Tuesday, November 17, 2015

Tetap Ikut Ujian S-3 meski Wajah Menghitam Akibat Kemo

Tulisan ini adalah hasil wawancara Jawa Pos dengan saya. Sebenarnya saat itu kami sedang meresmikan pendirian Pusat Literasi Unesa. Kami menandainya dengan Bedah Buku. Tapi ternyata wartawan malah tertarik dengan kisah saya sebagai berjuang melawan kanker payudara di tengah-tengah perjalanan studi saya di Melbourne. Semoga tulisan ini memberikan semangat bagi para perempuan untuk pantang menyerah saat menghadapi cobaan dan musibah. Ikhtiar, pikiran positif dan ihkhlas adalah kuncinya.

==============================================


Tetap Ikut Ujian S-3 meski Wajah Menghitam Akibat Kemo

Kisah Dosen Unesa Pratiwi Retnaningdyah Berjuang Melawan Kanker Payudara Mengidap kanker payudara bukan akhir dari segalanya. Pratiwi Retnaningdyah buktinya. Kendati divonis kanker payudara, dia mampu menyelesaikan studi S-3 di Australia.

PUJI TYAS/ JAWA POS
shock.Suroboyo PANTANG MENYERAH: Pratiwi Retnaningdyah tetap tegar saat divonis mengidap kanker payudara.

TIWIK –panggilan Pratiwi Retnaningdyah– lemas lunglai saat divonis mengidap kanker payudara pada awal 2013. Saat itu, Tiwik adalah mahasiswi S-3 yang sedang memasuki tahun kedua di University of Melbourne, Australia. Vonis itu sangat mengguncang hati Tiwik. Dia
Semua bermula saat Tiwik merasa ada yang tidak beres pada payudara kirinya. Perempuan yang juga dosen Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris Universitas Negeri Surabaya (Unesa) itu merasakan ada benjolan pada payudaranya. Meski tidak merasakan sakit apa pun, Tiwik memutuskan untuk memeriksakan diri. Arek
kelahiran 3 Agustus 1967 tersebut lantas bertandang kepada dokter umum di klinik kampusnya. Dokter lantas merujuk ke laboratorium agar Tiwik melakukan serang- kaian pemeriksaan. Mulai mammogram, USG, hingga biopsi. Saat itulah, Tiwik didiagnosis kanker payudara. ’’Stadium awal tidak, lanjut juga tidak. Stadium tengah,” tuturnya.
Kesadaran untuk memeriksakan diri itu bukan tanpa alasan. Dia punya pengalaman tidak menyenangkan terkait kanker payudara. Tiwik mengaku, adik perempuannya yang ketiga meninggal karena kanker payudara. Tepatnya enam bulan sebelum Tiwik divonis kanker. Saat itu, Tiwik berada di Melbourne.
Saat didiagnosis, Tiwik mencoba tegar. Namun, setegar-tegarnya perempuan, air matanya jatuh juga. Ibunda Ganta dan Adzra itu lantas menuju perpustakaan kampus
Dia menangis sambil terus menulis. Air matanya bercucuran. ”Saya ngetik tentang perasaan saya sambil menangis,” katanya.
Menumpahkan unek-unek dalam sebuah tulisan membuat Tiwik merasa lega. Tulisan yang diketik dalam bahasa Inggris itu pun disimpan rapi. Setelah beberapa waktu dan Tiwik yakin bahwa tulisan tentang kanker yang dideritanya tidak membuat orang sedih atau membuat dirinya dikasihani, Tiwik mengunggahnya dalam blog. Dia berharap ada manfaat yang bisa dipetik bagi orang lain atas peristiwa yang dialaminya.
Sekecil apa pun kanker harus ditangani. Dokter mengatakan, Tiwik harus segera dioperasi. Payudara kiri Tiwik pun diangkat. Serangkaian proses kemoterapi dijalaninya. ”Saya tahu kemo akan betul-betul melemahkan. Saya butuh suami untuk datang menemani saya,” terangnya. Suami Tiwik, Prapto Rusianto, yang berprofesi sebagai guru, psikolog, konselor, sekaligus konsultan psikologi pun lantas cuti. Dia mengambil pekerjaan sampingan di Melbourne. Di sana, sang suami mendampingi Tiwik selama total satu tahun. Kedua anaknya juga diboyong ke Melbourne. Mereka lebih dahulu sampai di Melbourne sejak awal Tiwik kuliah.
Dia bersyukur, perawatan kesehatan di Melbourne sangat bagus. Sebagai seorang mahasiswa, Tiwik di- cover oleh asuransi kesehatan. Semua biaya ditanggung asuransi. Tiwik hanya mengeluarkan uang untuk menambal biaya pengobatan yang kira-kira hanya Rp 40 juta dari keseluruhan biaya yang mencapai ratusan juta rupiah. ”Itu pun saya bayar nyicil,” tuturnya.
Vonis kanker payudara tidak lantas menjadikan studi Tiwik keteteran. Kepada supervisornya, Tiwik menyampaikan bahwa studi lapangan sudah dilakukannya. ”Saya bilang ke supervisor bahwa tidak ada masalah dengan penelitian saya. Tapi, saya sedang sakit. Perlu cuti beberapa bulan karena harus operasi dan kemo,” katanya.
Beruntung, jawaban sang supervisor sangat melegakan Tiwik. Dia meminta Tiwik tidak khawatir dengan studi. Toh, selama ini tidak ada kendala. Hal yang harus diprioritaskan adalah kesehatan. ”Lima tahun lagi PhD hanya menjadi satu bagian kecil dari hidup. Yang penting sekarang sembuh,” kata Tiwik menirukan jawaban sang supervisor. Tiwik pun mendapat izin cuti selama tiga bulan.
Perkembangan studi Tiwik berjalan dengan baik. Saat kemo keenam atau terakhir, cuti sakit Tiwik juga berakhir. Pada November 2013, dia mendapat e-mail dari kampus untuk melakukan progress review tahun kedua pada Desember 2013. ”Karena saya habis kemo, butuh istirahat dua minggu. Saya tanya ke supervisor apa bisa progress review diundur dua minggu saja,” katanya.
Tiwik meminta reschedule agar kondisi kesehatannya lebih kuat dan bisa membuat ringkasan untuk progress review- nya. Namun, kepada sang supervisor, Tiwik memastikan bahwa bab-bab untuk review sudah siap. Tiwik mengaku selama masa sakit, dirinya meluangkan waktu untuk ngebut mengerjakan riset. ”Jadi, pas kemo selesai, garapan sudah ada,” jelasnya.
Tidak mudah menjalani masa pengobatan sambil tetap belajar. Sebelum kemo dimulai setelah operasi, ada jeda waktu satu bulan. Tiwik mengisinya dengan ngebut mengerjakan tesis. Saat masa kemo, Tiwik mengisi waktu dengan membaca. Itu pun kalau kondisi badan mendukung.
Tiwik memang bertekad untuk tidak menunda studi. Dari faktor usia, Tiwik sudah di atas 45 tahun. Jika terus-menerus meratap, tentu tidak akan mengubah apa-apa. Dia juga tidak punya asisten rumah tangga, sementara studi harus tetap jalan. ”Sedih oke, tapi tidak boleh terpuruk,” tuturnya. Ya, Tiwik memang menangis. Tapi, dia berusaha untuk tidak menangis di depan dua anaknya. Tiwik menyampaikan kepada buah hatinya bahwa dirinya sedang sakit. Secara fisik, kondisinya tidak akan optimal beraktivitas untuk sementara waktu. Karena itu, dia meminta kepada anaknya untuk membantu dan bekerja sama dengan ayah dalam menjaga urusan rumah.
Beruntung, dua anak Tiwik bisa memahami kondisinya. Bahkan, ketika Tiwik tidak bisa menemani ke sekolah dan membacakan buku cerita, sang anak menenangkan. Begitu pula ketika mereka tahu Tiwik gundul karena sakit. ”Ibu tidak usah risau. Nanti rambutnya bisa tumbuh lagi,” katanya mengenang support buah hatinya.
Selesai kemo terakhir, Tiwik ikut ujian tahun kedua dalam kondisi badan lebih kurus. Wajahnya pun menghitam akibat kemo. Saat datang ke kampus untuk tanda tangan beberapa berkas, supervisor menyangsikan kondisinya. ”Kamu yakin akan ujian sekarang? Kami bisa mundurkan sampai Februari,” kata Tiwik, menirukan sang supervisor. Tapi, Tiwik bersikukuh ikut ujian. Dia sudah punya bahan untuk diujikan dalam progress review tahun kedua. Bahkan, bertandang ke Hongkong untuk riset lapangan sempat dilakukannya sebelum divonis kanker. Selama ujian, Tiwik mengakui kondisi fisiknya masih tidak fit. Namun, dia berhasil melaluinya dengan cukup baik.
Sepanjang 2013, Tiwik menjalani pengobatan selama setahun penuh. Kemoterapi dilakukan empat bulan. Selain itu, Tiwik mendapat treatment lain, yakni targeted therapy herceptin. ”Itu berlangsung 18 kali selama tiga minggu sekali,” katanya. Tiwik mengungkapkan, keseluruhan treatment- nya berakhir pada Oktober 2014 ketika dirinya berada di tahun ketiga S-3. Bagi Tiwik, kemoterapi utamalah yang membuat kondisi fisiknya sangat lemah. Namun, terapi herceptin tidak terlalu mengganggu aktivitasnya.
Sambil studi dan mengasuh anak, dia tetap aktif dalam kegiatan komunitas masyarakat Indonesia di Melbourne. Tiwik juga tetap bisa mengikuti kegiatan akademik seperti diskusi ilmiah dan presentasi di berbagai seminar secara aktif. Bahkan, dia menjadi tutor di kampusnya selama satu semester. Saat ini, perkembangan kesehatan Tiwik semakin baik. Dia sudah kembali mengajar di Unesa. Umumnya, kata Tiwik, penderita kanker payudara punya waktu lima tahun untuk dikatakan menjadi survivor, sembuh dari kanker.
Meski payudara kiri sudah diangkat, Tiwik tidak risau. Dia tidak mengkhawatirkan image tidak sempurna sebagai perempuan. Tiwik memang ditawari rekonstruksi payudara selama masa pendampingan. Namun, dia memilih tidak menerima tawaran itu. ”Suami juga bilang tidak perlu. Saya tenang karena ada support keluarga dan temanteman,” katanya.
Semasa sakit, Tiwik tetap rajin menulis. Ya, menulis memang menjadi minat dan perhatian Tiwik. Bahkan, studi S-3 Tiwik adalah tentang praktik literasi para buruh migran Indonesia di Hongkong. Dia mengakui sangat berkaca pada para tenaga kerja wanita (TKW) yang menjadi informan dalam penelitiannya. ”Saya punya banyak teman TKW yang nulis dan menerbitkan buku, seperti novel, cerpen, dan kumpulan puisi. Itu sangat menginspirasi,” terangnya.
Terkait studi, saat ini Tiwik sudah merampungkannya. Tesisnya sudah diserahkan. Sekarang masih dalam masa underexamination atau masa pengujian. ”Mudahmudahan akhir tahun ini bisa memperoleh hasilnya,” ujarnya.
Tiwik berharap tulisan dan ujian hidup selama didiagnosis kanker payudara bisa memberikan semangat kepada masyarakat, terutama teman-teman perempuan yang mengalami hal serupa. Sebab, akan selalu ada harapan dan jalan selama mau berusaha. ”Harus positive thinking, umur di tangan Tuhan,” terangnya. (*/c6/oni)

Thursday, August 20, 2015

MENJADI PELANGGAN YANG TELITI

Tadi malam belanja ke toko swalayan 'G' dekat rumah dengan Adzra, anak saya. Seperti biasa, saya mempertimbangkan harga barang. Mana produk yang lebih murah dengan kualitas sebanding, maka itu yang saya pilih. Itulah sebabnya saya cukup ingat berapa harga barang yang masuk ke keranjang belanja. Sampai di kasir, saya menerima printout total harga, yang membuat saya agak kaget. Tidak sesuai perkiraan saya. Setelah saya bayar, saya cek satu-persatu harga yang tertera. Dari situlah saya menemukan perbedaan harga satu item. Di struk tertera Rp. 18000an, sementara saya ingat bahwa saya memilih item itu karena harganya 16000an. Masih berpikir positif, mungkin saya yang salah lihat, saya memberitahukan ke kasir kalau saya mau masuk ke dalam lagi untuk memastikan kebenaran harga.

Betul perkiraan saya, ada kesalahan scan harga saat di kasir. Setelah saya beritahukan tentang perbedaan harga ini, saya kembali ke kasir. Salah satu staf memastikan kembali informasi yang saya sampaikan. Kasir akhirnya mengembalikan sisa uang sekitar 1500.

Bagi saya, ini bukan masalah uang yang mungkin jumlahnya remeh untuk sebagian orang. Ini adalah tentang hak konsumen. Mengalami kejadian ini membuat saya lebih awas dengan setiap harga barang yang saya beli agar tertera sama dengan di display dan kasir. Sebagai konsumen, saya tidak boleh mendiamkan saja, terutama juga agar pihak swalayan juga bisa langsung melakukan koreksi harga di sistem.

Hal yang lain yang saya catat adalah pelayanan yang kurang ramah. Kesalahan seperti ini belum tentu disengaja. Meskipun begitu, sebuah kekeliruan haruslah diikuti dengan permintaan maaf. Bukanlah citra sebuah tempat usaha bergantung pada layanan yang diberikan? Yang terjadi kemarin, kasir dan staf lain tidak melakukan kontak mata dengan saya. Juga tidak ada senyum, alih-alih kata 'maaf.' Sementara saya berupaya menyampaikan 'temuan' saya tadi dengan hati-hati dan santun agar tidak menyinggung perasaan.

Saya menerima kembalian uang dengan kata 'terima-kasih'. Saat berjalan pulang, saya memberitahukan ke Adzra akan pentingnya 'melek' harga barang dan mengecek kesesuaian harga di struk pembayaran. Pengalaman yang kurang enakpun adalah sarana pembelajaran untuk anak.

Pagi ini saya menceritakan kejadian tadi malam ke Abay, asisten rumah tangga kami. Ternyata dia sudah mengalami hal ini berulang kali, dan bahkan sudah pada titik menghindari belanja ke toko 'G' dengan alasan tersebut.

Barangkali saya dengan reverse culture shock. Kaget dengan harga barang di tanah air, tergagap dengan bedanya layanan pelanggan. Ataukah hal seperti ini memang sudah lama adanya. Entahlah. Yang jelas saya lebih menikmati belanja di pasar lokal atau toko 'mracang' dekat rumah. Di situ saya bisa dapat harga yang lebih ramah plus obrolan hangat dengan bu Imam atau mbak Yati di kios langganan saya.

Wednesday, July 15, 2015

Kacang ora Ninggal Lanjaran

Sekitar awal bulan Juni yang lalu, saat Ganta dan Adzra baru saja kembali ke tanah air, tiba-tiba saja saya dikagetkan dengan perubahan minat Ganta untuk pendafaran kuliah. Ganta dan Adzra memang pulang duluan ke Surabaya bersama mbah Kungnya. Saya perlu tinggal beberapa bulan lebih lama untuk merampungkan tesis.

Ganta perlu mempersiapkan diri untuk proses pendaftaran kuliah. Meski dia sudah menyelesaikan SMA nya di Brunswick Secondary College (BSC) akhir tahun 2014 yang lalu. Masa menunggu kepulangan dia gunakan untuk bekerja sampingan. Sedangkan Adzra juga melanjutkan sekolah di jenjang kelas 2 di SD.

Ini sekelumit percakapan kami saat itu.

Ganta: Bu, aku tak ambil Antropologi ya.
Ibu     : Oh ya, bagus itu. Tapi kenapa tiba-tiba berubah?
Ganta: Nggak, aku lihat ini kayaknya jurusan menarik. Tapi kenapa tidak banyak yang minat ya.
            Menurutku ini gabungan ilmu ibu dan ayah. Sastra dan psikologi. Jadi aku bisa dapat
            dua-duanya. Tapi aku gak ikut-ikutan kayak ibu dan ayah.
Ibu    : Sudah lihat struktur kurikulumnya? Biar bisa tahu mata kuliahnya seperti apa.

Jawaban saya yang sedikit terkesan datar-datar saja bukan berarti saya kurang sreg. Justru sebaliknya. Antropologi adalah separuh dunia saya. Saya ingin meyakinkan bahwa Ganta memilih dengan alasan-alasan yang tepat. Saya sendiri cukup paham seluk-beluk kajian dan metode di antropologi, meski bidang saya adalah sastra. Di bidang Cultural Studies yang tengah saya geluti di studi PhD saya sekarang ini, metode saya menggabungkan antara analisis tekstual (yang kental di sastra) dengan etnografi (metode utama di antropologi). Bahkan boleh dikata, penelitian saya tentang praktik literasi buruh migran Hong Kong kental dengan nafas antropologi.

Sambil ngobrol via Skype, saya browse struktur kurikulum Antropologi Unair. Saya tunjukkan beberapa mata kuliah yang beririsan dengan penelitian saya saat ini, misalnya Cyberculture, Gender, Media, Stratifikasi Sosial, Linguistik, Komunikasi, dan tentunya metode etnografi itu sendiri. Mendengar paparan ibunya, pertanyaan Ganta adalah: "Asyik yo. Kenapa ibu gak pernah cerita tentang antropologi?"

Saya bingung juga mengapa tidak pernah menyinggung kata antropologi ya. Selama ini minat Ganta bergerak dari Musik ke Sastra Inggris dan Komunikasi. Bahkan alasan utama Ganta mau diajak tinggal dan sekolah di Melbourne 3.5 tahun yang lalu adalah karena ada pelajaran Musik di BSC. Betul juga, minat anak yang diwadahi dan disalurkan dengan baik akan membuahkan kepercayaan diri yang lebih besar. Di BSC, Ganta merasa amat dihargai oleh guru-gurunya. Bila jaman SMP dulu, Ganta main band dan ikut konser sana-sini karena keinginan sendiri, di BSC prosesnya bermusik menjadi bagian dari dunia sekolahnya. Ada saja moment bagi dia untuk tampil di depan publik di lingkungan sekolah. Salah satu penampilannya saya tulis di sini.

Pas parent-teacher meeting, yakni saat ambil school report, saya ingat betul komentar gurunya, Ms. Susan Kurick. "Ganta is a lovely young man. He just can't get enough. He always asks about things that he doesn't know. He is really into music." Perkembangan akademiknya di mapel Music itulah yang kemudian membuahkan perhargaan saat school graduation untuk siswa year 12 pada bulan Oktober 2014 yang lalu.

Achievement Award dan Hadiah buku dari sekolah


Toh minat bermusik yang sudah terwadahi dengan baik ini tidak membuat dia menyimpan mimpi kuliah di jurusan Musik. Suatu saat di Year 11, tiba-tiba saja dia minta pertimbangan. "Bu, aku tak kuliah sastra Inggris ya. Asyik soalnya bisa analisis puisi." (Dan ternyata diam-diam sudah puluhan lirik lagu dia tulis dalam buku catatannya). Kilatan minat yang baru ini cukup membuat saya terharu juga. Nampaknya hasil pembelajaran di kelas English, di mana siswa dipaparkan pada karya sastra dari berbagai genre membuat dia mulai menyukai bidang sastra. Bagi saya sendiri yang berkecimpung di sastra Inggris, mengetahui anak punya minat yang sama tanpa saya pernah mendorong atau menyuruhnya, sudah memberikan kelegaan tersendiri. Dia memilih karena suka.

Tak lama kemudian, pikirannya mulai menerawang ke jurusan Komunikasi. Kebetulan sejak year 11, Ganta memang mengambil mapel Media. Di kelas ini, Ganta belajar Semiotics, bagaimana membaca tanda-tanda, menganalisis film dengan elemen-elemen tertentu, dan memproduksi film pendek sebagai tugas akhir di Year 12. Sejak Ganta masih di Melbourne, kami menghabiskan banyak waktu mencari info tentang jurusan Komunikasi. Sampai saat anak-anak pulang bersama mbah Kungnya akhir Mei lalu, pilihan sudah ditetapkan antara Komunikasi dan Sastra Inggris.

Maka, ketika sudah tiba masanya Ganta melakukan pendaftaran mahasiswa baru jalur mandiri di Unair, pilihannya yang bergeser ke Antropologi adalah sebuah kejutan yang menyenangkan. Sesuatu yang tak pernah terlintas di benak saya. Meski sejujurnya, pilihan ini serasa membangunkan ingatan ketika saya menaruh Antropologi di pilihan kedua Sipenmaru 30 tahun yang lalu (Wow, betapa waktu membentang tanpa menghapus mimpi terpendam).

Selasa malam, 14 Juli 2015, saya deg-degan menunggu hasil tes yang berlangsung dua hari sebelumnya. Waktu berjarak 3 jam antara Melbourne dan Surabaya menjadi semakin lama karena Ganta mengabarkan bahwa pengumumannya diundur dari jam 7 malam ke 9 malam. Dari lantai 6 room 620, kantor saya di John Medley Building, saya memantau perkembangan di grup whataspp keluarga kami. Sejak Sabtu malam lalu, saya praktis tinggal di kampus. Buka, sahur, ngetik, shalat wajib, tarawih, tadarus, tidur. Saya hanya pulang untuk mandi dan ganti baju, dan balik lagi ke kampus. Dalam doa saya mengharapkan yang terbaik di mata Allah. Saya juga mencoba membesarkan hati Ganta, agar siap dengan hasil apapun. Dengan model pendidikan yang berbeda antara Australia dan Indonesia, mengikuti tes masuk perguruan tinggi dengan format Indonesia adalah kejutan budaya yang lumayan buat Ganta. Bagi kami orang-tuannya, yang penting adalah bahwa anak sudah berupaya yang terbaik. He's done his best. Allah will take care of the rest.

Menjelang pukul 11 malam waktu Melbourne, Ganta kirim pesan lagi di whatsapp. "Bu, telpon."
Saya coba telpon ke HP-nya. Tidak nyambung. Saya coba telpon nomor rumah. Tidak nyambung juga. Telpon ayahnya. Gak diangkat. Saya cek lagi pesan di whatsapp group, dan melihat image ini:

Pengumuman online jalur mandiri Unair

Alhamdulillah ya Allah. Saya coba telpon lagi, dan di sisi sana suara riang Ganta dan Adzra membuat saya sejenak melupakan udara dingin yang menusuk di luar gedung. "makasih ya Adzra, you prayed for mas," begitu ujar Ganta ke adiknya.

Anakku, selamat atas keberhasilan ini. Selamat memulai dunia barumu sebagai mahasiswa. Ilmu-ilmu yang ingin kamu rambah sebelumnya--musik, sastra, media dan komunikasi--akan kamu temukan irisannya di antropologi. Lebih dari itu, dunia antropologi akan membawamu ke berbagai lapisan masyarakat, dengan segala keunikannya.  Kamu akan melihat bahwa keberagaman tidak serta merta harus diartikan menjadi sebuah continuum antara baik-buruk, modern-tradisional, atau maju-terbelakang. Setiap masyarakat memiliki perjalanan unik dalam membentuk manusianya. Tugasmu adalah menjadi sosok yang tidak mudah memberikan penilaian tanpa dasar, namun tetap menjaga niat keberpihakan pada kebenaran.

Ilmu menanti untuk engkau reguk. Bacalah dan tulislah apa-apa yang kamu dapati di sekitarmu. Dan catatan itu tidak hanya sekedar menjadi 'field notes,' namun bisa menjadi hikmah dalam perjalanan hidupmu nanti.

Ayah dan ibu selalu berdoa untukmu. Semoga Allah meridhoi. Amiin. 

Room 620. John Medley Bld
Parkville campus
The University of Melbourne





Wednesday, July 01, 2015

Don't tell me how I miss everything in Surabaya!

Saya sebenarnya sudah nekad mau pulang lebih awal untuk berlebaran dengan keluarga dan menyelesaikan tesis dari rumah saja. Tinggal dikit, dan pingin berhemat. Maklum tidak ada lagi beasiswa buat hidup. Meski tuition masih tetap bebas sampai akhir semester di bulan November nanti. Bahkan aku sudah booking one-way ticket. Maunya sih, begitu supervisor okay, tiket akan langsung aku confirm.

Apa daya, Chris, supervisor membujuk saya (eh..memberi pertimbangan) untuk tetap tinggal saja di Melbourne. "It's only a month, Tiwi." Ayolah, kurang sak crit. Sabar ya, toh akhir Juli kamu pasti akan pulang juga buat conference di Unair. Kami yang akan belikan kamu tiket pulang nanti. Would that help? 

Jadi begitulah hari-hari saya saat ini. Setelah anak-anak pulang for good akhir Mei lalu, saya praktis sendirian mengejar waktu agar segera selesai. Alhamdulillah completion seminar saya lalui dengan amat memuaskan pada awal Juni lalu. Sekarang dalam proses pembenahan dan penyempurnaan tesis. Sejak pagi sampai malam, waktu saya habiskan di kantor, baca dan nulis di depan desktop. Penyeimbang hidup adalah sesekali nongol di rumah teman, cari makan gratis, curhat, ngaji, telpon atau skype dengan keluarga. 

Di bulan puasa ini, saya malah sudah menutup dapur saya. Cuma masak nasi saja, dan beli lauk dan sayur take-away di resto Indonesia. Yang menyenangkan, tiap hari Jumat-Minggu, selalu ada iftar di Surau Kita, masjid komunitas Indonesia. Pada akhir pekan, jamaahnya bisa melebihi 100 orang. Jadilah sejak menjelang Maghrib saya sudah berada di tengah para sahabat. Iftar bareng, shalat Maghrib, Isya, dan Tarawih bareng. Ceramah dari para ustadz keren yang didatangkan langsung dari Indonesia. Urusan sahur bisa diatasi dengan sisa makanan iftar yang sudah dipack dan dijual murah untuk infaq. 

Seberapa besarpun rasa kangen saya pada keluarga dan tanah air, saya harus bersabar untuk mendapatkan hasil yang selama ini diperjuangkan. Syukurlah, Ganta dan ayahnya justru menginginkan saya tetap focus ke tesis dan tidak mengkhawatirkan hal-hal yang remeh di rumah. Kalau Adzra sih, namanya juga anak kecil, selalu bilang 'I miss you, mommy.' Untungnya juga bila diajak ngobrol, apakah ingin ibunya segera pulang atau selesaikan tesis dulu, dia selalu jawab, 'I want you to finish your thesis, mommy.'


Bismillah, semoga Allah memberi kemudahan urusan dan kekuatan pada pada kita semua. Aamiin.

Thursday, April 23, 2015

The Great Good Place: Antara Rawon Paidi, Perpustakaan Koper BMI-HK, dan Starbucks

'Rawon Paidi.' Bila seorang pengamat budaya ingin mengadakan studi etnografi virtual di milis Keluarga Unesa, mungkin nama ini adalah tempat nongkrong yang paling banyak disebut para miliser. Setiap kali ada gagasan bagus dilempar ke milis, maka nama rawon Paidi hampir selalu disebut. Seolah-olah tempat ini akan menjadi saksi gagasan mentah menjadi sebuah proposal yang siap dijalankan.

Bagi yang belum tahu apa itu rawon Paidi, nama ini merujuk ke sebuah warung pojok di dekat pintu gerbang kampus Ketintang Universitas Negeri Surabaya. Lokasinya di Ketintang PTT, tapi saya lupa nama gangnya. Warung ini sangat legendaris bagi mahasiswa, mulai sejak jaman IKIP Surabaya sampai sekarang menjadi Unesa. 

Tak heran teman-teman alumni suka janjian ketemuan di sana bila mau kangen-kangenan. Dua orang sohib di milis, Mas Eko dan mas Habe, bisa saja 'memilih' nama ini demi sebuah nostalgia. Namun sebenarnya, warung ini bisa jadi adalah bagian dari apa yang disebut Ray Oldenburg sebagai the great good place


Front Cover

Dalam bukunya berjudul The Great Good Place (1999), Oldenburg menyebut tempat-tempat publik seperti cafe, warung kopi, toko buku, bar, salon, dan tempat-tempat lain sebagai Third Place, 'home away from home.' Di tempat-tempat inilah sekelompok orang bertemu untuk berbagai tujuan. Mulai dari sekedar kangen-kangenan sampai obrolan tentang sebuah ide besar. 

Lalu apa bedanya rapat di kantor dengan ngobrol tentang hal yang sama di warung kopi? Kalimat dalam bahasa Inggris, 'let's discuss this over a cup of coffee' barangkali bisa mewakilinya.

Salah satu karakter dari Third Place, atau Tempat Ketiga ini adalah suasananya yang 'santai.' Banyak orang meyakini bahwa obrolan serius bila dilakukan dalam situasi yang santai justru akan memberikan hasil yang lebih bernas. Barangkali karena dalam hal mood, mereka yang hadir sudah membawa mood yang menyenangkan. Mau ngopi je, masak sambil mbedodok atine. Beda kan bila mau hadir rapat? Sepertinya serius banget.

Saya dan beberapa PhD mommies kadang-kadang hang out juga ke cafe.Setelah antar anak sekolah, kami bertemu di cafe di sekitar Sydney Road di Brunswick. Tempatnya berpindah-pindah. Dan kami sebenarnya cuma minum kopi atau hot chocolate, plus muffin atau banana bread yang dicuwil bareng-bareng. Nongkrong kurang lebih 1 jam sambil ngobrol tentang progress masing-masing, atau masalah akademik yang sama-sama dialami. Nama grup kami, Srikandi PhD, memang menggambarkan tantangan yang harus kami hadapi sebagai ibu dan mahasiswa. Multitasking tiap hari. Nah, ngobrol santai lintas bidang ilmu membuat kami bisa berbagi solusi. Biasanya, begitu buyar dan balik ke pekerjaan masing-masing, pikiran jadi lebih jernih. Dapat semangat baru. I'm not alone

Saya menyebut konsep Third Place untuk menjelaskan salah satu fungsi perpustakaan koper di kalangan buruh migran di Hong Kong. It's a home away from home. Di tengah tuntutan pekerjaan yang menguras tenaga dan perasaan, perpustakaan koper yang digelar tiap minggu secaran lesehan di pelataran Victoria Park di Hong Kong menjadi 'tempat teduh.' 

Bagi sebagian buruh migran, perpustakaan koper menjadi katalisator untuk rasa haus ilmu pengetahuan. Dan pada dasarnya, membaca adalah kebutuhan siapa saja, tak ada kaitannya dengan kelas sosial, usia, dan gender. Tempat ini juga menjadi hub atau penghubung, yang mempertemukan para pegiat literasi di kalangan buruh migran. Dengan kata lain, perpustakaan koper menawarkan sebuah fungsi demokratis tanpa sekat.

                                                    

Nah, akan menarik untuk disimak apakah perpustakaan di kota Surabaya atau taman baca komunitas sudah berfungsi sebagai Tempat Ketiga. 

Mas Habe, salah seorang miliser bilang bahwa budaya nongkrong di warung kopi ini 'dicuri' oleh Starbucks. Menurutnya, meski kopi di Starbucks harganya mahal dan kopinya gak enak, ternyata pelanggannya banyak. Tapi saya kok tidak terlalu yakin Starbucks 'mencuri' kesempatan di tengah-tengah budaya warung kopi di Indonesia. 

Fenomena coffee house adalah budaya global, sesuai dengan konteks budaya masing-masing negara. Tempat publik seperti ini (dan biasanya untuk laki-laki) berkembang sejalan dengan dinamika ranah publik untuk diskusi dan 'debat' masalah sosial dan politik. Menurut Habermas, filsuf dari Jerman, coffee house adalah simbol demokrasi di ranah publik, yang bisa jadi menjadi 'perlawanan' terhadap penguasa. 

Saya memang tidak suka minum kopi. Tapi saya lihat keberadaan Starbucks di Melbourne tidak mampu mengalahkan pamor cafe yang bertebaran di seluruh penjuru kota dan daerah pinggiran. Ini bukan karena sama-sama negara Barat, tapi barangkali lebih karena Melbourne terkenal dengan budaya kopinya. Di pagi hari ketika orang-orang berangkat kerja atau ke kampus, cafe dipastikan salah satu tempat usaha yang sudah buka. Ini bisa dilihat dari seringnya saya temui orang menunggu tram atau train sambil nyruput kopi atau hot chocolate. Kemungkinan besar itu take-away coffee

Budaya masing-masing negara punya peran penting juga dalam menentukan keberhasilan sebuah warung kopi. Di Australia, orang butuh kopi secara take away, buat sangu berangkat kerja. Itu sebabnya cafe buka sejak pagi. Tidak banyak orang nongkrong di cafe pagi-pagi. Sama halnya dengan Starbucks yang dibentuk seperti itu di negara asalnya di Amrik. Take away service menentukan jalan bisnis Starbucks. 

Lain lagi di sore hari, ketika para profesional muda pulang kerja. Dine-in service menjadi pilihan. Bukan karena butuh minum kopinya, tapi lebih pada fungsi Third Place. A place between home and work

Di Brunswick, tempat tinggal saya, cafe juga menjadi Third Place buat emak-emak yang butuh ngopi (meski pesannya hot chocolate). Tujuannya adalah ketemuan dengan teman sambil momong anak di pagi setengah siang. Tak heran ada cafe di dekat rumah, Crafternoon cafe, yang ramah ibu-anak, dengan menyediakan menu peralatan menggambar dan prakarya. Emak-emak ngobrol sambil menemani para krucil mewarnai, 

Mengapa Starbucks berhasil menancapkan bisnisnya di banyak negara Asia. Salah satu kuncinya adalah kemampuan mereka beradaptasi dengan selera lokal. Di Cina misalnya, Starbucks cukup sukses, padahal Cina kental dengan budaya minum tehnya. Banyak yang pesimis Starbucks bisa sukses di sana. Toh malah meraup keuntungan berlipat-lipat. Apa yang mereka lakukan? Ternyata Starbucks menawarkan minuman coklat rasa green tea, dan mengurangi rasa kopi model Barat (jangan tanya, saya bukan peminum kopi). Selain itu, di Cina, Starbucks juga memulai bisnisnya di siang/sore hari, karena orang Cina dinilai tidak memiliki budaya take-away tea/coffee. Dengan demikian yang lebih didorong adalah dine-in service. Sekali lagi, Third Place menjadi jawabannya. 

Bagaimana dengan di Indonesia? Saya pikir warung kopi tidak akan kalah bersaing dengan Starbucks. Selain pangsa pasarnya beda, nuansanya tidak bisa dibandingkan. Ada kekhasan warung kopi di pinggir jalan yang tidak akan bisa ditemui di Starbucks. Okelah, para lelaki butuh ngopi karena mau cari teman ngobrol tentang bola atau harga BBM yang merangkak naik. Tapi sensasi sapaan bu Atun dan suara gelas beradu dengan sendok, saat bu Atun mengaduk campuran kopi dan gula dalam air panas, tidak akan mungkin ditemukan di cafe-cafe model Starbucks. 

Kecuali bu Atun dapat kredit UKM dari cak Samsul untuk beli coffee machine. Mbuh apa ini bisa membuat cak Slamet masih mau mampir ngopi?

Jadi, apa tempat nongkrong favorit Anda?

Saturday, February 14, 2015

Belum Sadar Hilang, Sudah Ditemukan

Saya lagi asyik di depan desktop ketika HP saya berbunyi. Ada telpon dari mbak Dharma. "Assalamu'alaikum bude, di rumah nggak?"


Saya jawab salamnya, sembari bilang bahwa saya di rumah sejak tadi pagi. "Kenapa itu suaranya kok gitu," tanya saya. Mbak Dharma seperti habis menangis. "Budeee, mobilku ilaaaang."
Mak deg hati saya. "Astaghfirullah. Wis bentar, aku ke sana ya." 

Ingatan saya melayang ke pagi tadi. Jam 8 pagi saya sudah lewat Warr Park, membeli croissant untuk bekal makan siang Adzra di sekolah. Seperti biasa, saya selalu menengok ke building 45. Siapa tahu kelihatan wajah mbak Dharma dari jendela dapur. Pagi itu, saya lihat garasinya sudah kosong. Eh, kemana pagi-pagi sudah keluar rumah.

Balik dari Pamukkale Bakery, saya ketemu dengan Faqih, putra mbak Dharma yang sulung, yang mau berangkat sekolah.
"Where's your mom? I didn't see the car." 

Saya jadi merasa bersalah, mengapa tadi pagi saya tidak menelpon, sekedar tanya kabar. Sekembalinya dari mengantar Adzra ke sekolah, saya praktis tenggelam di meja kerja. Kalau saja saya telpon tadi pagi...

Sesampai di rumah mbak Dharma, saya sarankan untuk segera telpon 000 untuk melaporkan kehilangan. Mbak Dharma mohon polisi untuk datang ke rumah. Tapi tak sampai 1 menit setelah menutup telpon, akhirnya mbak Dharma memutuskan untuk langsung ke Police Station. Kebetulan saya tahu kantor polisi terdekat di dekat stop 25 di Sydney Road. 

Di sela-sela waktu melapor itulah mulai jelas kronologi mobil hilang. Ketika Faqih pulang sekolah dan mendapati garasi kosong, dia telpon mamanya. Mamanya bilang kalau di rumah sejak pagi.
"But the car is not in the garage, Mommy."
Mbak Dharma sempat memarahi Faqih karena dianggap guyon kelewatan. Tapi setelah dicek turun ke bawah, ternyata memang benar.

Ella, tetangga sebelah mbak Dharma, merasa heran mengapa garasi sudah kosong sekitar jam 9 pagi, saat dia berangkat kerja. Kebetulan ada tukang yang sedang mengerjakan garasi Ella. Menurut si tukang, sejak dia mulai kerja pagi itu, garasi memang sudah kosong. 

Saat lapor ke polisi, diberitahukan bahwa bila ketemu, pelapor akan segera dihubungi pihak kepolisian. Mbak Dharma juga memutuskan menanda-tangani consent kepada polisi untuk towing, alias menderek mobil. Artinya, bila mobil ditemukan, di lokasi manapun, mobil akan diderek, dan si pemilik mobil sanggup menanggung biayanya. Tanpa consent, mobil harus diambil sendiri ke lokasi. Bayangkan kalau mobil ditemukan di luar kota di pinggir hutan.

Dalam kasus kehilangan seperti ini, tidak banyak yang bisa dilakukan pelapor kecuali menunggu perkembangan. Dalam masa penantian plus upaya mbak Dharma untuk ikhlas, berkembanglah berbagai asumsi. Ibu-ibu di grup Paisyah mengirimkan rasa empati beserta doa agar bisa ditemukan bila memang masih rejekinya. Ternyata banyak juga cerita kehilangan mobil dan motor yang dishare teman-teman. Yang menenangkan dari info-info itu, kendaraan yang hilang ternyata bisa ditemukan kembali, meski dalam jangka waktu antara 1-3 bulan lebih. 

---

Tanpa mobil, mbak Dharma menyiapkan diri dengan rutinitas lama. Naik public transport ke mana-mana. Maka sore hari berikutnya, saat dalam perjalanan pulang dari kampus, mbak Dharma menelpon saya. Memberitahukan bahwa Faqih dan Fakhry diminta menunggu di rumah saya sepulang sekolah. Si 2F, begitu saya menyebut mereka, memang sudah menganggap rumah saya seperti rumah sendiri. Kebetulan juga sore itu, Galuh, putri mbak Hani, juga sedang menikmati after-school playdate dengan Adzra. Jadinya rumah cukup ramai dengan suara 4 anak. Si 2F main PS, dan gadis-gadis kecil sudah sibuk bermain dengan boneka-boneka kecil.

Mbak Dharma masih di tram. Beberapa kali mbak Dharma telpon saat saya masih di dapur. 
Kring pertama: "bude, aku sudah di rumah. Anak-anak suruh pulang aja ya."

Saya lihat 2F menggeleng. PS 3 terlalu sayang untuk ditinggalkan nampaknya. "Please," pinta mereka.

Kring kedua: "bude, anak-anak belum shalat Ashar." Saya bilang bahwa anak-anak sudah shalat dan sedang makan mie ayam.

Kring ketiga: "budeee, mobilku ditemukan. Di Brunswick West. Aku disuruh ke sana."

Suara mbak Dharma terdengar bercampur perasaan antara lega dan tidak percaya. Maka saya putuskan untuk ke rumah mbak Dharma, menunggui Faisal yang masih tidur, sambil mengajak Adzra dan Galuh. Sementara Faqih dan Fakhry masih ingin di rumah saya. Kebetulan ada Ganta, anak sulung saya, yang baru pulang kerja dari Vicmart.


Bergegas mbak Dharma mencatat alamat dan nomor HP yang diberikan polisi, dan kemudian berangkat ke TKP, dengan diantar mas Bayu dan mbak Dewi. Sebagai warga Brunswick West, pasutri asal Solo ini pastinya cukup mengenal medan.

Di antara waktu menunggu mbak Dharma mengurusi pengambilan mobil itulah cerita seru bagaikan CSI seakan digelar. Gambaran cerita detektif seperti di TV dimulai dengan postingan yang dikirim mbak Dewi ke whatsapp group ibu-ibu PAisyah.
"Saya di dalam mobil, mbak Dharma dan mas Bayu sedang di-interview."


Tim forensik di TKP (courtesy: mbak Dewi)
                                                           
Hampir 3 jam berlalu sejak mereka berangkat ke TKP. Faqih dan Fakhry sudah balik ke rumah. Galuh sudah dijemput mamanya. Tinggallah saya, Adzra, Faqih, Fakhry, dan Faisal. Si bayi 9 bulan yang lucu ini manis banget, tanpa ada kerewelan sedikitpun selama ditinggal mamanya.

Dan akhirnya semua cerita tumpah saat mbak Dharma pulang. Mbak Dharma, mas Bayu, dan mbak Dewi merekam berbagai episode dari kacamata masing-masing. 

---

Siapa mengira bahwa mobil Nissan Pulsar warna maroon berplat nomor PH**** itu sebenarnya sudah dilaporkan berada di garasi orang di seputaran Eggington Street, pada pukul 9 Rabu malam. Dan mbak Dharma baru sadar kehilangan mobil hilang 20 jam kemudian. Pihak polisi bahkan sudah mengecek ke alamat pemilik mobil. Eh, usut punya usut, alamat mobil masih di alamat lama mbak Dharma di Donald Street. Sementara mbak Dharma sudah pindah ke area De Carle Street, bertetangga dengan saya. Tentu saja pemilik baru di Donald Street tidak merasa kehilangan mobil. 

Jangan meremehkan hubungan baik dengan tetangga. Kenal baik dengan tetangga nampaknya jadi modal besar untuk menguak kriminalitas. Ini terbukti dari kisah bagaimana mobil itu dilaporkan ditemukan. Alkisah, si pemilik garasi d Paddington Street keluar rumah sekitar pukul 6 sore ke High Point, dan memberitahu tetangga sebelahnya. Tak lama kemudian, terdengar ribut-ribut di bawah, di garasi orang yang baru pergi tadi. Maka turunlah si tetangga. Di situ ada orang sedang parkir mobil. Ditanya siapa, jawabannya mencurigakan. Si pembawa mobil mengaku teman pemilik garasi. Ketika diberitahu bahwa si tetangga kenal baik dengan si pemilik garasi, dan mengancam akan menelpon polisi, tak disangka, si pembawa mobil bergegas mengambil backpacknya di dalam mobilLari lintang pukang. Ketika sii pemilik garasi pulang dan mendapati sebuah mobil bertengger di garasinya, laporlah dia ke polisi. Ada mobil curian di garasinya.

Mungkinkah seseorang mencuri mobil untuk niat senang-senang dan kemudian meninggalkan mobil tersebut? Tukang yang mengerjakan garasi tetangga mbak Dharma membuka kemungkinan itu. "Maybe somebody took the car for a joyride and will leave it somewhere."

Asumsi ini bisa jadi ada benarnya. Barang bukti di dalam mobil bisa menguak berbagai kemungkinan. Memang, saat di TKP, tim forensik mengecek isi mobil, mengambil foto dan sidik jari. Dari ujung depan sampai belakang. Dengan kamera dan peralatan yang OK banget. Barang bukti dimasukkan satu-persatu ke paper bag terpisah, dicatat waktunya jam berapa setiap barang bukti masuk ke tiap kantong. Amat profesional. Kayak nonton film detektif beneran pokoknya. 


Mobil di TKP  (courtesy: mbak Dharma)
Tim forensik memeriksa bagian dalam mobil dan mengambil sidik jari (courtesy: mbak Dharma)
                                                 
Tim forensik mengambil barang-barang bukti (courtesy: mbak Dharma)
             
Kalimat pertama yang diucapkan mbak Dharma saat masuk rumah adalah, 
"the good news is...mobilku jadi rapi." Lho kok bisa?

Ternyata kepribadian pencuri bisa dilihat dari caranya memperlakukan mobil mbak Dharma. Ini kutipan langsung dari kalimat mbak Dharma, yang nampak terkesan dengan kerapian si pencuri.

     Mobilku jadi rapi banget dalamnya. Mainan baby terkumpul rapi, kertas-kertas yang berserakan
     masuk rapi ke dashboard. Sandal yang terpisah disandingkan dengan pasangannya. Payung yang
     terbuka dan nyempil di tengah, ditutup rapat dan dirapikan, masuk ke bagasi. Botol air mineral di
     jok dinaikkan ke atas dashboard. Tissue dirapikan. 

Ini pencuri niat banget mencuri mobilnya, mencari garasi kosong untuk memarkir mobil, dan merapikannya. Suara dia yang berisik saat merapikan itulah yang mengundang kecurigaan pemilik rumah di atas garasi.

Apa sebenarnya motifnya? Di dalam mobil yang menjadi rapi itu, ternyata tim forensik menemukan barang-barang 'aneh' yang mbak Dewi sebenarnya tidak tega menyebutnya. Di antaranya ada pheromone spray dan 'alat-alat aneh' yang hanya bisa dibeli di toko XXX. Hasil browsing Mas Bayu di internet menunjukkan bahwa spray itu untuk menarik perempuan, dan membuatnya terangsang secara seksual.

"Papa kok tahu kalau itu untuk tujuan begituan," tanya mbak Dewi.
"Lha aku pernah dengar dan baca sebelumnya," tukas mas Bayu.

Spray ini boleh dikata seperti pelet. Membuat perempuan yang membauinya akan terkiwir-kiwir.

Ada alat pancing, gambar alat kelamin, spray untuk pelet, mobil rapi jali, menjelang Valentine's day. Nah, bila Anda jadi detektif, kira-kira apa bagaimana Anda menguak niat si pencuri? Plot cerita yang ditawarkan mas Bayu amat mengesankan bagi saya. Ini dia plot  yang disusun mas Bayu, yang nampaknya punya bakat jadi penulis skenario:

     Si pencuri mau mengajak perempuan berpiknik sambil mancing, untuk merayakan Valentine's    
     day. Dengan daya pelet Pheromone spray yang tidak bisa terdeteksi baunya, namun langsung
     mempengaruhi alam bawah sadar perempuan, harapan si pencuri untuk mencari kepuasan akan
     tercapai. Bila si perempuan orang yang baru dikenal, mungkin kemudian dia akan lapor telah
     diperkosa, dan memberikan detil si pelaku beserta mobilnya. Padahal mobil nantinya akan
     ditinggal begitu saja di suatu tempat.


Tahu efek Pheromone yang 'mengerikan' ini, mbak Dharma takut juga. Kuatir kena pengaruh. Siapa tahu spray sempat disemprotkan di dalam mobil. "Nggak ada lawan nih, bahaya." Sambil ketawa. Maklum, mas Arif, suami mbak Dharma memang berada di Indonesia. Balada LDR, seperti saya juga. Dalam hati, saya lega melihat mbak Dharma kembali lepas dan ceria. Bagaikan sebuah cerita, klimaksnya sudah lewat, dan sekarang adalah resolusinya. Mendekati ending cerita. 

Alhamdulillah. Satu hari yang cukup mengharu-biru bagi kami semua, komunitas PAisyah, yang sudah seperti saudara. Ada banyak pelajaran yang bisa diambil dari kekuatan persaudaraan yang senantiasa memberikan doa dan support untuk satu sama lain. Saya menyitir kalimat mbak Dewi yang mengutip pernyataan polisi. "Bila orang lain lapor kehilangan mobil dan masih banyak yang belum ditemukan, mbak Dharma beruntung karena justru polisi mencari alamat pemilik mobil, yang sebenarnya tidak sadar bahwa mobilnya hilang."

Hikmahnya, mbak Dharma langsung mengurus penggantian alamat di VicRoads tadi siang. Begitu alamat sudah terupdate otomatis, maka pihak kepolisian langsung bergerak. Tanpa alamat yang benar, polisi tidak akan mengambil tindakan, karena menjaga kemungkinan adanya penipuan dengan alamat palsu. Ini pelajaran pertama.


Pelajaran kedua: perlu disyukuri bahwa mobil tidak hanya ditemukan dalam waktu cepat, namun juga tidak jadi digunakan untuk maksiat. Insya Allah ini mobil yang dipakai untuk jihad seorang ibu dengan 3 anak, di tengah-tengah tantangan studi S3, sementara suami jauh di Makassar sana. Doa semua keluarga dan sahabat dikabulkan oleh Allah.


Pelajaran kedua: profesionalisme tim kepolisian patut diacungi jempol. Barangkali ini kasus pencurian mobil yang tercepat ditangani tidak lebih dari 48 jam, sejak mobil pertama kali dilaporkan (oleh si pemilik garasi yang dinunuti mobil curian), sampai kembali ke tangan pemilik sah. Bisa jadi kasus ini memecahkan Guinness World Record, bila ada kategori kasus pencurian tercepat ditangani.

Saat tulisan ini dibuat, saya membayangkan mbak Dharma mungkin sudah tidur dengan lebih nyenyak, sambil memeluk si kecil Faisal. Belum Sadar Hilang, Sudah Ditemukan.*



Brunswick, 14 Februari 2015

01:00 am

----


*Terima kasih kepada pemilik mobil yang sah, atas sumbangan judulnya.

* Terima kasih kepada mbak Dharma, mbak Dewi dan mas Bayu, atas cerita seru yang sudah saya kutip di atas.