Saturday, August 30, 2014

TUTORING EXPERIENCE

Di paruh kedua tahun ketiga studi saya sekarang, saya harus semakin rajin ngampus untuk nulis tesis. Selain itu saya juga disibukkan dengan tugas mengajar sebagai tutor. Saya didapuk mengajar mata kuliah Media, Identity, and Everyday Life, untuk mahasiswa S1 semester 2. Mayoritas berasal dari Faculty of Arts, seperti Cultural Studies, Media and Communication, Music, atau Linguistics. Namun ada juga mahasiswa Sains. Mata kuliah (di sini disebut dengan Subject) ini memang ditawarkan sebagai breadth subject, semacam Mata Kuliah Umum (MKU), untuk mahasiswa di luar lingkup Arts.

Saya merasa beruntung karena bahan bacaan di mata kuliah ini relevan sekali dengan kajian teori tesis saya. Selain itu, saya semakin merasa bahwa satu kaki saya ada di sastra, dan kaki yang lain di media/komunikasi. Bagaimana tidak, teori-teorinya sudah lumayan saya kenal di dunia bahasa dan sastra, seperti semiotik misalnya. Namun objek yang dianalisis beralih ke iklan, film, TV, dan kehidupan sehari-hari. Tidak lagi bergulat dengan karya sastra.

Di sini perkuliahan berlangsung selama 12 minggu, dan sudah berlangsung lima kali pertemuan. Dalam sistem tutorial ini, jumlah mahasiswa yang mengambil mata kuliah tertentu cukup besar, antara 300-400an. Perkuliahan disampaikan oleh subject coordinator di ruang besar (di sini disebut dengan theatre).  Tiap minggu tugas tutor adalah ikut perkuliahan (2 x 1 jam). Kebetulan kedua subject coordinators adalah supervisor saya. Sementara itu, tutorial dilakukan dalam bentuk kelas kecil (15 mahasiswa). Dengan demikian butuh cukup banyak tutor untuk mata kuliah ini. Saya sendiri memegang dua kelas tutorial. Sebagai tutor selama 1 jam/kelas, tugas saya adalah memberikan latihan-latihan untuk pendalaman materi. Kadang-kadang saya perlu memberikan penjelasan ringkas materi bacaan.

                                                              Modul mata kuliah (dok. pribadi)


Mengajar lagi memang menyenangkan. Tapi saya jadi suka senewen juga. Meski cuma 2 kelas, saya harus membaca dan memahami materi, menyiapkan powerpoint singkat, dan membuat rancangan kegiatan di kelas. Maklum yang diajar mayoritas anak bule yang baru saja duduk di bangku kuliah. Bahasa Inggrisnya sih jelas pinter, tapi belum tentu paham teori yang rada melip. Lha kalau yang ngajar bukan penutur asli seperti saya (tutor yang lain mahasiswa PhD dari Aussie), kuatirnya terjadi lost in translation. Untungnya mahasiswa saya amat respectful. Selama ini belum ada ceritanya mahasiswa ngobrol sendiri atau males-malesan. Entah karena saya buat sibuk dengan tema diskusi atau praktik mini etnografi. Pokoknya saya harus mengerahkan semua jurus mengajar yang pernah saya pakai biar tidak membuat bosan. 

Mungkin saking seriusnya melakukan persiapan mengajar, supervisor saya melihat saya sempat kedodoran dengan tesis. Pernah saya harus minta extension setor draft tulisan karena waktu saya tersita untuk membaca materi mengajar dan persiapan kelas. Alhamdulillah sekarang sudah mulai seimbang. 

Menekuni pekerjaan yang sesuai dengan minat dan kemampuan dan sekaligus memberikan tantangan baru memang mengasyikkan. Waktu perkuliahan baru dimulai, supervisor saya bertanya apakah saya sreg dengan tugas ini. “Are you happy with this Tiwi?” Iya lah, saya boleh mengatakan bahwa mata kuliah ini ‘saya banget.’ Di beberapa topik dibahas di minggu-minggu pertama, kuliah membahas pengaruh budaya komoditas dan pembacaan iklan. Saya cukup akrab dengan topik ini. Saya pernah membahasnya di kelas teori Sastra yang saya ajar beberapa tahun yang lalu. Memang tataran analisisnya belum semendalam yang dilakukan di sini. Saat itu mahasiswa saya di prodi Sastra Inggris Unesa juga saya ajak membedah iklan melalui pisau semiotik. Nah sekarang ketemu lagi hal yang sama. Di tutorial yang saya pegang,saya mengajak mahasiswa membedah iklan yang saya gunting dari majalah. Yang menarik, ternyata ideologi atau mitos white beauty standard atau eurocentrism bertebaran di mana-mana. Mau iklan di negara Barat ataupun di tanah air. Saya tersenyum sendiri ketika mahasiswa berdiskusi dan kurang paham bagaimana membaca simbol-simbol dan menterjemahkannya ke dalam tataran ideologi. Ada kepuasan yang saya rasakan ketika akhirnya mereka bisa menangkap makna ideologisnya.

Latihan semacam ini sebenarnya adalah bagian dari critical literacy, dalam hal ini literasi media. Dalam bahasa mbak Sirikit Syah, ini adalah cara untuk mengajak masyarakat melek media. Saya lihat anak-anak semester dua di sini nampak sekali sudah terlatih berpikir kritis dan mengungkapkan pandangannya. Amat bisa dipahami sih, karena Ganta, anak saya yang di SMA kelas 12, sebenarnya sudah belajar tentang pembacaan iklan di mata pelajaran Media yang diambilnya sejak kelas 11 yang lalu. Baru minggu lalu Ganta bertanya apakah saya paham tentang ‘bullet theory’ dan ‘use-and-gratification’ theory. Hiks, anak saya sudah belajar menjadi audience yang kritis, sementara istilah-istilah itu baru saya pahami beberapa tahun terakhir.  

Dari beberapa referensi yang pernah saya baca, salah satu alasan mengapa Media menjadi mapel di SMA di Aussie (dan banyak negara lain) adalah karena gempuran media dan teknologi yang semakin tak bisa dibendung. Itulah sebabnya anak perlu dibekali ilmu dan ketrampilan agar bisa menyaring informasi secara cerdas dan kritis.

Tugas menganalisis iklan adalah tugas esai pertama yang harus disetor mahasiswa minggu depan. Sementara itu, tugas kedua sudah mulai bergulir. Cultureblogging. Ini tugas yang menurut saya enak banget. Mahasiswa bisa menjadi diri sendiri. Menulis tentang refleksi diri dalam berinteraksi dengan media dan teknologi dalam kehidupan sehari-hari. Di Learning Management System (online learning system) sudah dipasang blog internal yang bisa diakses mahasiswa dan staf pengajar mata kuliah Media, Identity, and Everyday Life. Mahasiswa yang jumlahnya 300an lebih itu diminta menulis rutin antara minggu ke 5-12. Minimal posting 6 kali. Selain itu mereka harus aktif menengok tulisan lain dengan memberikan komentar. Jadi tidak mungkin ada ceritanya mahasiswa baru akan mengerjakan tugas di akhir semester. Pasti akan ketahuan dari tanggal posting.

Buat orang yang suka nulis, tugas seperti ini gurih banget. Tinggal menghubungkan antara praktik sehari-hari dengan bahan bacaan yang dibahas di matkul ini. Itupun tidak perlu ditulis dengan bahasa akademis. Be yourself. Saya sudah melihat tulisan-tulisan mahasiswa tentang sebelnya melihat acara X-Factor, nostalgia acara TV jaman dulu seperti Tom & Jerry, komentar kontroversial tentang sosok Nicki Minaj, dan banyak lagi. Untuk memotivasi, bahkan dosen sendiri juga posting tulisan.

Tugas Cultureblogging ini mengingatkan saya dengan pola yang pernah saya pakai di mata kuliah Cross Cultural Understanding yang saya ajar dulu. Saya meminta mahasiswa untuk menengok blog saya. Saya meminta mereka untuk membaca tulisan saya yang bertema budaya, dan menuliskan komentar mereka dalam bahasa Inggris di blog. Dari tulisan mereka, saya berasumsi bahwa hampir semua mahasiswa menikmati tugas ini (semoga benar begitu), dan komentar mereka mengandung refleksi diri juga. Yang lucu, beberapa di antaranya belum punya email saat itu. Jadilah tugas ini sekaligus memaksa mereka untuk membuka akun baru agar bisa posting. Meski begitu ada juga yang nunut akun temannya. Kalau yang model begini biasanya akan menulis, “Mam, this is …. I’m using …’s account, hehe.”

Rapinya sistem perkuliahan dengan model tutorial untuk mata kuliah content/MKU dengan jumlah mahasiswa ratusan ini membuat saya terpikir untuk bisa mengadaptasinya di Unesa nanti. Selama ini mata kuliah kelas besar cenderung diajar beberapa dosen yang ‘jalan sendiri-sendiri.’ Entah materinya sama atau tidak, apalagi asesmennya. Team teaching kadang juga tidak terlalu jalan. Di prodi Sastra, kami sebenarnya sudah mencoba merintis team teaching yang lebih solid. Bahan bacaan harus sama, meski cara mengajarnya bisa beda.  Ini yang dulu saya dan pak Khoiri selalu lakukan untuk mata kuliah yang kami ajar bareng.  

Saya sempat mengungkapkan usulan mengadaptasi model tutorial ini di grup whatsapp dosen jurusan Bahasa dan Sastra Inggris. Bila di sini mahasiswa PhD yang jadi tutor, maka Unesa bisa memasang dosen-dosen muda. Dengan demikian dosen muda bisa belajar dari yang lebih senior. Kan mereka harus ikut kuliah juga. Tugas mereka adalah membantu mahasiswa mendalami materi melalui latihan-latihan di kelas lebih kecil. Keuntungan yang lain, sistem pencangkokan bisa berjalan lebih efektif. Di sisi lain, dosen yang lebih senior juga didorong lebih ‘serius’ untuk terus memperbarui wawasan keilmuan dan cara mengajarnya. Ada dosen muda yang menjadi ‘audience’ mereka juga. Jangan sampai 'ngisin-ngisini' cara mengajar dan penguasaan materinya, hehe

Kajur jurusan Inggris, Pak Slamet Setiawan mendukung usulan ini. Bahkan beliau sebenarnya sudah melangkah lebih dulu. Beliau sudah mengajukan usulan ini di Unesa. Pak Slamet sendiri pernah menjadi tutor saat kuliah S3 di University of Western Australia. Aslinya saya pingin mencoba jadi tutor karena terinspirasi beliau. Pak Slamet paham betul manfaat model tutorial ini dalam meningkatkan kualitas pembelajaran di perguruan tinggi. Jadi tutor butuh keseriusan yang sama dengan mengajar mata kuliah yang kita ampu sendiri.

Semoga pengalaman ini ada manfaatnya buat lembaga, dan sistem seperti ini bisa meningkatkan kualitas pembelajaran di Unesa.

Surau Kita-Coburg, 30 Agustus 2014
(Sambil menunggu Adzra belajar mengaji tiap Sabtu pagi)

Sunday, August 03, 2014

MENGENANG SEORANG SAHABAT TERBAIK

Jantung saya serasa berhenti berdetak ketika membaca postingan mas Satria Dharma di milis Keluarga Unesa Sabtu kemarin. Beliau meneruskan kabar dari Ella, bahwa rekan kami semua, Rukin Firda, kecelakaan, dan meninggal dunia. Saat berita itu dikirim, jenazah masih berada di RS Khadijah Surabaya. 

Masih tak percaya, saya menelpon suami di Surabaya. Saya tahu mas Prapto sedang menghadiri halal bihalal Himapala Unesa. Saya, mas Prapto, Rukin, dan Ella, adalah senior organisasi pencinta alam di kampus tercinta ini. Yuni, istri Rukin, dan mas Ayik, suami Ella, juga adalah anggota senior. Saya yakin mas Prapto bisa memberikan info lebih jelas. Dan berita kecelakaan itu ternyata benar adanya. 

Innalillahi wa inna ilaihi roji'un.

Kenangan saya bersama almarhum Rukin banyak terukir di masa-masa kuliah. Kami berdua adalah teman kuliah satu angkatan. Di jurusan Pendidikan Bahasa Inggris IKIP Surabaya angkatan 1985, barangkali banyak yang tahu bahwa saya dan Rukin adalah dua sahabat yang runtang-runtung kemana-mana. Sahabat plek. Apalagi setelah Rukin gabung ke Himapala (saya ikut sejak tahun 1986, sedang Rukin setahun berikutnya). Juga setelah kami sama-sama jadi pengurus Senat Fakultas.

Bersama dengan Rukin, saya menghabiskan banyak menit ngobrol bernas tentang perkuliahan dan kehidupan. Tentang keluarganya. Cita-citanya. Saat itu saya sadar bahwa Rukin adalah sosok yang lembut hatinya.

Ketika banyak teman di jurusan mengira kami punya hubungan spesial, kami suka senyam-senyum saja. Lha wong kita sama-sama tahu kisah pribadi masing-masing di lingkungan Himapala. Itu yang barangkali membuat persahabatan saya dengan Rukin terasa spesial. Murni persahabatan dan saling mendukung, dan kadang diselingi persaingan sehat.

Kami berdua juga hobi mengambil mata kuliah kakak kelas. Kuliah di kampus Pecindilan saat itu juga dilakoni bersama. Padahal kampusnya jauh dari Ketintang. Mata kuliah Olahraga juga kami belani ikut kakak kelas, dan ketika matkul itu muncul di angkatan kami, kami ikut lagi. Bukan untuk dapat nilai. Just for fun. Exercising. Menjadi anggota Himapala dan hobi olahraga, tidak heran badan saya masih 'kekar.'

Saya, Rukin, dan Ella termasuk sering ketemu di kegiatan tingkat institut. Misalnya saja, saat kami ikut Pelatihan Jurnalistik, Rukin mewakili FPBS, Ella mewakili FPTK, dan saya dikirim Himapala. Ini sama saja dengan Himapala diwakili tiga orang (belum termasuk teman lain, Farhan Effendi, sekarang redaktur Surya, yang saat itu mewakili FPIPS).

Kami berdua juga termasuk segelintir mahasiswa yang masuk jalur skripsi dari angkatan kami. Dan kami juga ujian skripsi bareng. Saya salut dan angkat jempol pada Rukin yang berani menulis skripsi tentang sastra. Analisis sastranya di kelas memang ciamik. Dan dia menulis tentang Ernest Hemingway. Saya sendiri saat itu kurang pede menulis tentang sastra. Lebih senang dengan penelitian sosiolinguistik dengan terjun ke lapangan.

Hidup memang unik. Saya yang pada awalnya ingin jadi wartawan malah kemudian menggeluti sastra. Meniti karir sebagai pendidik. Sementara Rukin, yang lulusan SPG Jombang, berjiwa pendidik, kemudian terjun di jurnalistik. Dia bergabung dengan Jawa Pos sebagai wartawan.

Lama tidak ketemu, dan hanya dengar kabar on and off melalui jaringan senior Himapala, saya ketemu lagi dengan Rukin saat dia meliput kegiatan di Universitas Wijaya Kusuma Surabaya. Saat itu saya masih menjadi dosen tetap di sana. Off lagi, tapi saling mengikuti perkembangan masing-masing,

Beberapa tahun kemudian, saya menjadi dosen PNS, kembali ke alma mater yang sudah berubah menjadi Universitas Negeri Surabaya. Menyusul Ella yang sudah lebih lama menjadi dosen di Unesa. Saya kemudian berkesempatan studi ke Texas, mendalami sastra murni.  Rukin termasuk salah satu teman yang suka email saya. Dia bahkan mengenali gaya tulisan saya tanpa melihat nama penulisnya. Itu ketika tulisan saya tentang kehidupan Muslim di Texas muncul di sebuah situs. Tulisan itu kebetulan terpilih sebagai tulisan favorit di lomba penulisan komunitas mahasiswa Indonesia di AS.

Komunikasi saya dengan Rukin menjadi intensif lagi berkat milis Keluarga Unesa, tempat alumni Unesa berjejaring. Di sini, tiga sahabat, Rukin, Ella, dan saya bekumpul kembali. Tidak lagi hanya sekedar saling kirim kabar, Namun sudah meningkat menjadi berjejaring dengan para miliser yang lain. Kepedulian kita terhadap pendidikan literasilah yang menyatukan kita semua. Ella sendiri sudah moncer sebagai profesor.

Dalam menjalankan tugasnya sebagai koordinator SM3-T Unesa dan direktur PPPG Unesa, Prof. Luthfiyah Nurlaela (sering kami plesetkan menjadi Sorella) sering melibatkan Rukin. Tak pelak sentuhan jurnalisme dari tangan Rukin dengan semangat pendidikan banyak mewarnai buku-buku yang mendokumentasikan kegiatan SM3-T Unesa. Ini tak lepas dari latar belakang pendidikan Rukin sendiri.

Saat kedua sahabat saya ini, Rukin dan Ella bergerak cepat, menerobos hutan dan sungai di daerah-daerah tertinggal, terpencil, terluar di wilayah Indonesia, saya suka 'ngiler.' Tulisan mereka sering mengisi milis Keluarga Unesa. Sementara saya dari jauh hanya bisa membayangkan saya bersama dengan mereka. Ingin segera selesai studi, agar bisa bergerak dan bersinergi kembali bersama sahabat-sahabat saya.

Ketika Rukin menyelesaikan S2-nya dengan cum laude di bidang Komunikasi, dan bercerita tentang keinginannya pensiun dari Jawa Pos, untuk kemudian membantu Unesa, saya sangat senang. Dalam angan saya, akan ada banyak kesempatan untuk berjejaring di tahun-tahun berikutnya.

Hari Jum'at yang lalu, Rukin menyapa saya di FB. Mengiyakan komentar Ella tentang foto saya yang katanya suuegger itu. Saya belum sempat menyapa balik. Ketika tersadarkan oleh kabar duka yang dikirim Ella di milis ini. Saya terdiam terpaku. Mata saya nanar. Tidak percaya dengan berita yang terlalu mengejutkan ini. Berharap kabar ini tidak benar. Namun suara suami di seberang sana mengatakan sebaliknya. Engkau memang telah pergi. 

Di hari ulang tahun saya saat ini, hanya sehari setelah meninggalnya Rukin Firda, perasaan saya masih terbawa suasana kehilangan seorang sahabat terbaik. Saya mencari-cari di rak buku. Barangkali ada peninggalan abadi yang menorehkan namanya. Saya raih empat buku. Ibu Guru, Saya Ingin Membaca; Jangan Tinggalkan Kami; Pena Alumni, dan Boom Literasi. Dua buku pertama adalah catatan pejuangan guru-guru muda di program SM3-T Unesa di berbagai pelosok negeri. Buku pertama mencantumkan Rukin Firda sebagai editor, sedangkan buku kedua digawangi bersama oleh Rukin Firda dan Luthfiyah Nurlaela.

Buku ketiga dan keempat adalah antologi tulisan para alumni Unesa yang aktif bergiat di literasi. Di dalam kedua buku ini, nama Rukin, Ella, dan saya termasuk dalam daftar penulis. Sebelumnya kami juga ikut menulis keroyokan dengan teman-teman lain sesama alumni Unesa di antologi cerpen Ndoro, Saya Ingin Bicara.


Berada jauh dari tanah air, saya hanya bisa berdoa agar almarhum Rukin mendapat tempat yang layak di sisi Allah SWT. Dan istrinya, Yuni, yang juga adik angkatan di Himapala tetap tabah menghadapi musibah ini. Saya yakin Yuni dan ketiga anaknya akan kuat menjalani cobaan ini.

Salah satu sahabat telah mendahului kami
Allah telah memanggil sosok yang dicintai banyak orang
Allah meminta dia kembali pulang
Meninggalkan ribuan kenangan manis
Mengetuk semua sahabat untuk melantunkan doa baginya

Innalillahi wa inna ilaihi roj'un

Sahabatku,
Semoga Allah memberikan tempat terbaik bagimu
Sejalan dengan tulusnya kauberikan dirimu
Untuk membawa manfaat bagi orang-orang di sekitarmu.
Insya Allah surga untukmu.

Brunswick, 3 Agustus 2014