Monday, July 07, 2014

Humanity-driven Knowledge

Barangkali ini yang Meaghan Morris maksud dengan humanity-driven knowledge. Profesor Cultural Studies dari Sydney University ini menekankan pentingnya upaya mencari ilmu atas dasar kemanusiaan. Bukan sekedar pemenuhan diri, namun berorientasi pada manfaat buat kemanusiaan.
Hari ini kami, peserta IACS Summer School dijadwalkan melakukan field trip. Kelompok C, di mana saya berada, dan F, akan mengunjungi kantor Taiwan International Workers' Association (TIWA) di Taipei. Sejak awal memang saya sudah mengajukan diri untuk ikut kunjungan ini. Amat relevan dengan penelitian saya. Kelompok lain (A dan B) diarahkan ke asosiasi pekerja seks, sedangkan kelompok D dan E pergi ke kelompok pekerja seni.Pengelompokan ini sesuai dengan minat masing-masing peserta.
Naik bus sekitar 1 jam dari Hsinchu ke Taipei, akhirnya kami sampai di markas TIWA. Di kantornya yang sederhana, saya menangkap suasana Filipina yang kental. Pengumuman dalam bahasa Tagalog dan Mandarin nempel di sepanjang dinding. Foto-foto kegiatan rally dan budaya. Gereja Katolik, di mana TKW Filipina sering bertemu, berada tidak jauh dari kantor TIWA.
Jingru, aktivis buruh dan pengurus TIWA, menyambut kami, dan membuka pertemuan dengan presentasinya. Sempat saya tanya di mana BMI berada. Ternyata memang TKW Indonesia lebih banyak berkumpul di daerah yang lain. Meski mereka juga sering terlibat dalam kegiatan TIWA.
Selama presentasi Jingru, kami disuguhkan jejak-jejak perjuangan TIWA menyuarakan hak-hak buruh migran. Di sinilah emosi saya terasa diaduk-aduk. Sesak mengetahui bahwa ternyata pemerintah Taiwan tidak/belum memiliki peraturan buruh migran yang jelas untuk memberikan perlindungan hukum.

Tiga tahun bergulat dengan berbagai hasil penelitian dan data lapangan, saya paham bahwa kondisi di Hong Kong cukup memihak buruh migran. Ada peraturan gaji minimum, kewajiban majikan memberi hari libur. Bila tidak diberikan, maka majikan wajib memberikan kompensasi. Yang lebih penting lagi, buruh migran mendapatkan kebebasan berorganisasi.

Tidak heran muncul puluhan komunitas di kalangan BMI Hong Kong dengan berbagai aktivitas positif. Dan kondisi yang kondusif ini saja masih memberikan peluang pelanggaran di lapangan. Buruh migran yang masih baru dan naif cenderung tidak memiliki posisi tawar ketika hak-hak itu tidak mereka dapatkan. Karena memang tidak tahu (dan tidak pernah diberitahu oleh pihak agen).
Kondisi di Taiwan belum sebaik Hong Kong. Hak hari libur ternyata belum pernah tertulis di peraturan. Jadi bila buruh migran di Taiwan bisa libur di hari minggu, itu lebih karena 'belas kasihan' majikan. Itu juga bila mereka berani bertanya atau negosiasi dengan majikan. Dan kebanyakan hanya mendapatkan libur 1 kali/1 bulan. Ditambah lagi dengan beban kerja yang berat, yang bisa menguras kondisi fisik dan psikologis.
Ketika fieldwork di Hong Kong, saya sempat datang ke beberapa shelter yang menampung BMI bermasalah. Mendengarkan cerita mereka. Mengapa mereka lari dari majikan. Upaya asosiasi pekerja migran Indonesia berjuang di ranah hukum. Kali ini, di Taiwan, saya dihadapkan dengan pekerja Filipina yang juga lari dari majikannya. Tentang kontrak yang tidak sama dengan kenyataan. Tentang kekerasan yang dialami. Tak terasa mata saya berkaca-kaca. Membayangkan bangsa saya sendiri juga mengalami hal yang sama.
Itu barangkali alasan mengapa para buruh migran mencari pelarian di hari libur mereka. Memenuhi pertokoan yang hanya buka di akhir pekan. Little Manila. Itu julukan area ini. Serasa tidak berada di Taiwan. Penjual makanan. Salon. Kios kirim uang. Warnet. Penjual baju. Semuanya berbau Filipina. Persis dengan nuansa Kampung Jawa di area Causeway Bay dan Victoria Park di Hong Kong. Bedanya, di Little Manila ini, ada gang di mana tempat karaoke dan pub bertebaran. Bau bir dan asap rokok menyeruak dari ruangan yang temaram. Mengapa jadi seperti nuansa Dolly yang baru ditutup bu Risma ya?
Saya tidak tahu bagaimana suasana Kampung Jawa di sini. Kami tidak sempat ke area di mana BMI sering berkumpul. Dalam hati saya berharap tidak seperti Little Manila.
Kami juga berkesempatan menonton film dokumenter tentang perjuangan buruh migran Filipina yang bekerja di pabrik yang terancam ditutup. Sementara mereka belum menerima 3 bulan gaji. Plus terancam harus pulang tanpa hasil apa-apa. Tapi di antara perjuangan itu, terkuak fenomena lesbianisme di antara mereka. Itulah mengapa judulnya adalah The Lesbian Factory.
Saya sebenarnya sudah menonton film ini 3 tahun yang lalu. Supervisor saya, Fran Martin, memutarnya di kelas. Saat itu saya masih dalam tahap memperhalus proposal. Saat menonton kembali, saya merasakan koneksi yang lebih kental. Tentu saja karena saya sudah melihat sendiri fenomena yang sama dan cerita senada di kalangan BMI HK.
Dunia ini memang sempit. Jingru-lah yang ternyata memberikan film ini ke Fran. Dan bahkan buku Our Stories: Migration and Labour in Taiwan, karangan Ku Yu-Ling,  fiksi yang berdasarkan kisah BMI dan BMF di Taiwan, saya temukan di sini. Tahun lalu, Fran menyarankan saya mencari buku ini sebagai referensi. Tidak ketemu di perpustakaan di seluruh penjuru Australia. Siapa nyana ternyata TIWA-lah penggagasnya. Buku ini, versi Mandarinnya, meraih penghargaan sastra Taiwan di tahun 2007, dan baru diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris tahun 2011.

Di antara 18 peserta yang datang ke TIWA, saya satu-satunya yang sedang meneliti isu buruh migran. Di antara serunya sesi diskusi dan tanya jawab, tak pelak saya lumayan banyak tanya dan berbagi cerita tentang kondisi BMI di Hong Kong. Tentang kegiatan penulisan yang cukup berhasil menyuarakan aspirasi mereka. Melihat kondisi Taiwan yang tidak sebagus Hong Kong, Bila buku Our Stories ditulis oleh aktivis buruh berdasarkan testimoni para buruh migran, BMI HK justru menulis sendiri kisah mereka.
Sebenarnya komunitas penulis di kalangan BMI Taiwan juga ada, meski lebih sedikit jumlahnya. Sayang saya tidak sempat bertemu dengan mereka. Padahal ini salah satu tujuan saya ke Taiwan.  

Tapi saya sempat bertemu dengan seorang BMI yang berada di shelter TIWA. Ririn namanya, dari Malang. Menyalami saya sambil mengendong bayi yang mungkin baru berusia 3 bulan. Pertemuan yang singkat. Hanya 10 menit, sebelum dia pamit. Nampaknya siap-siap mau pulang ke Indonesia. Saya tidak sanggup bertanya apa masalahnya. Suara saya tercekat. Saya hanya sanggup merangkulnya, menepuk bahunya. "Ati-ati yo mbak."
Dalam perjalanan pulang di bus, pikiran saya sudah membayangkan akan memasukkan beberapa hasil pengamatan selama field trip ke dalam tesis saya. Mengulas sedikit buku Our Stories yang baru saja saya beli dari TIWA. Namun jauh di lubuk hati, ada rasa perih bagai tertusuk duri. Saya akan amat berdosa bila hanya tesis yang bisa saya hasilkan.
Sebagai peneliti, saya memang harus bisa menjaga jarak psikologis dengan isu yang saya angkat. Namun nurani saya tetap perlu menyuarakan keberpihakan. Bagaimana caranya?

Bisa jadi saya sedikit membantu mengedit tulisan teman-teman BMI HK. Mungkin saya sempat puas menterjemahkan kumpulan cerpen BMI HK ke dalam Bahasa Inggris. Tapi nampaknya itu belum akan cukup membantu menyuarakan perjuangan mereka. Semoga sebuah buku populer bisa saya persembahkan untuk mengangkat derajat para pahlawan devisa negara. Para perempuan tegar yang sudah menjadi bagian perjalanan hidup saya. Memberi inspirasi pada saya untuk tak pernah patah semangat. Semoga ini cara yang tepat untuk menyuarakan hati nurani saya.

Saturday, July 05, 2014

SINAUO BOSOMU DHEWE

Wingi aku ambek konco-konco sing melok Summer School dike'i kesempatan mlaku-mlaku nang Tunjungan. Eh, maksudku nang tengah kota Hsinchu. Tepakan pancene wingi kuliahe dipindah nang Museum Gambar ndhik tengah kota.

Yi Hong, arek ayu, panitia Summer School, sing arep mulai PhD nang Hawaii, Amerika, ngeke'i woro-woro:

"Rek, panitia nyediakno bis loro. Kelas buyar jam 6. Nek koen pingin ndelok-ndelok kota, tak ke'i 3 jam ya. Sak karepmu ate nang endi. Pokoke mbaliko nang Museum sak durunge jam 9. Bis ate nyusul rene jam sak mono. Nek koen telat, aku gak melok-melok. Tapi nek koen wis pingin ndang turu ngiler nang asrama, isok melok bis panitia sing jam 6."

Ya jelas aku milih mlaku-mlaku. Lha wong aku selak kudu buko. Telung ndino wingi buko menu teko panitia. Kotak mangan awan tak gawe buko.  Cek angele golek sing tepak nang ilat. Mau awan, Christen, arek Ostrali sing kuliah PhD nang Universitas Sydney, ngandhani aku. "Onok restoran Indonesia, Wik. Gak adoh kok. Engkok tak duduhi nggone."

Buyaran kuliah, arek-arek wis podo ribut. Terutama sing pingin mlaku-mlaku. "Nang endi enake, rek?" "Wis nurut sikil ae. Pokoke golek mangan." "Aku pingin golek oleh-oleh." Padha cemruwit kabeh.

Aku ambek konco-konco akhire sepakat mlaku nang arah kuil Cino. Jarene onok pasar malem ndhik sekitare. Dalane ya sak arah karo restoran Indonesia sing atene diduduhno Kristen. 

Mlaku-mlaku nang tengah kutho sing bek tulisan pager, apa maneh gak iso ngomong Mandarin. Rasane koyok Lost in Translation. Pancene kudu duwe strategi. Paling gampang sih nempel konco sing iso dadi penterjemah.

Pas ndhik pasar malem jelase akeh wong dodol mie. Martabak Taiwan. Bakso. Tapi ambu babi kabeh. Mulek rasene wetengku.

Tak delok Ellen, arek UI sing njupuk S2 Kajian Budaya, ngadeg nang ngarepe bakul martabak.

"Apa iku Len?" takonku.
"Koyoke cuma endhog mbak. Ditambahi sayur, trus kerang. Aman ketoke gawe sampeyan. Coba' takono."

Aku takon onok babine apa gak. Nggawe boso Inggris. Bakule kangelan njelasno. Tapi ndelok gerak-gerike, jarene gak onok babine.

"Ya wis aku pesen nggawe endhog loro. Gak athik kerang yo." Aku ngomong ngono ambek tanda 'Salam 2 Jari.' Bakule paling ya gak mungkin mikir aku ndukung Jokowi. Paling-paling aku ya kudu golput maneh, wong alamat gak iso nyoblos nang kene. Asline yo aku sik bingung.

Ngenteni bakule nggoreng, aku kok gak enak ati. Ellen iki sakjane ngono keturunan Tionghoa. Tapi kok yo gak isok Mandarin blas. Aku ambek Ellen tolah-toleh. Nggoleki konco peserta sing teka Cino daratan utowo Taiwan.

La kok tiba'e Christen sing dadi penyelamat. Arek sitok iki lanyah pol ngomong 'cang cing cung.' Lha wong pancene lagek neliti tentang budaya Cina gawe tesis S3-ne.

"Kris, takokno ono babine apa gak. Lengone kok meragukan ngono."

Embuh apa sing diomongno Kristen nang bakule. Tapi dheweke langsung ngandhani aku. "Iku lengo babi, rek."

Jam 6.40 sore. Kurang 9 menit maneh wis meh mlebu jam Maghrib. Iki ngono wetengku wis kosong mulai jam 4 isuk. "Wis aku tak mbalik nang depot Indonesia ae," jareku nang konco-konco sing wis mulai golek enggon lungguh.

Ellen melok. Kristen sempat bingung. "aku yok opo iki enake?" Tapi akhire ngomong, "Wis aku melok pisan. Pingin ngrasakno panganan Indonesia."

Mbalik dalan arah nang museum, aku, Ellen karo Kristen sik sempat longak-longong ndelok wong dodolan. Ellen ngiler pingin tuku sosis babi. Nyekel-nyekel daster, pingin nawar regane. Weleh weleh, pancen lucu kok donya iki. Onok arek Indonesia keturunan Tionghoa sing gak isok boco Cino. Kudu ngandhalno arek bule njelasno karepe.

Mangkane yo rek, mumpung sik podho isok boso Jowo, belajaro nulis nggawe boso Jowo. Sak durunge ilang kabur kanginan. Ojok sampek awake dhewe kudu nggoleki wong Leiden nang Londo kono, nek kene pingin sinau budayane dhewe.

                                                 Aku ambek Christen Cornell

                                            Aku, Ellen, pak Nando (sing duwe depot Karimantan)


Salam bonek teko Hsinchu, Taiwan

Wednesday, July 02, 2014

GOING INTER-ASIA, GOING GLOBAL

Menarik sekali mengamati mobilitas manusia dari satu tempat ke tempat lain, dan dari satu negara ke negara lain. Pastilah banyak alasan secara politik, ekonomi, pendidikan, budaya, dan sebagainya. Salah satu pendorong mobilitas ini adalah keinginan untuk lebih mengenal ‘tetangga.’ Tak kenal maka tak sayang. Semakin dekat, semakin kita merasa menjadi bagian di dalamnya.

Saat ini saya berada di Hsinchu, Taiwan. Mengikuti Inter-Asia Cultural Studies Summer School selama 2 minggu. “Kuliah intensif”nya diadakan di National Chiao Tung University. Sedangkan akomodasi peserta di asrama mahasiswa National Tsing Hua University. Kedua universitas besar ini bertetangga. Bahkan ada jalan ‘butulan’ dari asrama NTHU ke kampus NTCU.

Ada 45 peserta, mahasiswa S2 dan S3 dari berbagai negara. Hari pertama ini belum ada kuliah. Kami semua dapat giliran memperkenalkan diri. Darimana asal kami dan sedang meneliti apa. Dan di sinilah cerita Inter-Asia dimulai.

Ada peserta perempuan dari Taiwan yang sedang menempuh PhD di salah satu Pusat Kajian Budaya di India. Ketika dia berbicara, kentara sekali dia sudah mulai terpengaruh aksen India, dengan ‘th’ yang medok. Dengan guyon dia bilang bahwa Taiwan adalah salah satu propinsi negara India.
Sementara itu, Zayid, peserta Bangladesh, belajar di Korea, dan mendalami gerakan aktivis dan representasi budaya Korea.

Ada beberapa wajah bule di antara peserta. Peserta dari Baltimore, Maryland, AS, Ira Roberts namanya (Ira nama laki-laki) adalah mahasiswa PhD di McGill University, Canada. Dan yang dia teliti adalah budaya Cina daratan. Untuk itu dia sedang belajar bahasa Cina untuk bisa membaca arsip-arsip sejarah saat melakukan studi lapangan di Cina nantinya.

Ada lagi Thiti, anak muda dari Thailand, yang cukup bagus bahasa Indonesianya. Saat perkenalan formal, saya baru tahu bahwa dia baru mulai studi PhD di the University of California-Berkeley. Usut punya usut, bahasa Indonesianya didapatkan karena dia sedang meneliti novel-novel Pramudya Ananta Tur. Thiti sangat terkesan dengan gambaran gerakan politik di sastra Indonesia. Dia akan melakukan studi komparatif dengan sastra Thai. Lancar sekali dia bicara tentang Manifesto Kebudayaan dan Pancasila.

Lain lagi dengan Miriam. Perempuan Mexico yang mengaku easy going dan suka pesta ini terbang ke Malaysia. Belajar tentang Asia di University of Nottingham, Malaysia. Salah satu alasannya adalah untuk mencari tahu bagaimana sebenarnya karakter Asia. Stereotip negative tentang Asia cukup kental di kalangan orang Mexico. Harapannya, saat pulang ke Mexico nanti, dia bisa mendekonstruksi stereotip orang Asia.

Ada lagi Risa Tokugawa. Gadis Jepang funky dengan bandananya. Dia kuliah di salah satu universitas di Jepang, belajar tentan Malaysia. Dan logat Malay cukup kentara saat dia berbicara dalam Bahasa Inggris.

Ada juga Nubar Gurbanova, atau Zizi. Gadis cantik dari Azerbayzan ini adalah teman sekamar saya. Bahasa Indonesianya lancar sekali. Saat saya datang dan masuk kamar, saya dengar dia sedang ber-skype. Teman-temannya berbahasa Indonesia dengan logat Surabaya. Ternyata dia adalah mahasiswa S2 di Unair.

Banyak sekali cerita unik dan menarik. Salah satunya adalah ‘dibukanya’ pintu buat mahasiswa dari Cina daratan untuk datang dan belajar di Taiwan. Salah satu peserta bilang, saat rehat, Cina dan Taiwan tidak lagi memandang satu sama lain sebagai ‘musuh.’ Ya mungkin tetangga jauh tapi dekat, dekat tapi jauh begitulah. Yang penting sudah mulai mengakui eksistensi masing-masing dalam konteks hubungan internasional di tingkat kultural. Belum sampai ke hubungan diplomatik.

Dan pastinya ada saya. Orang Indonesia, belajar di Melbourne, meneliti tentang TKW, yang membawa saya ke Hong Kong. Saya sempat pamerkan salah satu antologi cerpen hasil karya FLP HK.

Perjalanan akademik yang unik inilah yang membawa saya dan peserta lain akhirnya bertemu di Taiwan. Negara yang juga unik dalam hal hubungan diplomatik dengan negara lain. Profesor Chen dari NCTU mengatakan bahwa kami semua yang notabene tidak kenal dengan Taiwan akan ‘dipaksa’ memahami dan merespon tentang sastra, budaya, politik Taiwan.

Peserta yang saya temui hari ini adalah sosok-sosok yang tinggi motivasi belajarnya. Nekad belajar tentang budaya yang tidak mereka pahami sebelumnya. Meaghan Morris, professor dari University of Sydney, menyebutkan prinsip yang menarik. Kita semua dalam pencarian ilmu demi kemanusiaan. Humanity-driven knowledge.

Saya pikir itulah yang menyatukan kami. Kami belajar bukan sekedar untuk selembar ijazah atau sertifikat. Keluar dari zona nyaman, masuk ke ‘area berbahaya.’ Namun karena kami ingin mengenal ‘tetangga’ lebih dekat, dan menjadikannya bagian cerita hidup kami.

Hari ini saya belajar bahwa menjadi Asia bukanlah satu pandangan/pemikiran tunggal. Menjadi Asia berarti siap untuk saling terhubung dan bekerja bersama untuk saling memahami. Itulah makna Inter-Asia.
Going Inter-Asia is really going global.

Salam,

Tiwik
Dorm Ching, lantai 10, NTHU
(Hsinchu yang amat gerah)

Serunya Persiapan ke Taiwan

Saya sedang berada di Hsinchu, Taiwan. Kedatangan saya dalam rangka mengikuti program Inter-Asia Cultural Studies (IACS) Summer School, mulai tanggal 1-15 Juli 2014. Meninggalkan dinginnya Melbourne barang sejenak. Merasakan panas dan gerahnya Hsinchu yang mengingatkan saya pada Surabaya.

Keikut-sertaan saya di Summer School (SS) ini adalah buah sebuah 'kenekadan.' Saya mendaftarkan diri saat baru selesai kemoterapi terakhir Desember yang lalu. Saat itu saya masih belum fit benar, dengan wajah menghitam karena efek kemo. Tapi Summer School ini sudah saya incar lama. Dua tahun sebelumnya, IACS Summer School diselenggarakan di Bangalore, India. Salah satu dosen Cultural Studies di Unimelb, Audrey Yue yang berasal dari Singapore, tapi sudah menjadi warga negara Aussie, baru saja balik sebagai narasumber. Dia mendorong saya untuk ikut di SS berikutnya. Agenda ini dilaksanakan setiap 2 tahun sekali, berselingan dengan IACS International Conference.

Tahun lalu, saya tidak jadi ikut IACS conference 2013 di Singapore. Pas hari saya harusnya presentasi, saya tengah ttergolek di rumah sakit untuk operasi payudara kiri.

Jadilah saya nekad bilang ke Fran, supervisor saya, yang juga pengurus IACS Society. Saya bilang bahwa saat ini saya mungkin kelihatan belum sehat, tapi saya optimis di bulan Juli nanti saya sudah pulih kembali. Seperti biasanya, Fran selalu mendukung keinginan-keinginan saya. Surat rekomendasi untuk keikut-sertaan ini segera dia buatkan sebagai salah satu syarat pendaftaran.

Setelah menunggu dua bulan, saya dapat informasi bahwa saya termasuk di antara 40 peserta yang lolos. Lebih gembira lagi, saya dapat travel scholarship sebesar 1000 USD dari panitia. Jadi saya tidak perlu khawatir tentang dana beli tiket. Ditambah dengan 'sangu' sebesar 500 AUD dari the School of Culture and Communication Unimelb, di mana saya belajar.

Tantangan berikutnya adalah memperoleh visa ke Taiwan. Sebagai pemegang paspor dinas, saya sebenarnya tidak bisa masuk ke Taiwan. Tidak ada hubungan diplomatik antara pemerintah Indonesia dan Taiwan.Hubungan bilateral hanya pada level ekonomi dan kebudayaan. Tapi saya spekulasi dengan paspor hijau saya yang masih valid dan belum pernah terpakai. Apalagi paspor dinas saya sudah mau expired di bulan Juli 2014. Kalau saya mau memperpanjang paspor dinas, saya akan butuh surat dari Setkab untuk perpanjangan masa studi. Di surat itu saya hanya dijatah 3 tahun sampai Juli. Itu artinya saya harus pulang ke Surabaya. Kalaupun diperpanjang, saya tetap saja tidak bisa masuk Taiwan.

Sebagai warga negara yang patuh, saya mencoba untuk berkonsultasi ke KJRI Melbourne. Bagaimana enaknya. Saya disarankan untuk terbang ke Taiwan lewat Indonesia. Itu artinya saya pulang ke Indonesia dengan paspor dinas. Dan terbang ke Taiwan dengan paspor hijau. Begitu pula baliknya. Saya mikir-mikir dengan keribetannya. Selain berat diongkos, saya harus pulang dulu untuk memperpanjang paspor dinas. Dan itu butuh waktu. Plus paspor dinas tidak bisa dipakai ke Taiwan. 

Setelah tanya teman-teman sesama pemegang paspor dinas, ternyata banyak yang akhirnya switch ke paspor hijau, menghindari ribetnya urusan perpanjangan di tahun ketiga. Banyak syaratnya. Ini sebenarnya bukan praktik yang disarankan. But many can get away with it. Hehe.

Maka paspor biru dan paspor hijau saya bawa ke kantor imigrasi Australia. Student Visa yang terhubung dengan paspor dinas perlu dipindahkan ke paspor hijau. Alhamdulillah hanya proses 5 menit. Tanpa bayar, karena saya pemegang student visa. Hematlah 70 dolar.

 
Berikutnya saya ke kantor perwakilan Taiwan di Melbourne CBD untuk mengurus visa. Panitia mensyaratkan bahwa visa harus sudah ada sebelum April untuk secara resmi diterima sebagai peserta Summer School.  Eh sampai sana, saya diberitahu bahwa saya tidak perlu visa. Sebagai pemegang visa Australia dan warga negara Indonesia, saya bisa masuk Taiwan hanya dengan entry permit. Dan itu bisa didapatkan secara online, 1 bulan menjelang keberangkatan.

Maka saya infokan ke panitia semua kondisi ini. Syukurlah mereka amat paham, dan saya tidak perlu mengirimkan dokumen apapun kecuali tiket pp yang sudah harus dipegang. Tidak apa keluar modal dulu. Nanti sampai Taiwan akan langsung diganti 1000 US$.

Saya sudah excited dengan rencana ini. Apalagi temanya tentang Modern Asian Thought pas benar dengan perubahan tema sentral tesis saya. Saya mencoba menggandengkan antara praktik literasi BMI HK dengan konsep modernitas alternatif.

Dua bulan menjelang hari H, semua materi sudah mulai dikirimkan untuk mulai dicicil dibaca. Satu bulan kemudian saya apply entry permit secara online. 10 menit langsung approved. Langsung saya print Certificate of Authorization to Enter Taiwan. Lengkaplah semua dokumen yang diperlukan untuk masuk ke Taiwan. Paspor yang masih valid sampai 6 bulan ke depan, visa Australia, tiket pp, dan entry permit.

Hari ini hari kedua. Kuliah akan dimulai jam 1 siang nanti. Waktunya baca materi. Hari ini kelas akan membaca cerpen berjudul Filiality Park. Saya sudah sempat nyicil baca, walaupun harus diulang lagi. Cerita yang menarik, dengan latar belakang sejarah Taiwan saat menjadi koloni Jepang.

Sastra di kajian budaya menjadi semakin berkilau dan relevan dengan kondisi dunia di saat ini. Saya tidak sabar menantikan diskusi di kelas nanti.

Sudah sahur, shubuh, tilawah ODOJ, skype dengan Adzra, Ganta, dan ayahnya yang juga baru usai sahur di Melbourne. Di layar laptop, mereka lengkap dengan baju hangat penghalau dinginnya Melby. Sementara saya sedang gobyos di Student lounge, saat semua peserta masih tidur.

Hal-hal menyenangkan dan menyejukkan sudah memulai pagi ini. Waktunya baca materi.