Monday, March 24, 2014

A BACKYARD CONVERSATION

Monday, 24 March 2014, 11 am. It was cloudy outside, but with no more drizzle. I thought I wanted to steal some breeze to dry my laundry.

I was hanging some pairs of jeans and two jackets at the backyard of my apartment building, when a man walked towards me and asked:"Is there a water tap around here?" I saw him carrying a small water tank. So I said, "well, there a toilet there. Hope the tap works." I pointed to an outside toilet just next to where my son puts his bike.

The man checked inside the unlocked toilet, then told me. "It's not working. But you speak lovely English."

I was startled for a moment, not knowing how to respond. He continued, "I thought, 'oh this lady wouldn't speak English.' His smile was sincere, implying his apology for having been mistakenly thinking that I was just some sort of a woman who may have migrated from her country for a better economy or escape from a political turmoil.

"Where are you from?" he asked me again.Back from my musing, I told him, "I'm from Indonesia. I'm a student here.""Oh, cool," he said. Then he repeated his incorrect judgement, as if to show me that it was stupid for looking down on me like that. "You speak lovely English to me." (Wondered what he would say if I told him I'm doing PhD here).

So here is why a white Aussie man could have acted that way. He was looking at a tiny woman with a loose veil and a sweater that was apparently too big, doing the hanging at the backyard at almost noon. Sounds very domestic, huh. 

 One could say, 'don't judge the book by its cover.' Others might have thought so far as 'him being racist (at least in his mind).' But this is not the first time people see me 'differently' because of how I look. Just to mention a few, a check-in attendant at Juanda airport spoke a bit rude to me, as I was checking in for my flight to Hong Kong. "Paspornya mana mbak?" (Where's your passport?). I knew she thought I was a migrant worker. No need to get offended in my part. Doing my research on migrant workers, I kind of anticipated this. I just smiled at her, and handed her my official passport. Not a moment too soon, she changed her tone. "Ada tugas ke Hong Kong, bu?" (On duty to Hong Kong, ma'am?).

I just find it funny that my current readings on alternative modernities are reflected on to these 'incidents.' It seems clear how falsely people think that being modern can be represented by what you wear (or my bad for looking 'too modest.'?). Although I eventually 'won' as I produced my social capitals (my 'so-called lovely English' and official passport), it is apparent that in this widely claimed global world, many things are still skin-deep. 

Yet, knowing that being modern is more about having the habit of self-questioning, there's really no need to be overacted. There's certainly another better way to strike back. 

Sunday, March 16, 2014

10 TIPS MENDAMPINGI ANAK MEMBACA


Apakah Anda adalah orang-tua dengan anak yang sedang belajar membaca? Sebagai orang-tua kita adalah guru yang paling berpengaruh terhadap perkembangan membaca anak. Peran kita sangat penting dalam memastikan kebiasaan dan kecintaan anak terhadap buku. Berikut ini beberapa tips yang bisa dilakukan orang-tua dalam mendampingi anak membaca.

1.      Pilihlah satu waktu yang tenang dan nyaman
Sediakan waktu yang tenang tanpa ada gangguan. Yang penting bukan berapa lama anak membaca tiap hari, tapi rutinitas yang perlu dijaga. 10-15 menit/kegiatan membaca/hari dianggap cukup.

2.      Buatlah pengalaman membaca menyenangkan
Ciptakan pengalaman membaca yang menyenangkan. Duduklah bersama anak. Upayakan untuk tidak memaksa anak membaca bila dia sedang enggan. Ajaklah anak untuk membaca bersama-sama. Bila anak kemudian mulai bosan maka ajak anak untuk melakukan hal lain (misalnya bermain, membuat craft).

3.      Jaga alur proses membaca
Bila anak salah mengeja satu kata, jangan langsung menyela. Lebih baik memberikan pancingan agar anak bisa membetulkan kesalahan sendiri (self-correction). Lebih baik memberitahu anak beberapa kata yang belum dia kenal. Ini untuk menjaga alur proses membaca. Setelah selesai membaca, mintalah anak untuk menceritakan kembali apa yang telah dia baca.

4.      Berpikir dan bertindak positif
Jangan mengatakan “Salah. Bukan begitu” dan sejenisnya. Lebih baik mengatakan “ayo coba kita baca bersama.” Sambil membaca Anda bisa menunjuk pada kata-kata di buku. Tingkatkan rasa percaya diri anak dengan memberikan pujian untuk keberhasilan sekecil apapun.

5.      Keberhasilan adalah kunci
Orang-tua yang cemas akan perkembangan anak bisa jadi tergoda memberikan buku yang terlalu sulit. Ini malah akan memberikan dampak sebaliknya. Tunggulah sampai anak memiliki rasa percaya diri yang cukup. Sebelum itu tercapai, lebih baik ‘bertahan’ pada buku-buku yang lebih mudah. Membaca buku yang terlalu sulit dengan banyak kata yang belum dikenal akan membuat kegiatan membaca tidak lagi menyenangkan. Alur proses membaca akan hilang, teks tidak bisa dipahami, dan anak malah akan malas membaca.

6.      Kunjungi perpustakaan atau toko buku
Ajaklah anak mengunjungi perpustakaan atau toko buku. Biarkan dia mengeksplorasi bagian perpustakaan/toko buku di mana buku anak-anak tersedia. Berikan kebebasan pada anak untuk memilih buku yang ingin dia baca/beli, dan berikan penjelasan tentang isi buku, sebelum memutuskan untuk meminjam/membelinya.

7.      Latihan membaca secara berkala
Berikan waktu mendampingi anak membaca pada hari-hari sekolah. Gunakan parameter ‘Sedikit dan sering.’

8.      Komunikasi melalui buku penghubung
Bila sekolah memiliki program literasi, ada kemungkinan anak memiliki buku penghubung yang berfungsi sebagai catatan harian.  Upayakan untuk secara rutin memberikan komentar positif. Anak akan menyadari bahwa Anda punya perhatian terhadap perkembangannya dan bahwa Anda menghargai membaca sebagai kebiasaan baik.

9.      Bahaslah isi buku
Membaca bukanlah sekedar bisa mengeja kata dan membaca kalimat dengan benar dan tepat. Orang-tua yang menempatkan membaca sebagai kebiasaan positif akan menginginkan anak tumbuh menjadi pembaca yang baik. Untuk itu, anak perlu dilatih untuk memahami apa yang telah dibaca. Selalu diskusikan isi buku. Bahaslah gambar, tokoh, bagaimana kira-kira akhir cerita, bagian cerita yang paling dia sukai, dan pendapat anak tentang isi buku. Diskusi seperti ini akan membuat Anda tahu seberapa baik pemahaman membacanya. Kemudian Anda bisa membantu anak mengembangkan ketrampilan membaca lebih baik.

10.  Variasi itu penting
Ingatlah bahwa anak perlu dipaparkan pada berbagai jenis bahan bacaan, misalnya: buku bergambar, komik, majalah, puisi, dan buku-buku non-fiksi.

Selamat membaca dengan anak Anda!

Wednesday, March 12, 2014

MENAPAK TANGGA LITERASI

Sekitar 1 bulan yang lalu, Adzra pulang sekolah dengan tergopoh-gopoh.
"Mommy, mommy, I wanna show you something!"

Begitulah dia selalu memulai celotehannya.Sambil mengeluarkan buku dari tas birunya, dia teruskan: 

"You know what. I'm level 12 now. Ooooh, I'm so happy."

Adzra pasti amat gembira. Reading level-nya menginjak level 12 di pertengahan term 1 grade 1 ini. Di awal term, dia memulai literacy program dari level 5-6. Itu level yang terakhir dia capai saat di Prep year.


Apa makna level 12 ini? Menurut reading benchmark di Australia, di level ini, teks yang dibaca memiliki beberapa karakteristik sebagai berikut:


- straightforward sentence and structures continue with supportive phrases and placement
- varied sentence patterns which may have repeated phrases or refrains
- complete story develops with more episodes using literary language
- illustrations provide lower level of support
- specialised vocabulary for some topics
- opportunities to extend reader’s understanding of words and their relationships
- continues theme of building on situations that are possibly familiar to students
- further opportunities to learn how words work


Secara sederhana, boleh saya katakan bahwa level 11 ke atas sudah melewati emergent literacy. Artinya, anak tidak lagi melalui proses sounding out. Alias sudah lancar membaca. Saya perhatikan di dalam buku yang dia bawa pulang tiap hari untuk home reading, pemilihan katanya sudah semakin meningkat taraf kesulitannya. Sudah mulai banyak kata yang terdiri dari 2-3 suku kata. Meski begitu, kalimatnya tetap berbentuk kalimar tunggal.


Perlu diingat bahwa tingkat kelas (grade 1-6 misalnya) dengan tingkat kemampuan membaca adalah dua hal yang berbeda. Meski untuk tiap tingkat ditetapkan reading level yang disarankan untuk dicapai, pada dasarnya tiap anak memiliki tingkat membaca yang berbeda. Misalnya saja, di prep dulu, Adzra punya teman baik, sesama anak Indonesia, yang reading levelnya sudah mencapai 20-an. Itu artinya struktur kalimat dalam buku mulai lebih panjang dan kompleks. Sementara itu, di grade 1 sekarang, ada temannya yang masih di level 5. Itu berarti masih banyak melibatkan sounding out ketika membaca. Kalimatnya juga pendek-pendek, dengan rata-rata satu suku kata per kata.


Kalau tiap anak punya level yang berbeda, lalu bagaimana literacy program dijalankan? Satu hal yang patut dicatat adalah, pada level early literacy, proses pembelajaran selalu dalam bentuk one-on-one atau group reading. Perkembangan tiap anak akan dicatat. Seorang anak bisa saja meloncat ke 2-3 level di atasnya bila dianggap siap, namun bisa juga 'ngendon' lama di level tertentu. Adzra misalnya, di grade 1 ini mulai dari level 6, meloncat ke 8, 10, dan sekarang 12. Dulu saat masih di Prep Year, durasi di level 1-3 saja lebih dari setengah tahun.


Toh itu tidak membuat saya cemas. Saya justru lebih khawatir ketika ada level yang diloncati. Jangan-jangan dia malah jadi kesulitan membaca, dan ujung-ujungnya malah jadi malas membaca. Bila ada level yang dilewati, saya biasanya mengecek garis warna-warni di halaman belakang buku. Ternyata level yang diloncati masih setara dengan level buku yang dia baca. Syukurlah kalau begitu. Saya pribadi tidak ingin Adzra buru-buru loncat ke level 15 misalnya. Too risky! Lebih asyik menikmati dia membaca cerita di level sesuai dengan kemampuannya. Di situ dia bisa membaca dengan tone yang pas dengan jalannya cerita. Bila ada 1-2 kata yang dia masih struggling, di situlah 'comprehensible input' masuk. Ini katanya teori Second Language Acquisition.


Bagaimana pula jenis teks yang dibaca? Di kacamata seorang pengajar bahasa Inggris seperti saya, menarik sekali mengamati bagaimana berbagai jenis teks (narrative, recount, descriptive, report, procedure) sudah menjadi bagian sehari-hari. Bahkan Adzrapun paham bahwa di dalam cerita fiksi, selalu ada problem (conflict). Akhirnya diskusi saya dengan dia setelah baca buku jadi menarik. Saya bisa tanya, "what's the problem in the story?," "who's the character," "do you think this is real?" Atau kadang Adzra sendiri yang berkomentar, "that can't be real." Atau bagaimana telinganya menangkap nuansa puitis dalam baris kalimat, "wow, these words rhyme."

Menengok program literasi di tanah air (bila ada), kita tidak perlu kaget mengapa ranking Indonesia di tes PISA 2013 hampir buncit (64 dari 65 negara peserta untuk reading literacy). Problemnya bukan hanya sekedar kebiasaan membaca di kelas dan di rumah. Critical literacy skill belum menjadi bagian dari proses pembelajaran. Sementara di sini, ketrampilan ini justru sudah dibangun sejak dini, sejak anak masih belajar membaca.

Mudah-mudahan saya tidak salah berasumsi. Tapi saya kok belum pernah melihat ada reading level yang dipakai untuk kategorisasi buku bacaan di tanah air. Bahkan kalau dilihat materi yang dibagikan sebagai bagian dari kurikulum, 2013 misalnya, jelas kelihatan bahwa anak diasumsikan berada di tingkat membaca yang sama. Buktinya, buku pegangan cuma satu. Saya tidak bicara tentang Lembar Kerja Siswa (LKS) atau buku penunjang.Tapi anak kelas 1 tidak bisa diasumsikan sudah pintar membaca kan? Bila sejak dini pembelajaran 'hanya' merujuk pada 1 sumber, bisa dibayangkan berapa ratus ribu anak yang berisiko 'belum melek literasi' dan tidak terdeteksi. Dan masalah ini akan berulang, menumpuk sampai ke level berikutnya.


Repotnya, pandangan umum tentang literasi adalah mampu baca tulis. Kalau sudah mampu mengeja huruf, membaca kalimat pendek, maka diasumsikan anak akan jalan sendiri. Lupa bahwa kemampuan membaca itu juga bertahap, perlu dilatihkan berulang-ulang. Supaya terbentuk menjadi kebiasaan yang menyenangkan. Dan lebih penting lagi, anak perlu dipaparkan pada berbagai jenis teks. Lha untuk hal yang terakhir ini saja, nampaknya masih jauh panggang dari api.


Di sisi lain, reading level 1-26 di luar negeri ditargetkan untuk dilampaui ketika anak sudah sampai di grade 2/3. Setelah itu, anak-anak sudah mulai membaca chapter books (buku yang ada bab-babnya seperti novel anak-anak) sendiri. Meski begitu, chapter books juga sudah dikenal anak-anak sejak di grade 1, melalui storytelling session di kelas. Adzra sudah mengenal cerita Charlie and the Chocolate Factory karangan Roald Dahl karena gurunya yang baca buku di kelas.


Keikut-sertaan Indonesia di tes PISA sepertinya amat riskan dan sulit diharapkan mendongkrak ranking (meski ini bukan satu-satunya tujuan). Mau diganti berapa kalipun kurikulum pendidikan, selama program literasi tidak dibenahi dari tingkat dini, akan sulit diharapkan terbentuknya masyarakat yang melek literasi. Ini adalah proses yang akan memakan waktu yang lama. Mungkin 10 tahun. Mungkin 1 generasi. Tidak mungkin kita berangan-angan, bila kurikulum 2013 dibuat berbasis literasi misalnya, maka dalam tes PISA mendatang, ranking Indonesia akan terdongkrak di posisi 20 besar. Patutlah diapreasiasi kehendak pemerintah untuk ikut serta di tes internasional ini. Namun yang lebih penting adalah mempersiapkan program literasi yang solid dan menyentuh sejak pendidikan usia dini.


Pendidikan memang proses yang panjang dan tidak segera kelihatan hasilnya. Bila tidak dimulai sejak sekarang, kapan kita mau melihat keberhasilannya?

MELEK LITERASI = MENJADI MODERN?

Saya lagi sedikit galau. Setelah hampir dua bulan berkutat dengan bab tentang proses kreatif para buruh migran Indonesia di Hong Kong yang aktif menulis, entah darimana asalnya, saya tiba-tiba mengarahkan bab ini ke tema Literacy and Modernity. Sebenarnya bukan muncul tiba-tiba ding. Supervisor saya pernah menyelipkan komentar tentang konsep modernity di bab sebelumnya tentang 'suitcase libraries' yang sementara saya anggap kelar.

Jadilah saya intip-intip lagi referensi tentang Modernity. Semakin bersemangat ketika supervisor malah mengusulkan tema ini untuk keseluruhan tesis. Namun sisi lain otak saya bicara, "waduh, ini akan jadi a big overhaul." Tesisnya akan lebih kompleks, meski tak berubah haluan seperti dugaan awal saya. Toh akhirnya saya terima 'tantangan' ini. 

Semakin banyak baca, saya jadi semakin ragu dengan argumen saya. Saya coba kaitkan antara literasi dengan modernitas, dan yang muncul adalah pandangan bahwa literasi adalah bagian dari proses modernisasi. Dalam konsep masyarakat modern, literasi adalah salah satu aspek yang menjadi tolok ukur terjadinya transformasi sosial. Tujuan peningkatan kemampuan literasi dalam tataran ini adalah adalah social mobility, advanced cognition, modern individuals (and community)

Sebenarnya tidak ada yang salah. Siapa pula yang akan menolak anggapan bahwa literasi tidak penting untuk arah modernisasi seperti yang saya katakan di atas? Masalahnya, saya sudah terlanjur menyatakan sejak awal tesis bahwa saya mengikuti ideological model of literacy. Dalam model ini, literasi adalah praktik sosial yang sarat dengan relasi kekuasaan dan amat dipengaruhi oleh konteks sosial budaya. Sedangkan pandangan tentang literasi sebagai jalan menuju modernisasi adalah inti dari 'autonomous model of literacy.' Bertolak belakang dengan model ideologis, model otonomi dinilai netral dari nilai-nilai sosial budaya.

Tentu saja saya tidak ingin mengubah model. Bagaimanapun, penelitian saya adalah literasi sebagai praktik sosial, terutama pada komunitas buruh migran. Lalu apa kemudian saya tidak bisa mengatakan bahwa literasi mereka adalah bagian dari proses menjadi 'lebih modern?'

Di sinilah saya mulai melek lagi dengan adanya berbagai lapisan konsep modernitas. Membaca lagi referensi ternyata membuat pikiran jadi lebih teliti dan kritis (hikks, kemana aja selama ini?). Modernitas yang diusung konsep literasi model otonomi adalah modernitas a la Barat. Proses menjadi modern dianggap sebagai proses yang linier, yang ditandai dengan prosedur, keteraturan, dan berbagai aspek yang membuktikan terjadinya transformasi sosial. Model ini mengacu pada dunia Barat (khususnya AS) sebagai tolok ukur. Negara (atau komunitas) lain bisa dianggap modern bila memenuhi ciri-ciri yang bisa ditemukan di masyarakat modern di berbagai belahan dunia (terutama 'negara berkembang').

Konsep modernitas yang tunggal ini sudah lama menjadi sasaran kritik para sosiolog dan pakar budaya. Alasan utamanya, modernitas tidaklah berarti 'kebarat-baratan.' Setiap negara dan komunitas masyarakat memiliki jalan sendiri-sendiri dalam mencapai masyarakat modern, dengan proses yang tidak linier. Lebih dari itu, makna modern itu beda di mata masyarakat lain. 

Maka muncullah konsep 'alternative modernity,' dan kemudian ada lagi 'multiple modernities.' Belum lagi 'varieties of modernity.' Asli saya sempat bingung mau yang mana (Emang lagi shopping?) Tapi ternyata saya bisa saja memadukan mana yang pas dengan argumen saya. Yang jelas sekarang saya sudah menemukan jawabannya (untuk sementara). Literasi para BMI adalah bagian dari proses modernisasi dalam perspektif 'multiple modernities.'

Lalu apa sebenarnya makna modern itu? Mungkin selama ini kita cenderung berasumsi bahwa kata modern memiliki aspek spatial. Maksudnya merujuk pada satu tempat. Surabaya itu modern, dan sebuah desa terpencil bernama A itu belum modern. Itu kalau kita pakai kacamata modernitas yang singular. 

Modern bukanlah semata-mata dilihat dari baju apa yang kita kenakan, HP merek apa yang kita genggam, di mana kita tinggal, di warung mana kita makan? Modern lebih tepat terarah pada apa yang ada di benak kita. Apakah kita senantiasa mempertanyakan realita yang ada di sekitar kita? Apakah kita mampu melakukan koreksi diri? Apakah kita mampu memainkan peran lain di luar yang sudah ditempelkan pada kita? Baik secara individu maupun kolektif. Bila jawabannya YA, maka di situlah sosok manusia modern ditemukan.

Kembali ke literasi dan modernitas. Apabila keterlibatan para BMI di dunia literasi mampu mengubah peran mereka dari 'sekedar' pekerja rumah tangga, saya berani mengangkat tema modernitas untuk keseluruhan tesis saya. Dan nyatanya, para BMI penulis yang saya kenal itu mampu berperan jamak. Mereka memang domestic helper, namun sekaligus penulis, jurnalis, editor, penggerak perpustakaan, blogger. Lebih dari itu, mereka menggerakkan literasi untuk pemberdayaan komunitas. 

Saya jadi bertanya pada diri sendiri. Untuk apa praktik literasi saya selama ini? Apakah saya membaca dan menulis hanya untuk kepentingan diri sendiri? Apakah bacaan dan tulisan saya membuat saya berperan lebih dari sekedar mahasiswa PhD atau dosen yang sedang tugas belajar? Pendeknya, apakah saya boleh memasang label 'modern' pada diri saya sendiri? 

Inilah sementara curhat saya tentang literasi (sambil membayangkan 3-4 minggu ke depan menata ulang kerangka teori*:| straight face).