rasa yang menghalanginya. Untuk kesekian kali ia kembali memencet bel, dan ia ketuk pintu dengan lebih keras. Ia tunggu beberapa lama, hingga pintu terbuka pelan. Ada wanita tua keluar dengan raut wajah yang menyiratkan kesedihan yang dalam Wanita itu berkata, “Apa yang bisa dibantu wahai anakku?”

Dengan wajah ceria, senyum yang bersahabat si anak berkata, “Nek, mohon maaf jika saya mengganggu Anda, saya hanya ingin mengatakan, bahwa Allah mencintai Anda dan akan menjaga Anda, dan saya membawa brosur dakwah untuk Anda yang menjelaskan bagaimana Anda mengenal Allah, apa yang seharusnya dilakukan manusia dan bagaimana cara memperoleh ridha-Nya.”

Anak itu menyerahkan brosurnya, dan sebelum ia pergi wanita itu sempat berkata, “Terimakasih, Nak.”

Sepekan Kemudian

Usai shalat Jumat, seperti biasa Imam masjid berdiri dan menyampaikan sedikit taushiyah, lalu berkata, “Adakah di antara hadirin yang ingin bertanya, atau ingin mengutarakan sesuatu?”

Di barisan belakang, terdengar seorang wanita tua berkata,

“Tak ada di antara hadirin ini yang mengenaliku, dan baru kali ini saya datang ke tempat ini. Sebelum Jumat yang lalu saya belum menjadi seorang muslimah, dan tidak berfikir untuk menjadi seperti ini sebelumnya. Sekitar sebulan lalu suamiku meninggal, padahal ia satu-satunya orang yang kumiliki di dunia ini. Hari Jumat yang lalu, saat udara sangat dingin dan diiringi gerimis, saya kalap, karena tak tersisa lagi harapanku untuk hidup. Maka saya mengambil tali dan kursi, lalu saya membawanya ke kamar atas di rumahku. Saya ikat satu ujung tali di kayu atap. Saya berdiri di kursi, lalu saya kalungkan ujung tali yang satunya ke leher, saya memutuskan untuk bunuh diri.

Tapi, tiba-tiba terdengar olehku suara bel rumah di lantai bawah. Saya menunggu sesaat dan tidak menjawab, “paling sebentar lagi pergi”, batinku.

Tapi ternyata bel berdering lagi, dan kuperhatikan ketukan pintu semakin keras terdengar. Lalu saya lepas tali yang melingkar di leher, dan saya turun untuk sekedar melihat siapa yang mengetuk pintu.

Saat kubuka pintu, kulihat seorang bocah berwajah ceria, dengan senyuman laksana malaikat dan aku belum pernah melihat anak seperti itu. Ia mengucapkan kata-kata yang sangat menyentuh sanubariku, “Saya hanya ingin mengatakan, bahwa Allah mencintai Anda dan akan menjaga Anda.” Kemudian anak itu menyodorkan brosur kepadaku yang berjudul, “Jalan Menuju Jannah.”

Akupun segera menutup pintu, aku mulai membaca isi brosur. Setelah membacanya, aku naik ke lantai atas, melepaskan ikatan tali di atap dan menyingkirkan kursi. Saya telah mantap untuk tidak memerlukan itu lagi selamanya.

Anda tahu, sekarang ini saya benar-benar merasa sangat bahagia, karena bisa mengenal Allah yang Esa, tiada ilah yang haq selain Dia.

Dan karena alamat markaz dakwah tertera di brosur itu, maka saya datang ke sini sendirian utk mengucapkan pujian kepada Allah, kemudian berterimakasih kepada kalian, khususnya ‘malaikat’ kecil yang telah mendatangiku pada saat yang sangat tepat. Mudah-mudahan itu menjadi sebab selamat saya dari kesengsaraan menuju kebahagiaan jannah yang abadi.

Mengalirlah air mati para jamaah yang hadir di masjid, gemuruh takbir. Allahu Akbar. Menggema di ruangan. Sementara sang Imam turun dari mimbarnya, menuju shaf paling depan, tempat dimana puteranya yang tak lain adalah ‘malaikat’ kecil itu duduk. Sang ayah mendekap dan mencium anaknya diiringi tangisan haru. Allahu Akbar!”

Lihatlah bagaimana antusias anak kecil itu tatkala berdakwah, hingga dia mengatakan “Tapi Ayah, meski udara sangat dingin, tetap saja ada orang yang berjalan menuju neraka!” Ia tidak bisa membiarkan manusia berjalan menuju neraka. Ia ingin kiranya bisa mencegah mereka, lalu membimbingnya menuju jalan ke jannah.

Lihat pula bagaimana ia berdakwah, menunjukkan wajah ceria dan memberikan kabar gembira, “Saya hanya ingin mengatakan, bahwa Allah mencintai Anda dan akan menjaga Anda.” Siapa yang tidak trenyuh hati mendengarkan kata-katanya?

Berdakwah dengan apa apa yang ia mampu, juga patut dijadikan teladan. Bisa jadi,tanpa kita sadari, cara dakwah sederhana yang kita lakukan ternyata berdampak luar biasa. Menjadi sebab datangnya hidayah bagi seseorang. Padahal, satu orang yang mendapat hidayah dengan sebab dakwah kita, lebih baik baik bagi kita daripada mendapat hadiah onta merah. Wallahu a’lam bishawab.

Sumber: arrisalah.net

========

Subhanallah. Merinding saya membaca kisah ini. Jadi mewek lagi.

Tadi pagi pas shalat Eid di Sports Center Unimelb, saya sudah mewek habis. Mengikuti bacaan surah Al-A'la di rakaat pertama, dan tiga ayat terakhir surah Al-Baqarah yang dilantunkan dengan syahdu oleh Ust. Hamim Jufri. 

Memang betul, memahami makna ayat-ayat atau doa yang kita baca selama dan sesudah shalat akan menghujam qalbu. Air mata menetes deras, jatuh ke sajadah saat ruku' dan sujud. Merasa amat kecil di mata Allah. Berharap ampunanNya. BerkahNya. 

Mungkin isak hening saya terdengar teman sebelah. drg. Epita, dosen USU, merangkul saya. Mendoakan saya untuk kesembuhan dan kemudahan urusan. Saya cium tangan ibu Leila Budiman, istri Prof. Arief Budiman. Beliau duduk di sebelah kak Evita. 

Pertemuan saya untuk kesekian kalinya dengan bu Leila di Melbourne tak pelak memberikan semangat. Meski saya sebenarnya tidak/belum pernah curhat apa-apa. Nama Leila Budiman sudah akrab di hari-hari Minggu saya berpuluh-puluh tahun lalu. Rubrik konsultasi psikologi Kompas Minggu tidak pernah saya lewatkan. Bahkan sejak masih diasuh M.A.W. Brouwer, yang kemudian digantikan bu Leila. Topik-topik yang bagus dan mengena di hati malah sempat saya kliping. Boleh dikata, kehadiran bu Leila lewat rubrik itu banyak membantu saya mengatasi masalah dalam hidup saya.

Ketika kemudian saya malah bertemu bu Leila dan pak Arief Budiman di Surau Kita saat Ramadhan, kenangan masa lalu seakan muncul kembali. Dalam bentuk suntikan semangat hidup yang terpancar teduh di wajah dua public figure yang sudah jadi Permanent Resident di Aussie. 

Hidup ini layaknya lukisan kruistik. Dilihat dari sisi belakang, yang nampak hanyalah untaian benang tak beraturan. Simpul di sana-sini. Potongan benang di banyak sudut. Namun dari sisi depan, dipandang dari kejauhan, alangkah indahnya karya tangan ini. 

Saya ingat sebuah kalimat dari seorang psikolog yang pernah saya surati ketika sedang butuh pencerahan. "Mungkin Allah sedang menyiapkan kado terindah buat dirimu." Kalimat ini terngiang lagi, saat hati sedang rapuh. Dibutuhkan kesabaran, keteguhan, dan keikhlasan dalam tiap langkah.


Entah mengapa, saya melihat banyak titik masa lalu sedang terhubung di masa sekarang. Semoga akan membentuk gambaran indah di masa depan. Lamunan ini seakan membangunkan saya untuk tetap tegak dalam kondisi apapun. Begitu banyak orang yang sudah berkorban untuk saya, tapi apakah saya sudah cukup memberi untuk orang-orang di sekitar saya. Semoga Allah memberi saya kesempatan hidup yang lebih bermanfaat buat sesama. 

Sunday, October 06, 2013

Pelayanan Prima di Rumah Sakit

Tiga kali menjalani rawat inap di rumah sakit, aku jadi tahu bagaimana kualitas pelayanan yang patut diacungi jempol. Dua kali aku menginap di Royal Women's Hospital untuk operasi. Yang pertama pada pertengahan Juni 2013 untuk pengangkatan benjolan kanker di payudara kiri. Yang kedua dua minggu kemudian, kali ini mastectomy, atau pengangkatan payudara kiri secara menyeluruh. Yang ketiga ketiga kena efek dahsyat kemo pertama, sehingga harus transfusi darah di Royal Melbourne Hospital.

Pengalamanku saat operasi yang kedua dulu di Royal Women's Hospital, asuransiku, OSHC Allianz, sebenarnya cuma meng-cover shared bedroom. Setidaknya, begitu panduannya. Pas selesai operasi, kok aku ditaruh ke ruang 1 bed saja. Karena takut nombok (dah itung untung rugi, hehe), aku langsung tanya Sue, breast care nurse, yang selama ini jadi pendamping. Dia bilang gak ada bedanya. It's a public hospital. Mau kamar isi 1 atau 2, harganya sama. Pokoknya mana yang kosong yang dipakai. Duh, di Indonesia gak pernah aku nemui kebijakan kayak gini. 

Beda lagi dengan cerita pas masuk RS karena imun drop habis kemo 1 di pertengahan Agustus.  Dalam 5 hari, aku pindah kamar sampai 4 kali. Yang pertama, isi 3 bed. Begitu aku batuk-batuk, dikhawatirkan membawa infeksi, 1 jam kemudian langsung dipindah ke ruang isolasi. Semua yang masuk pakai masker. Maklum, di Oncology unit ini, pasien rawat inapnya punya isu dengan kemo atau treatment lain untuk kasus kanker masing-masing.  Begitu hasil tes menunjukkan bahwa aku tdk membawa infeksi, besoknya dipindah lagi ke ruang 1 bed, tapi label at risk of infection gak ada. Karena kondisi membaik, besoknya dipindah lagi ke ruang yang pertama. 

Ketika aku sudah cukup sehat untuk diajak ngobrol, barulah petugas RS bagian finance mendatangi aku di kamar. Bukan untuk memberikan tagihan. Tapi diskusi ttg kemungkinan apakah asuransi akan cover semua biaya atau tidak. Bila ada out-of-pocket expense, diberi opsi untuk bayar langsung atau cicilan. Terus aku diminta tanda-tangan. Dah gitu aja.

Yang aku dan mas Prapto heran, pas pulang dari RS, kok tidak ada ya daftar tagihan atau apapun yang harus dilakukan. Ya udah ngeloyor aja. Asal dokter dah bilang boleh pulang. Cuma pamit aja ke para perawat, say thank you. 'I'm leaving today.' 

Ada banyak hal lain yang patut diapresiasi dari sistem pelayanan di sini. Saat kontrol habis kemo kedua kapan dulu, dokterku bilang, bahwa setelah kemo berakhir di akhir November nanti, akan disambung dengan radiotherapy. Tiap hari selama 6 minggu, Wuik. Jadi selama Desember-Januari, tiap hari aku akan wira wiri ke lab. Dah mikir dan tanya-tanya side effectnya juga. 

Eh, 3 hari yang lalu, aku ditelpon Sue. Tanya-tanya kondisiku pasca kemo 3. Saat itu aku dah lumayan sehat, wong memang lagi makan bareng keluarga di resto Es Teler 77 dekat kampus. Dia memberi kabar bahwa tim dokter memutuskan untuk tidak memberikan radiotherapy, karena diperkirakan tidak akan memberi manfaat buat kasus jenis kankerku. Alhamdulillah. Temanku bilang, 'bagus banget ya. Pengobatannya gak diada-adakan.' 

Minggu ini alhamdulillah kondisi sehat sekali. Dah bisa banyak jalan-jalan menemani anak-anak liburan. Ke Melbourne Museum. Ke Tulip Festival. Besok anak-anak dah mulai masuk sekolah. Aku berencana mulai nengok kampus lagi ah. Semoga tetap bugar dan bisa produktif garap tesis lagi.


Tetap sehat semua ya teman-teman, dan bisa lanjut berkarya di bidang masing-masing. 

Thursday, October 03, 2013

KETIKA ADZRA MENGENAL INDONESIA

"Mommy, is Indonesia a big country?" begitu tanya Adzra, ketika kami sekeluarga  berkunjung ke Melbourne Museum kemarin siang. Minggu ini minggu kedua liburan sekolah term 3 di Victorian schools. Di depan saya terbentang peta Pacific Islands, bagian dari negara Australia. Indonesia, meski bukan termasuk wilayahnya, terpampang lebar di peta tersebut. 

Saya menunjukkan mana benua Australia, yang Adzra buru-buru bilang, "I know Australia. I'm asking about Indonesia." Saya tunjukkan wilayah Indonesia, mana Jawa, mana Surabaya, di mana kami berasal. "You see, we flew all the way from Surabaya to Melbourne."

Mendapatkan begitu banyak pertanyaan tentang negara sendiri, oleh anak sendiri, di negara orang lain, membuat saya terbangun. Ketika saya mengira bahwa anak seusia Adzra belum saatnya dikenalkan tentang seluk-beluk negeri, ternyata sekolahnya malah mengangkat Indonesia sebagai tema pembelajaran di term 3 kemarin. Introducing Indonesia from an Australian perspective. Kira-kira begitu saya menangkapnya.

Tentu bukan tanpa tujuan bahwa Moreland Primary School mengangkat tema Indonesia dalam pembelajaran mulai Preps-Grade 6. Tidak perlu saya ulas bagaimana kepentingan politik budaya ekonomi yang melatar-belakanginya. Di lingkup MPS sendiri, setidaknya ada sekitar 50an siswa asal Indonesia, dari 350an siswanya. Mayoritas anak-anak yang orang-tuanya sedang studi S2/S3 di berbagai kampus di Melbourne. Di Preps sendiri saja ada 7 siswa Indonesia dari total 45 siswa.  

Apa yang Adzra ketahui tentang negaranya sendiri di kelas? Kapan dulu dia bercerita, "Mommy, do you know that Indonesia has a lot of mountains. With fire. What do you call it, Mommy?" Saya mencoba menebak-nebak yang dia maksud dengan memberikan nama gunung. Merapi? Krakatao? Semeru? Sampai akhirnya nyambung juga ketika dia bilang, "You know, this afternoon Ben made a mountain with fire at Preps' sandpit. It was cool, Mommy." Seraya menggambarkan bagaimana gurunya membuat gunung berapi dengan lelehan lahar panas berwarna merah. "Oh, you mean volcano?"

Saya tanya darimana dia tahu tentang volcano. "We're talking about Indonesia at school. Ben said Indonesia is a beautiful country." Kali lain dia bercerita, "We drew Sumatran tiger in Mrs. Martyzack's arts class." Dan minggu ini, di masa liburan sekolah, dia bersemangat mau membuat 'kongklak' dan bermain bersama saya. "What's kongklak?" tanya saya. Meluncurlah keceriwisannya menggambarkan permainan pakai papan, dengan tujuh lubang di tiap sisi, dan tiap lobang diisi batu. "We made the board at school, from eggs' cardboard." "Oh, that's congklak. or dakon," jawab saya seraya geli membayangkan bagaimana dia mengenal permainan congklak dari perspektif seberang. Eksotik. 

Maka jadilah salah satu school holiday project kali ini. Pagi tadi saya kosongkan karton telur dengan 5 lubang di tiap sisi. Saya berikan ke Adzra. Dibantu ayahnya, Adzra membuat papan dakon, berbekal gunting, cellotape. Setelah sarapan, dia keluar ke Warr Park dekat rumah. Mencari kerikil untuk isian lubang. Dan sepagian ini kami berdua seru bermain dakon. Saya ikut excited. Seperti kembali ke masa kecil. Entah kapan saya terakhir beririsan dengan permainan tradisional. Entah itu dakon, bekel, sepak engkle, atau gobak sodor. Sementara itu, Adzra meminta masnya merekam video ketika kami mulai bermain. Apa yang dia lakukan? 

"Hello, everybody. We're playing a game called 'kongklak.' First you have to put five rocks in each hole ..........And then you take turns ......"

Lama saya merenungkan betapa permainan tradisional sudah lama menghilang dari hari-hari anak-anak di tanah air. Ketika di masa kecil saya dulu, tidak ada hari tanpa bermain karet atau playon, apakah anak-anak sekarang bahkan mengenal apa itu dakon dan bekel atau gobak sodor. Sementara itu, di pelataran Moreland Primary School, garis permainan engkle malah jadi salah satu jujugan anak-anak perempuan. Jangan-jangan suatu saat salah satu bagian kearifan lokal ini akan punah, sama halnya dengan harimau Sumatra yang tinggal segelintir jumlahnya. Dan ironisnya, negara lain malah antusias mengenal ancient wisdom ini. 

Tiba-tiba saya merasa ngeri membayangkan apa yang mungkin terjadi di puluhan tahun mendatang. Something's gotta be done. Anak-anak kita tidak boleh tercerabut dari akar budaya sendiri. Perlu upaya mengintegrasikan kearifan lokal (yang mungkin dianggap remeh) ke dalam pembelajaran sekolah. Bukan sekedar menghafal berapa banyak pulau di Indonesia, nama-nama gunung berapi, sementara di seberang sana, anak-anak seusia mereka belajar tentang negara kita sambil bermain sains, seni, dan budaya. 

Saya lihat di youtube, upaya seperti saya lihat sudah dilakukan di Solo, dengan pertandingan gobak sodor antar sekolah. Perlu gerakan senada digaungkan di kota-kota lain, agar budaya negeri tetap terjaga di diri generasi mendatang. Jangan sampai kita harus pergi ke Melbourne atau New York untuk belajar bagaimana bermain dakon. 

Mudah-mudahan masih ada toko yang menjual bola bekel dan bijinya ya.